tag:blogger.com,1999:blog-79024818074160176532023-11-15T08:29:58.621-08:00Masyarakat MadaniTaufiqhttp://www.blogger.com/profile/00729102129379588981noreply@blogger.comBlogger12125tag:blogger.com,1999:blog-7902481807416017653.post-65458571464017038272007-07-18T13:16:00.000-07:002007-07-18T13:20:16.718-07:00MENUJU MASYARAKAT MADANI MELALUI Demokratisasi Pendidikan<b><span style="font-family:Arial;"><span style="color:#2d6f62;"> MENUJU MASYARAKAT MADANI MELALUI<br />DEMOKRATISASI PENDIDIKAN<br /></span>Oleh Husaini Usman<br /></span></b><p><span style="font-family:Arial;"><span style="color:#2d6f62;"><strong>Abstrak:</strong></span> <span style="color:#400080;">Hasil pemikiran ini mencoba menawarkan konsep-konsep baru tentang masyarakat madani ditinjau dari sudut: ontologi, aksiologi, dan epistemologi. Secara ontologis, masyarakat madani adalah masyarakat yang demokratis. Secara aksiologi, masyarakat madani bertujuan untuk meredam berbagai tuntutan reformasi baik dari dalam maupun luar negeri. Di samping itu, melalui masyarakat madani akan timbul inovasi-inovasi pendidikan. Secara epistemologis, masyarakat madani dicapai melalui tujuan jangka pendek dan jangka panjang melalui demokratisasi pendidikan. Dengan demokratisasi pendidikan akan terjadi proses kesetaraan antara pendidik dan peserta didik di dalam proses belajar mengajar. Inovasi pendidikan yang berkonteks demokratisasi pendidikan perlu memperhatikan masalah-masalah pragmatik sehingga peserta didik tidak terlepas dari akar budaya dan masyarakatnya.</span></span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;"><span style="color:#0080ff;"><strong>Kata kunci:</strong> masyarakat madani, masyarakat yang demokratis, inovasi pendidikan, demokrasi pendidikan<br /></span><br /><small><strong><span style="color:#ff8040;"><small>*) Dr. Husaini Usman adalah Ketua Jurusan Teknik Sipil dan Dosen Jurusan</small></span></strong></small></span></p> <hr color="#008080"> <b> </b><p align="justify"><b><span style="font-family:Arial;color:#2d6f62;">I. Pendahuluan</span></b></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Ungkapan lisan dan tulisan tentang masyarakat madani semakin marak akhir-akhir ini seiring dengan bergulirnya proses reformasi di Indonesia. Proses ini ditandai dengan munculnya tuntutan kaum reformis untuk mengganti Orde Baru yang berusaha mempertahankan tatanan masyarakat yang <i>status quo</i> menjadi tatanan masyarakat yang madani. Untuk mewujudkan masyarakat madani tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Namun, memerlukan proses panjang dan waktu serta menuntut komitmen masing-masing warga bangsa ini untuk mereformasi diri secara total dan konsisten dalam suatu perjuangan yang gigih. </span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Berbagai upaya perlu dilakukan dalam mewujudkan masyarakat madani, baik yang berjangka pendek maupun yang berjangka panjang. Untuk yang berjangka pendek dilaksanakan dengan memilih dan menempatkan pemimpin-pemimpin yang dapat dipercaya (<i>credible</i>)<i>, </i>dapat diterima (<i>acceptable</i>)<i>, </i>dan dapat memimpin (<i>capable</i>)<i>. </i>Untuk jangka panjang antara lain adalah dengan menyiapkan sumber daya manusia yang berwawasan dan berperilaku madani melalui perspektif pendidikan. Perspektif pendidikan penting untuk dikaji mengingat konsep masyarakat madani sebenarnya merupakan bagian dari tujuan pendidikan nasional. Jadi, pendidikan menjadi soko guru dalam mewujudkan masyarakat madani. </span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Pendidikan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta.</span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Artikel ini membatasi pembahasannya pada pencapaian tujuan jangka panjang masyarakat madani melalui demokratisasi pendidikan. </span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa, "pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang beriman dan bertakwa terhadap</span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan." Melihat kelengkapan tujuan pendidikan nasional tersebut seharusnya proses pendidikan dapat mencapai tujuan tersebut sepenuhnya. Namun, dalam praktiknya ternyata tujuan pendidikan nasional tersebut belum sepenuhnya tercapai. Hal itu mengakibatkan lulusan yang dihasilkan belum sepenuhnya mencerminkan perilaku-perilaku yang diharapkan oleh tujuan nasional tersebut sehingga timbullah gagasan untuk membentuk masyarakat madani termasuk di masyarakat kampus.</span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Sejak digulirkannya istilah masyarakat madani pada tahun 1995 oleh Datuk Anwar Ibrahim, yang kemudian diikuti oleh Nurcholis Madjid (Mahasin, 1995: ix), sejak itu pula upaya untuk mewujudkan masyarakat madani telah "menggoda" dan memotivasi para pakar pendidikan untuk menata dan mencari masukan guna mewujudkan masyarakat madani yang dimaksud. Namun, pihak-pihak yang skeptis meragukan keberhasilan bangsa Indonesia mewujudkan masyarakat madani. Dalam hal ini, Hefner (1998: 1) menyatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah impian (<i>dream</i>) suatu komunitas tertentu. Oleh karena itu, Hefner meragukan upaya bangsa Indonesia dalam mewujudkan masyarakat madani yang diharapkannya, karena formatnya pun belum jelas. Senada dengan pendapat Hefner tersebut, Mulder (1999) memberikan dugaan bahwa Indonesia masih akan jauh dari pembentukan masyarakat madani karena demokratisasi pendidikan belum berjalan lancar, sistem pendidikannya masih menerapkan faham kekuasaan, masih terlalu berbau feodal, dan belum memperhatikan aspirasi kemajemukan peserta didik secara memadai. Jika reformasi dan inovasi pendidikan memang mendesak untuk dilakukan dan agar kita memiliki andil dalam membentuk dan menghadapi masyarakat madani, maka permasalahannya antara lain adalah, "sampai sejauh mana pemahaman kita tentang makna masyarakat madani (ontologinya)?, nilai-nilai manfaat apa yang diperoleh dengan terbentuknya masyarakat madani (aksiologinya)?, dan bagaimana pemecahan masalahnya atau bagaimana cara melaksanakan demokratisasi pendidikan untuk mewujudkan masyarakat madani (epistemologinya)?, bagaimanakah arah reformasi dan inovasi pendidikan harus dilakukan?, bagaimanakah agar demokratisasi pendidikan itu berjalan mulus tanpa hambatan dan penyimpangan?, bagaimana kekuasaan dan kepentingan pribadi atau golongan tidak menggoda untuk menunda demokratisasi pendidikan?. Mengingat banyaknya masalah yang dihadapi dalam mewujudkan masyarakat madani, maka pada kesempatan ini pembahasan dibatasi pada apakah makna masyarakat madani itu, apakah manfaat mewujudkan masyarakat madani itu?, dan bagaimana cara mewujudkan masyarakat madani melalui pendidikan demokratisasi pendidikan?</span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Artikel ini mencoba mengungkapkan pemikiran yang menawarkan konsep-konsep baru masyarakat madani yang mungkin dapat dijadikan masukan dalam mewujudkan masyarakat madani melalui perspektif pendidikan. Tentu saja pemikiran konseptual ini akan dapat dioperasionalisasikan di lapangan secara kontekstual setelah melalui pengujian empiris yang profesional. </span></p> <b> </b><p align="justify"><b><span style="font-family:Arial;color:#2d6f62;">2. Pembahasan</span></b></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Seligman seperti yang dikutip Mun’im (1994: 6) mendefinisikan istilah <i>civil society </i>sebagai seperangkat gagasan etis yang mengejawantah dalam berbagai tatanan sosial, dan yang paling penting dari gagasan ini adalah usahanya untuk menyelaraskan berbagai konflik kepentingan antarindividu, masyarakat, dan negara.<b> </b>Sedangkan<b> </b><i>civil society<b> </b></i>menurut<b> </b>Havel<b> </b>seperti yang dikutip Hikam (1994: 6) ialah rakyat sebagai warga negara yang mampu belajar tentang aturan-aturan main melalui dialog demokratis dan penciptaan bersama batang tubuh politik partisipatoris yang murni. Gerakan penguatan <i>civil society</i><b> </b>merupakan gerakan untuk merekonstruksi ikatan solidaritas dalam masyarakat yang telah hancur akibat kekuasaan yang monolitik. Secara normatif-politis, inti strategi ini adalah usaha untuk memulihkan kembali pemahaman asasi bahwa rakyat sebagai warga negara memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban kepada para penguasa atas segala yang mereka lakukan atas nama pemerintah.</span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Gellner (1995:2) menyatakan bahwa masyarakat madani akan terwujud manakala terjadi tatanan masyarakat yang harmonis, yang bebas dari eksploitasi dan penindasan. Pendek kata, masyarakat madani ialah kondisi suatu komunitas yang jauh dari monopoli kebenaran dan kekuasaan. Kebenaran dan kekuasaan adalah milik bersama. Setiap anggota masyarakat madani tidak bisa ditekan, ditakut-takuti, dicecal, diganggu kebebasannya, semakin dijauhkan dari demokrasi, dan sejenisnya. Oleh karena itu, perjuangan menuju masyarakat madani pada hakikatnya merupakan proses panjang dan produk sejarah yang abadi dan perjuangan melawan kezaliman dan dominasi para penguasa menjadi ciri utama masyarakat madani.</span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Perjuangan masyarakat madani di Indonesia pada awal pergerakan kebangsaan dipelopori oleh Syarikat Islam (1912) dan dilanjutkan oleh Soeltan Syahrir pada awal kemerdekaan (Norlholt, 1999: 15-16). Jiwa demokrasi Soeltan Syahrir ternyata harus menghadapi kekuatan represif baik dari rezim Orde Lama di bawah pimpinan Soekarno maupun rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto, tuntutan perjuangan transformasi menuju masyarakat madani pada era reformasi ini tampaknya sudah tak terbendungkan lagi dengan tokoh utamanya adalah Amien Rais dari Yogyakarta. </span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Gellner seperti yang dikutip Mahasin (1995: ix) menyatakan bahwa masyarakat madani sebagai terjemahan bahasa Inggris, <i>civil society</i>. Kata <i>civil society </i>sebenarnya berasal dari bahasa Latin yaitu <i>civitas dei </i>yang artinya kota Illahi dan <i>society </i>yang berarti masyarakat. Dari kata <i>civil </i>akhirnya membentuk kata <i>civilization </i>yang berarti peradaban. Oleh sebab itu, kata <i>civil society </i>dapat diartikan sebagai komunitas masyarakat kota yakni masyarakat yang telah berperadaban maju. Konsepsi seperti ini menurut Madjid seperti yang dikutip Mahasin (1995: x) pada awalnya lebih merujuk pada dunia Islam yang ditunjukan oleh masyarakat kota Arab. Sebaliknya, lawan dari kata atau istilah masyarakat nonmadani adalah kaum pengembara, <i>badawah, </i>yang masih membawa citranya yang kasar, berwawasan pengetahuan yang sempit, masyarakat puritan, tradisional penuh mitos dan takhayul, banyak memainkan kekuasaan dan kekuatan, sering dan suka menindas, dan sifat-sifat negatif lainnya. Keadaan masyarakat nonmadani ini menurut Suwardi (1999:67) seperti yang ditunjukan oleh perilaku manusia Orde Baru yakni pada saat itu ada mitos bahwa hanya Soeharto saja yang mampu memimpin bangsa dengan menggunakan kekuatan ABRI untuk mempertahankan <i>staus quo. </i>Lebih lanjut ditambahkan oleh Suwardi (1999:67) bahwa ada satu hal yang perlu dipahami yaitu masyarakat madani bukanlah masyarakat yang bebas dari senjata atau ABRI (sekarang TNI); <i>civil society </i>tidak berkebalikan dengan masyarakat pimpinan TNI seperti yang banyak diasumsikan orang awam. </span></p> <b> </b><p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Rahardjo (1997: 17-24) menyatakan bahwa masyarakat madani merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, <i>civil society. </i>Istilah <i>civil society </i>sudah ada sejak Sebelum Masehi. Orang yang pertama kali mencetuskan istilah <i>civil society</i> ialah Cicero (106-43 SM), sebagai orator Yunani Kuno. <i>Civil society</i> menurut Cicero ialah suatu komunitas politik yang beradab seperti yang dicontohkan oleh masyarakat kota yang memiliki kode hukum sendiri. Dengan konsep <i>civility </i>(kewargaan) dan <i>urbanity </i>(budaya kota), maka kota difahami bukan hanya sekedar konsentrasi penduduk, melainkan juga sebagai pusat peradaban dan kebudayaan </span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Istilah madani menurut Munawir (1997: 1320) sebenarnya berasal dari bahasa Arab, <i>madaniy. </i>Kata <i>madaniy </i>berakar dari kata kerja <i>madana </i>yang berarti mendiami, tinggal, atau membangun. Kemudian berubah istilah menjadi <i>madaniy </i>yang artinya beradab, orang kota, orang sipil, dan yang bersifat sipil atau perdata. Dengan demikian, istilah <i>madaniy </i>dalam bahasa Arabnya mempunyai banyak arti. Konsep masyarakat madani menurut Madjid (1997: 294) kerapkali dipandang telah berjasa dalam menghadapi rancangan kekuasaan otoriter dan menentang pemerintahan yang sewenang-wenang di Amerika Latin, Eropa Selatan, dan Eropa Timur. </span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Hall (1998: 1) menyatakan bahwa masyarakat madani identik dengan <i>civil society, a</i>rtinya suatu gagasan, angan-angan, bayangan, cita-cita suatu komunitas yang dapat terejawantahkan ke dalam kehidupan sosial. Dalam masyarakat madani, pelaku sosial akan berpegang teguh pada peradaban dan kemanusiaan. Hefner (1998: 16-20) menyatakan bahwa masyarakat madani merupakan masyarakat modern yang bercirikan kebebasan dan demokratisasi dalam berinteraksi di masyarakat yang semakin plural dan heterogen. Dalam keadaan seperti ini, masyarakat diharapkan mampu mengorganisasikan dirinya dan tumbuh kesadaran diri dalam mewujudkan peradaban. Mereka akhirnya mampu mengatasi dan berpartisipasi dalam kondisi global, kompleks, penuh persaingan dan perbedaan.</span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Masyarakat madani menurut Rahardjo seperti yang dikutip Nurhadi (1999: 9) ialah masyarakat yang beradab. Istilah masyarakat madani selain mengacu pada konsep <i>civil society </i>juga berdasarkan pada konsep negara-kota Madinah yang dibangun Nabi Muhammad SAW pada tahun 622M. Masyarakat madani juga mengacu pada konsep <i>tamadhun </i>(masyarakat yang berperadaban) yang diperkenalkan oleh Ibn Khaldun dan konsep <i>Al Madinah al fadhilah </i>(Madinah sebagai Negara Utama) yang diungkapkan oleh filsuf Al Farabi pada abad pertengahan.</span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Dalam memasuki milenium III, tuntutan masyarakat madani di dalam negeri oleh kaum reformis yang anti <i>status quo</i> menjadi semakin besar. Masyarakat madani yang mereka harapkan adalah masyarakat yang lebih terbuka, pluralistik, dan desentralistik dengan partisipasi politik yang lebih besar (Nordholt, 1999: 16), jujur, adil, mandiri, harmonis, memihak yang lemah, menjamin kebebasan beragama, berbicara, berserikat dan berekspresi, menjamin hak kepemilikan dan menghormati hak-hak asasi manusia (Farkan, 1999: 4).</span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat madani pada prinsipnya memiliki makna ganda yaitu: demokrasi, transparansi, toleransi, potensi, aspirasi, motivasi, partisipasi, konsistensi, komparasi, koordinasi, simplifikasi, sinkronisasi, integrasi, emansipasi, dan hak asasi, namun yang paling dominan adalah masyarakat yang demokratis. Perbedaan yang tampak jelas adalah <i>civil society </i>tidak mengaitkan prinsip tatanannya pada agama tertentu, sedangkan masyarakat madani (<i>al-madaniy</i>) jelas mengacu pada agama Islam. Konsep masyarakat madani menurut Islam adalah bangunan politik yang: demokratis, partisipatoris, menghormati dan menghargai publik seperti: kebebasan hak asasi, partisipasi, keadilan sosial, menjunjung tinggi etika dan moralitas, dan lain sebagainya. Dengan mengetahui makna madani, maka istilah masyarakat madani secara mudah dapat difahami sebagai masyarakat yang beradab, masyarakat sipil, dan masyarakat yang tinggal di suatu kota atau berfaham masyarakat kota yang pluralistik.</span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Manfaat yang diperoleh dengan terwujudnya masyarakat madani ialah terciptanya masyarakat Indonesia yang demokratis sebagai salah satu tuntutan reformasi di dalam negeri dan tekanan-tekanan politik dan ekonomi dari luar negeri. Di samping itu, menurut Suwardi (1999: 66) melalui masyarakat madani akan mendorong munculnya inovasi-inovasi baru di bidang pendidikan. Selanjutnya, ditambahkan oleh Daliman (1999: 78-79) bahwa dengan terwujudnya masyarakat madani, maka persoalan-persoalan besar bangsa Indonesia seperti: konflik-konflik suku, agama, ras, etnik, golongan, kesenjangan sosial, kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan pembagian "kue bangsa" antara pusat dan daerah, saling curiga serta ketidakharmonisan pergaulan antarwarga dan lain-lain yang selama Orde Baru lebih banyak ditutup-tutupi, direkayasa dan dicarikan kambing hitamnya; diharapkan dapat diselesaikan secara arif, terbuka, tuntas, dan melegakan semua pihak, suatu prakondisi untuk dapat mewujudkan kesejahteraan lahir batin bagi seluruh rakyat. Dengan demikian, kekhawatiran akan terjadinya disintegrasi bangsa dapat dicegah. </span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Guna mewujudkan masyarakat madani dibutuhkan motivasi yang tinggi dan partisipasi nyata dari individu sebagai anggota masyarakat. Hal ini mendukung pendapat Suryadi (1999: 23) dan Daliman (1999: 78) yang intinya menyatakan bahwa untuk mewujudkan masyarakat madani diperlukan proses dan waktu serta dituntut komitmen masing-masing warganya untuk mereformasi diri secara total dan selalu konsisten dan penuh kearifan dalam menyikapi konflik yang tak terelakan. Tuntutan terhadap aspek ini sama pentingnya dengan kebutuhan akan toleransi sebagai instrumen dasar lahirnya sebuah konsensus atau kompromi. </span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Ciri utama masyarakat madani adalah demokrasi. Demokrasi memiliki konsekuensi luas di antaranya menuntut kemampuan partisipasi masyarakat dalam sistem politik dengan organisasi-organisasi politik yang independen sehingga memungkinkan kontrol aktif dan efektif dari masyarakat terhadap pemerintah dan pembangunan, dan sekaligus masyarakat sebagai pelaku ekonomi pasar. Bila masyarakat Indonesia tidak demokratis, maka Indonesia akan mendapat tekanan-tekanan politik dari kaum reformis di dalam negeri. Di lain pihak, dari luar negeri, Indonesia akan mendapat tekanan-tekanan politik dan ekonomi dari PBB, Bank Dunia, IMF, dan negara-negara penganut faham demokratis. Sementara ini, ekonomi kita masih sangat bergantung pada pinjaman Bank Dunia dan IMF. Jika Bank Dunia dan IMF tidak memberikan bantuannya, maka ekonomi kita akan semakin terpuruk di mata internasional. Jika ekonomi kita semakin terpuruk, maka kerusuhan sosial akan semakin meningkat yang pada gilirannya membahayakan stabilitas nasional dan dikhawatirkan akan terjadi disintegrasi bangsa. Di samping itu, mengingat kondisi masyarakat Indonesia yang khas sebagai <i>unity </i>dan <i>diversity, </i>maka karakteristik masyarakat madani cocok diterapkan di Indonesia sehingga persatuan dan kesatuan, toleransi umat beragama, persaudaraan, saling mengasihi sesama umat, dan persamaan hak akan menjadi lebih terjamin. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa ciri utama masyarakat madani Indonesia adalah demokrasi yang menjunjung tingi nilai-nilai kemanusiaan, masyarakat yang mempunyai faham keagamaan yang berbeda-beda, penuh toleransi, menegakkan hukum dan peraturan yang berlaku secara konsisten dan berbudaya (Hartono, 1999: 55).</span></p> <b> </b><p align="justify"><b><span style="font-family:Arial;color:#2d6f62;">3. Pemecahan Masalah</span></b></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Salah satu cara untuk mewujudkan masyarakat madani adalah dengan melakukan demokratisasi pendidikan. Demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata <i>demos</i> (rakyat) dan <i>kratos</i> (pemerintahan). Jadi, demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dengan kekuasaan di tangan rakyat. Dalam perkembangannya, demokrasi bermakna semakin spesifik lagi yaitu fungsi-fungsi kekuasaan politik merupakan sarana dan prasarana untuk memenuhi kepentingan rakyat. Konsep demokrasi memberi keyakinan bahwa unsur-unsur rakyat senantiasa menjadi faktor utama yang dilibatkan dalam pemerintahan. Oleh karena itu, demokrasi mendapat sambutan yang luar biasa di dalam hati sanubari rakyat karena demokrasi lebih berpihak kepada rakyat. Dengan demokrasi, rakyat boleh berharap bahwa masa depannya ditentukan oleh dan untuk rakyat, sedangkan demokratisasi ialah proses menuju demokrasi. Tujuan demokratisasi pendidikan ialah menghasilkan lulusan yang merdeka, berpikir kritis dan sangat toleran dengan pandangan dan praktik-praktik demokrasi (Suryadi, 1999: 23). </span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Generasi penerus sebagai anggota masyarakat harus benar-benar disiapkan untuk membangun masyarakat madani yang dicita-citakan. Masyarakat dan generasi muda yang mampu membangun masyarakat madani dapat dipersiapkan melalui pendidikan (Hartono, 1999: 55). Senada dengan pendapat Hartono tersebut, Marzuki (1999: 50) menyatakan bahwa salah satu cara untuk mewujudkan masyarakat madani adalah melalui jalur pendidikan, baik di sekolah maupun di luar sekolah.</span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Generasi penerus merupakan anggota masyarakat madani di masa mendatang. Oleh karena itu, mereka perlu dibekali cara-cara berdemokrasi melalui demokratisasi pendidikan. Dengan demikian, demokratisasi pendidikan berguna untuk menyiapkan peserta didik agar terbiasa bebas berbicara dan mengeluarkan pendapat secara bertanggung jawab, turut bertanggung jawab (<i>melu angrungkebi</i>), terbiasa mendengar dengan baik dan menghargai pendapat orang lain, menumbuhkan keberanian moral yang tinggi, terbiasa bergaul dengan rakyat, ikut merasa memiliki (<i>melu handarbeni</i>), sama-sama merasakan suka dan duka dengan masyarakatnya (<i>padhasarasa</i>), dan mempelajari kehidupan masyarakat. Kelak jika generasi penerus ini menjadi pemimpin bangsa, maka demokratisasi pendidikan yang telah dialaminya akan mengajarkan kepadanya bahwa seseorang penguasa tidak boleh terserabut dari budaya dan rakyatnya, pemimpin harus senantiasa mengadakan kontak dengan rakyatnya, mengenal dan peka terhadap tuntutan hati nurani rakyatnya, suka dan duka bersama, menghilangkan kesedihan dan penderitaan-penderitaan atas kerugian-kerugian yang dialami rakyatnya. Pernyataan ini mendukung pendapat Suwardi (1999: 66) yang menyatakan bahwa sistem pendidikan yang selalu mengandalkan kekuasaan pendidik, tanpa memperhatikan pluralisme subjek didik, sudah saatnya harus diinovasi agar tercipta masyarakat madani. Upaya ke arah ini dapat ditempuh melalui demokratisasi pendidikan. </span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Demokratisasi pendidikan tidak harus dimulai dari sistem pendidikan berskala nasional. Bahkan akan lebih efektif kalau dimulai dari sistem pendidikan berskala lokal berupa pendidikan di dalam kelas. Dalam proses PBM di kelas, demokrasi pendidikan dapat diarahkan pada pembaharuan kultur dan norma keberadaban, sebab menurut Zamroni (1997: 1) hal ini merupakan inti dari proses pendidikan. </span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Pelaksanaan demokratisasi pendidikan di kelas harus mampu membawa peserta didik untuk menghargai kemampuan teman dan guru, kemampuan sosial-ekonomi teman dan guru, kebudayaan teman dan guru, dan sejumlah kemajemukan lainnya (Vaizey, 1976: 115). Di samping itu, menurut Battle seperti yang dikutip Shannon (1978: 32) demokratisasi pendidikan dalam PBM juga dapat ditempuh dengan mengajarkan hal-hal yang berhubungan dengan dunia sekarang yang sangat dibutuhkan oleh peserta didik dan masyarakatnya (pragmatisme), tanpa harus melupakan hari kemarin. </span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Sebagai contoh jika peserta didik kebanyakan berlatar belakang masyarakat petani, maka orang tua atau keluarganya cenderung menuntut hasil nyata dari pendidikan anaknya agar mampu meningkatkan produktivitas hasil pertanian. Jika peserta didik kebanyakan berlatar belakang masyarakat nelayan, maka orang tua atau keluarganya cenderung menuntut hasil nyata dari pendidikan anaknya agar mampu meningkatkan produktivitas hasil perikanannya. Jika peserta didik kebanyakan berlatar belakang masyarakat bisnis, maka orang tua atau keluarganya cenderung menuntut hasil nyata dari pendidikan anaknya agar mampu meningkatkan produktivitas usaha bisnisnya, dan seterusnya. </span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Contoh-contoh tersebut di atas menggambarkan bahwa dalam melakukan inovasi pendidikan yang berkonteks demokratisasi pendidikan perlu diperhatikan masalah-masalah pragmatik yakni mulai dari pemilihan materi ajar, penentuan tujuan, pemilihan metode, pemilihan evaluasi hasil belajar, output lulusan, sampai kebutuhan yang diharapkan dunia kerja. Hal ini cukup beralasan karena pengajaran yang kurang menekankan pada konteks pragmatik pada gilirannya akan menyebabkan peserta didik akan terlepas dari akar budaya dan masyarakatnya. Hal ini juga dinyatakan oleh Barnadib (1997: 1) bahwa pendidikan memang sebagai upaya mengembangkan kemanusiaan dan pengalihan kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Itulah sebabnya pengajaran pragmatik yaitu pengajaran yang menekankan pada aspek fungsi akan menjadi salah satu alternatif pencapaian pengajaran yang berwawasan kemanusiaan dan peradaban. Oleh sebab itu, di dalam PBM yang pragmatik akan tercipta suasana kondusif bagi demokratisasi pendidikan. </span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Asumsi pendidikan pragmatik diturunkan dari pemeo klasik yang dikemukakan Rodrigues dan Badaczewski (1978: 278) yang menyatakan, "Kita boleh membawa kuda masuk ke sungai, namun kita tidak mampu menyuruh kuda itu meminum air." Maknanya adalah pengajar (kita) hanya bisa memberikan dorongan (<i>tut wuri handayani</i>) kepada peserta didik (kuda), namun biarkan peserta didik itu sendiri yang memanfaatkan informasi (air) itu. Biarlah peserta didik itu sendiri yang melakukan SITR (seleksi, interpretasi, tranformasi, dan revisi) terhadap semua informasi yang telah diterimanya. Seleksi berarti memilih informasi yang lengkap, objektif, dan relevan. Interpretasi berarti pemberian makna. Tranformasi berarti mampu mengemasnya kembali dengan bahasanya sendiri dan menawarkan gagasan-gagasan baru ke pihak lain. Revisi berarti terbuka untuk memperbaiki gagasan-gagasannya setelah mendapat masukan yang konstruktif dari pihak lain. </span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Dalam proses pengajaran pragmatik, pendidik tidak monopoli dalam memberi dan mencari informasi. Intervensi pendidik adalah sebagai fasilitator, dinamisator, mediator, dan motivator. Sebagai fasilitator, pendidik harus memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mencoba menemukan sendiri makna informasi yang diterimanya. Sebagai dinamisator, pendidik harus berusaha menciptakan iklim PMB yang dialogis dan berorientasi pada proses. Sebagai mediator, pendidik harus memberikan rambu-rambu atau arahan agar peserta didik bebas belajar. Sebagai motivator, pendidik harus selalu memberikan dorongan agar peserta didiknya bersemangat dalam menuntut ilmu.</span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Dalam pendidikan pragmatik yang bersifat profesional diakui bahwa kelemahan pendidikan semata-mata hanya untuk menyiapkan tenaga kerja yang sifatnya praktis. Kalau demikian halnya, pendidikan hanya akan menciptakan bangsa tukang dan bukan bangsa pemikir. Namun, pendidik tidak hanya menerapkan pendidikan pragmatik melainkan juga pendidikan yang bersifat akademik yang bertugas menciptakan pemikir-pemikir bangsa yang sifatnya teoritis. Di samping tidak hanya teoritis, melainkan harus ada tindakan nyata dari hasil pemikirannya. Oleh sebab itu, perlu ada keseimbangan antara keterampilan operasional dengan kemampuan konseptual sehingga tercipta sumber daya manusia Indonesia yang berwawasan global dan sekaligus bertindak lokal.</span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Freire (1984: 24) menyarankan upaya untuk mencapai demokratisasi pendidikan yang berwawasan adalah dengan menciptakan kebebasan interaksi antara pendidik dengan peserta didiknya dalam PBM di kelas. Oleh sebab itu, PBM harus terbuka dan penuh dialog yang sehat dan bertanggung jawab antara pendidik dengan peserta didik. Interaksi antara peserta didik dan pendidik dalam bentuk egaliter dan kesetaraan (<i>equity</i>). Dengan adanya kesetaraan ini, kebebasan berinisiatif, berbeda aspirasi dan pendapat, dan keadilan dalam pendidikan akan terakomodasi. Bahkan Wahid seperti yang dikutip Freire (1994: xv) telah meyakinkan kita bahwa pendidikan memang merupakan wahana terpenting untuk mencapai kemerdekaan (kebebasan). Dengan kebebasan ini menurut Russel (1998: 63) akan mewujudkan demokratisasi pendidikan. </span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Komunikasi dalam demokratisasi pendidikan harus terjadi ke segala arah dan bukan hanya bersifat satu arah yaitu dari pendidik ke peserta (<i>top </i>down) melainkan juga ada keseimbangannya yaitu dari peserta didik dengan pendidik dan antarpeserta didik sendiri (<i>network</i>)<i>. </i>Dengan model komunikasi <i>top down </i>timbul kecenderungan pendidik akan merasa capek sementara peserta didik tidak mengerti, pasif, bosan, mengantuk, dan lebih parah lagi peserta didik tidak mendapatkan informasi baru. Pendidik merupakan satu-satunya sumber belajar dengan otoritas yang sangat tinggi dan menganggap otak peserta didik bagaikan tong kosong yang siap diisi penuh dengan berbagai informasi darinya. Sebaliknya, dengan model komunikasi <i>network, </i>sumber belajar bukan hanya terletak pada pendidik melainkan juga pada peserta didik. Guru cenderung tidak merasa capek, peserta didik mengerti dengan belajar dari pengalamannya sendiri, aktif, senang, dan kaya dengan informasi baru.</span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Namun, selama ini terkesan bahwa pendidikan menganut asas <i>subject matter oriented </i>yang membebani peserta didik dengan informasi-informasi kognitif dan motorik yang kadang-kadang kurang relevan dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan psikologis mereka. Pendidikan yang menyangkut ranah kognitif sudah dijalankan dengan perhatian yang besar. Pengelolaan pengajaran yang ada memberi kesan terlalu berorientasi pada ipteks termasuk juga keterampilan motorik terlalu berorientasi pada teknis (Moeldjanto, 1998: 63). Dengan asas ini dapat dihasilkan lulusan yang pandai, cerdas, dan terampil; tetapi kepandaian dan kecerdasan intelektual<i> </i>tersebut kurang diimbangi dengan kecerdasan emosional. Keadaan demikian terjadi karena kurangnya perhatian terhadap ranah afektif. Padahal ranah afektif sama penting peranannya dalam membentuk perilaku peserta didik. Sekarang, dalam mendukung pelaksanaan demokratisasi pendidikan, tibalah saatnya mengubah asas <i>subject matter oriented </i>ke <i>student oriented</i>. Orientasi pendidikan yang bersifat <i>student oriented </i>lebih menekankan pada pertumbuhan, perkembangan, dan kebutuhan peserta didik secara utuh baik lahir maupun batin. Dalam hal ini kecerdasan otak memang penting, tetapi kecerdasan emosional juga tidak kalah pentingnya.</span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Dalam suasana PBM yang demokratis terjadi egalitarian (kesetaraan atau sederajat dalam kebersamaan) antara pendidik dengan peserta didik. Pengajaran tidak harus <i>top down </i>namun diimbangi dengan <i>bottom up</i> sehingga tidak ada lagi pemaksaan kehendak pendidik tetapi akan terjadi tawar-menawar kedua belah pihak dalam menentukan tujuan, materi, media, PBM, dan evaluasi hasil belajarnya. </span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Hal serupa juga diakui Martadiatmadja (1986: 70-71) yang menyatakan bahwa jika pengajaran kurang pragmatik dan lebih menekankan pada pengajaran menghafal, maka hal ini jelas kurang bermanfaat. Teknik menghafal mendikte peserta didik untuk menggunakan sistem drill dan hanya akan menjejali materi dalam waktu singkat yang mungkin tidak sesuai dengan minat dan bakatnya. Bahkan menurut Suryadi dan Tilaar (1993: 196) akan menyuap peserta didik dengan berbagai informasi yang tinggal ditelan saja. Peserta didik tidak memiliki kesempatan untuk mencari dan mencerna sendiri informasi sesuai dengan bakat dan minatnya. Menurut Taroepratjeka (1996: 3) pendidikan yang berkonteks pragmatik sedapat mungkin harus mampu menghargai bakat, minat, dan tujuan peserta didik. Bila hal ini dilupakan, akibatnya peserta didik akan menjadi pembebek-pembebek dan bukan menjadi manusia yang lebih beradab dan berbudaya melalui proses pendidikan tersebut.</span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, dalam pandangan Acarya (1991: 147-148) menyatakan bahwa demokratisasi pendidikan merupakan pendidikan hati nurani yang lebih humanistis dan beradab sesuai dengan cita-cita masyarakat madani. Dengan komunikasi struktural dan kultural antara pendidik dan peserta didik, maka akan terjadi interaksi yang sehat, wajar, dan bertanggung jawab. Peserta didik boleh saja berpendapat, berperasaan, dan bertindak sesuai dengan langkahnya sendiri dan mungkin saja berbeda dengan pendidiknya asalkan ada argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Peserta didik bukan saja memahami demokrasi tetapi juga menjalani latihan seperti berdebat, menghargai pandangan dan harga diri orang lain, serta mematuhi aturan hukum yang diaplikasikan dalam <i>setting </i>diskusi. Peserta didik ditantang menguji validitas pikirannya dengan argumentasi-argumentasi yang rasional dan jika mungkin berdasarkan hasil penelitian yang seksama. Dalam iklim PBM yang demokratis, pendidik tidak harus merasa paling pandai di dalam kelasnya, tidak merasa paling benar di kelasnya, merasa telah menang belajar satu malam dibandingkan dengan peserta didiknya; tetapi akan terjadi saling tukar informasi dan pengalaman dengan peserta didiknya. Kondisi ini dimungkinkan akan terjadi dalam demokratisasi pendidikan.</span></p> <b> </b><p align="justify"><b><span style="font-family:Arial;color:#2d6f62;">4. Kesimpulan</span></b></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#000080;">Secara ontologis, masyarakat madani bermakna ganda yaitu suatu tatanan masyarakat yang menekankan pada nilai-nilai: demokrasi, transparansi, toleransi, potensi, aspirasi, motivasi, partisipasi, konsistensi, komparasi, koordinasi, simplifikasi, sinkronisasi, integrasi, emansipasi, dan hak asasi. Namun, yang paling dominan adalah masyarakat yang demokratis. Secara aksiologis, masyarakat madani perlu segera diwujudkan karena bermanfaat untuk meredam berbagai tuntutan reformasi dari dalam negeri maupun tekanan-tekanan politik dan ekonomi dari luar negeri. Di samping itu, melalui masyarakat madani akan muncul inovasi-inovasi pendidikan dan menghindari terjadinya disintegrasi bangsa. Secara epistemologis, untuk mewujudkan masyarakat madani dalam jangka panjang adalah dengan cara melakukan demokratisasi pendidikan. Demokratisasi pendidikan ialah pendidikan hati nurani yang lebih humanistis dan beradab sesuai dengan cita-cita masyarakat madani. Melalui demokratisasi pendidikan akan terjadi proses kesetaraan antara pendidik dan peserta didik di dalam proses belajar mengajarnya. Inovasi pendidikan yang berkonteks demokratisasi pendidikan perlu memperhatikan masalah-masalah pragmatik. Pengajaran yang kurang menekankan pada konteks pragmatik pada gilirannya akan menyebabkan peserta didik akan terlepas dari akar budaya dan masyarakatnya.</span></p> <b> </b><p align="justify"><b><span style="font-family:Arial;color:#2d6f62;">Pustaka Acuan</span></b></p> <blockquote> <b> </b><blockquote> <b> </b><p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#0080c0;">Acarya, A.A. 1991. <i>Neo-Humanist Education. </i>Jakarta: Persatuan Ananda Marga Indonesia.</span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#0080c0;">Al-Abrasyi, M.A. 1987. <i>Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam </i>(Terjemahan Gani, B.A. dan Bahry, D.) Jakarta: Bulan Bintang.</span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#0080c0;">Barnadib, I. 1997. Pendidikan dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Berwawasan Kemanusiaan. <i>Makalah Seminar Temu Alumni IKIP Yogyakarta, </i>14 Mei.</span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#0080c0;">Daliman, A. 1999. Reorientasi Pendidikan Sejarah melalui Pendekatan Budaya Menuju Transformasi Masyarakat Madani dan Integrasi Bangsa, <i>Cakrawala Pendidikan. </i>Edisi Khusus Mei Th. XVIII No. 2.</span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#0080c0;">Farkan, H. 1999. Piagam Medinah dan Idealisme Masyarakat Madani. <i>Bernas, </i>29 Maret.</span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#0080c0;">Gellner, E. 1995. <i>Membangun Masyarakat Sipil: Prasyarat Menuju Kebebasan </i>(Terjemahan Hasan, I) Bandung: Mizan.</span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#0080c0;">Fiere, P. 1984. <i>Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan. </i>Jakarta: Gramedia.</span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#0080c0;">Hall, J.A. 1998. Genealogies of Civility. Dalam Hefner (Editor). <i>Democratic Civility: The History and Cross Cultural Possibility of a Modern Political Ideal. </i>New York: Longman. </span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#0080c0;">Hartono. 1999. Perubahan Orientasi Pendidikan Menuju Masyarakat Madani, <i>Cakrawala Pendidikan. </i>Edisi Khusus Mei Th. XVIII No. 2.</span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#0080c0;">Hefner, R.W. 1998. Civil Society: Cultural Possibility of a Modern Ideal. <i>Society, </i>Vol.35, No, 3 March/April.</span></p> </blockquote> <blockquote> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#0080c0;">Hikam, M.A.S. 1994. Demokrasi adakan Wacana Civil Society. <i>Republika. </i>10 Oktober.</span></p> </blockquote> </blockquote> <blockquote> <blockquote> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#0080c0;">Madjis, N. 1977. Dinamika Budaya Pesisir dan Pedalaman: Menumbuhkan Masyarakat Madani, dalam <i>HMI dan KAHMI Menyongsong Perubahan Menghadapi Pergantian Zaman. </i>Jakarta: Majelis Nasional KAHMI.</span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#0080c0;">Mahasin, A. 1995. Masyarakat Madani dan Lawan-lawannya: Sebuah Mukadimah. Dalam Gneller. <i>Membangun Masyarakat Sipil: Prasyarat menuju Kebebasan. </i>Diterjemahkan: Hasan, I. Bandung: Mizan.</span></p> </blockquote> </blockquote> <blockquote> <blockquote> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#0080c0;">Martadiatmadja. 1986. <i>Tantangan Dunia Pendidikan. </i>Jakarta: Kanisius.</span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#0080c0;">Marzuki. 1999. Membangun Masyarakat Madani melalui Pendidikan Islam Sebuah Refleksi Pendidikan Nasional, <i>Cakrawala Pendidikan. </i>Edisi Khusus Mei Th. XVIII No. 2.</span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#0080c0;">Moeldjanto, G. 1998. Dimensi Moral dalam Pendidikan Menuju Pembentukan Manusia Seutuhnya, <i>Widya Darma. </i>No. 1 Tahun IX. </span></p> </blockquote> </blockquote> <blockquote> <blockquote> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#0080c0;">Munawir, A.W. 1997. <i>Al-Munawir: Kamus Arab-Indonesia. </i>Surabaya: Pustaka Progresif.</span></p> </blockquote> </blockquote> <blockquote> <blockquote> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#0080c0;">Mun’im, A.D.Z. 1994. Masyarakat Sipil sebagai Masyarakat Beradab, <i>Republika </i>20 September.</span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#0080c0;">Nurhadi, M.A., dkk. 1999. <i>Filosofi, Kebijaksanaan, dan Strategi Pendidikan Nasional. </i>Jakarta: Depdikbud.</span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#0080c0;">Nordholt, N.S. 1999. Civil Society di Era Kegelisahan. <i>Basis. </i>Np. 3-4. Maret.</span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#0080c0;">Rahardjo, D. 1997. Relevansi Iptek Profetik dalam Pembangunan Masyarakat Madani, <i>Academika, </i>Vol. 01, Th. XV, halaman 17-24.</span></p> </blockquote> </blockquote> <blockquote> <blockquote> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#0080c0;">Rodrigues, R & Badaczewski, D. 1978. <i>A Guidebook for Teaching Literature. </i>Boston: Allyn and Bacon, Inc. </span></p> </blockquote> </blockquote> <blockquote> <blockquote> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#0080c0;">Russel, B. 1998. <i>Pendidikan dan Tatanan Sosial. </i>Terjemahan: Abadi, A.S. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.</span></p> </blockquote> </blockquote> <blockquote> <blockquote> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#0080c0;">Shannon. 1978. <i>Gagasan Baru dalam Pendidikan. </i>Jakarta: Mutiara.</span></p> </blockquote> </blockquote> <blockquote> <blockquote> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#0080c0;">Suryadi, K. 1999. Demokratisasi Pendidikan Demokrasi, <i>Mimbar Pendidikan. </i>Jurnal Pendidikan No. 1 Tahun XVIII.</span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#0080c0;">Suryadi, A dan Tilaar, H.A.R. 1993. <i>Analisis Kebijakan Pendidikan. </i>Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.</span></p> </blockquote> </blockquote> <blockquote> <blockquote> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#0080c0;">Suwardi, 1999. Demokratisasi Pendidikan dalam Pengajaran Pragmatik Sastra Sebagai Wahana Penciptaan "Masyarakat Madani" <i>Cakrawala Pendidikan, </i>Edisi Khusus Mei. Th. XVIII, No. 2.</span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#0080c0;">Taroepratjeka, H. 1996. Pengembangan Pendidikan Tinggi dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua. <i>Makalah Seminar Temu Alumni IKIP Yogyakarta, </i>18 Mei<i>.</i></span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#0080c0;">Vaizey, J. 1967. <i>Pendidikan di Dunia Modern. </i>Jakarta: Gunung Agung.</span></p> <p align="justify"><span style="font-family:Arial;color:#0080c0;">Zamroni. 1997. Pembaharuan Pendidikan dan Penelitian Multidisiplin. <i>Makalah Seminar Regional Pengembangan Budaya Penelitian Multidisiplin dan Antardisiplin. </i>Yogyakarta: 19-20 Mei.</span></p> </blockquote> </blockquote> <p> </p>Taufiqhttp://www.blogger.com/profile/00729102129379588981noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7902481807416017653.post-3300841176035762212007-07-18T13:12:00.000-07:002007-07-18T13:16:04.194-07:00KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SUMBERDAYA APARATUR NEGARA UNTUK MENDUKUNG MASYARAKAT MADANIKEBIJAKAN PENGEMBANGAN SUMBERDAYA APARATUR NEGARA UNTUK MENDUKUNG MASYARAKAT MADANI<br />PROF DR Sofian Effendi<br />Badan Kepegawaian Negara<br /><br />Bahan presentasi didepan Peserta Kursus Adum<br />Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN)<br />29 Agustus 1999<br /><br />Daftar Isi<br />I.<br />Pendahuluan<br />II.<br />Perubahan Strategik dalam Proses menuju Pemerintahan yang Bersih,<br />Bebas KKN dan Bertanggungjawab<br />III.<br />Dasar-dasar Kebijakan Kepegawaian Negara<br />IV.<br />Usulan Penyempurnaan RUU No. 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok<br />Kepegawaian dan peraturan pelaksanaannya.<br />I. Pendahuluan<br />Tulisan ini secara ringkas menguraikan dasar-dasar kebijakan<br />kepegawaian negara yang akan menjadi landasan fikiran dalam<br />penyempurnaan UU Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok<br />Kepegawaian. Penyempurnaan Undang Undang tersebut diperlukan guna<br />mempersiapkan suatu kepegawaian negara yang mampu melaksanakan<br />Tap MPR-RI Nomor X/MPR/1998 dan Tap No. XI/MPR/1998. Karena<br />perubahan-perubahan strategik yang akan terjadi setelah Pemilu 1999,<br />UU Nomor 8 tahun 1974 dipandang tidak cukup memadai untuk<br />mendukung kebutuhan pembangunan nasional dan karena itu harus<br />disempurnakan dengan menggunakan pendekatan pengembangan<br />sumber daya manusia sebagai landasan fikir. Pendekatan Pengembangan<br />Sumber Daya Manusia (PSDM) memandang keseluruhan siklus<br />pengembangan kepegawaian -- perencanaan kepegawaian, pendidikan<br />dan pelatihan, pemanfaatan dan pembinaan kepegawaian dan penetapan<br />imbalan -- sebagai suatu proses yang integral yang tak terpisahkan.<br />Setelah Pemilu 1999, Indonesia diperkirakan akan mengalami<br />beberapa perubahan strategik yang membawa implikasi terhadap sistem<br />kepegawaiannya. Perubahan strategik tersebut adalah, perubahan dalam<br />sistem pemerintahan, hubungan antara pusat dan daerah serta dalam<br />penyelengaraan pelayanan publik.<br />Guna menghadapi perubahan-perubahan strategik tersebut, perlu<br />dikembangkan pemerintahan negara yang bersih, bebas KKN dan<br />bertanggunjawab. Untuk mendukung terciptanya pemerintahan seperti<br />itu diperlukan sistem kepegawaian negara baru yang dilandasi oleh<br />kebijakan PSDM yang lebih holistik dan terintegrasi. Pendekatan tata<br />usaha kepegawaian terlalu sempit yang mendasari UU Nomor 8 tahun<br />1974 perlu ditinjau kembali karena sudah tidak sesuai dengan tuntutan<br />dinamika dan perkembangan masyrakat dan pemerintahan<br />II. Perubahan strategik dalam proses menuju Good Governance,<br />Desentralisasi Kewenangan Pemerintahan dan Peran Serta<br />Masyarakat<br />Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok<br />Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi<br />Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara dan Nomor XI/MPR/1998<br />tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi Kolusi<br />dan Korupsi.<br />Pemerintahan Yang Bersih, Bertanggungjawab dan Bebas KKN<br />(Good Governance) adalah bentuk dan cara pemerintahan yang paling<br />sesuai dan paling mampu menyelenggarakan sistem ekonomi yang<br />berwawasan kerakyatan, sistem multi partai yang memerlukan<br />pemerintahan koalisi, serta untuk mendorong ketaatan hukum serta<br />ketertiban umum yang menjadi ciri dari suatu masyarakat madani. Dalam<br />upaya untuk mengembangkan aparatur negara yang mampu melayani<br />masyarakat madani tesebut, pengembangan kepegawaian negara akan<br />menjadi bagian penting dalam penciptaan “good governance capability”.<br />Proses menuju Masyarakat Madani (civil society) akan ditandai<br />oleh beberapa perubahan strategik pada sistem politik, ekonomi,<br />pemerintahan dan sosial. Perubahan strategik tersebut memerlukan re-<br />adjustment pada kebijakan aparatur negara, khususnya pada UU Nomor<br />8 tahun 1974 yang mengatur tentang pokok-pokok kepegawaian.<br />Perubahan strategik yang akan terjadi sebagai hasil dari Pemilu 1999<br />antra lain adalah:<br />a. Sistem pemerintahan koalisi<br />Setelah Pemilu 1999 akan terjadi dua perubahan strategik yang<br />amat mendasar dalam lingkungan politik nasional kita; Pertama, sistem<br />multi-partai. Dalam Pemilu mendatang, 48 partai yang sudah terdaftar<br />secara resmi pada Komisi Pemilihan Umum dan diperkirakan 9-10 partai<br />yang akan memperoleh cukup dukungan untuk membentuk<br />pemerintahan koalisi. Dalam pemerintahan koalisi tersebut dipastikan<br />para anggota koalisi pasti akan menuntut porsi yang cukup dalam<br />Pemerintahan yang terbentuk.<br />Untuk menjaga agar prinsip keahliian tetap terjaga, perlu diadakan<br />adjustment dalam format kepegawaian negara dengan memisahkan<br />secara tegas antara pengangkatan politik (political appointments) pada<br />pelbagai jabatan negara di pemerintahan dengan jabatan profesional yang<br />harus netral dari kegiatan politik, serta jabatan lainnya. Sistem keahlian<br />(merit system) yang dianut dalam administrasi kepegawaian RI<br />mengharuskan para pemegang jabatan profesional pada ketiga cabang<br />pemerintahan (Jabatan Eselon I ke bawah serta jabatan fungsional yang<br />setara) harus bebas dari representasi partai politik. Karena itu PNS<br />dilarang untuk menjadi pengurus mau pun anggota partai politik.<br />Ketetapan netralitas tersebut<br />Salah satu ciri masyarakat madani adalah lingkungan politik yang<br />mengakui bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat. Karena itu setiap<br />pejabat negara pada cabang legislatif, eksekutif dan judikatif, baik di<br />Pusat mau pun di daerah, harus dapat mempertanggunjawabkan<br />pelaksanaan tugas mereka kepada rakyat. Dalam pelaksanaan asas<br />akuntabilitas tersebut, pembagian kewenangan yang jelas antara ketiga<br />cabang pemerintah perlu diadakan agar terjadi suatu check-and-balance<br />yang baik.<br />b. Desentralisasi Kewenangan Pemerintahan<br />Pada lingkungan pemerintahan perubahan yang paling mendasar<br />pada lingkungan adalah: (a) pergeseran fungsi pemerintahan dan<br />pembangunan dari pusat ke daerah, dan (b) tuntutan netralitas birokrasi<br />dari kegiatan politik. Salah satu perubahan mendasar yang terjadi<br />selama Pemerintah Reformasi yang baru berusia 9 bulan lebih 2 hari<br />adalah semakin kuatnya semangat keterbukaan dan kebebasan.<br />Terdorong oleh semangat tersebut, daerah akan menuntut adanya<br />kewenangan yang lebih besar dalam menyelenggarakan pemerintahan di<br />daerah. Sebagai respons terhadap tuntutan tersebut, dan dalam rangka<br />mendorong pemerataan pembangunan secara cepat antara pusat dan<br />daerah, dan antar daerah, Pemerintah Pusat akan memberikan otonomi<br />semakin luas kepada daerah.<br />Beberapa kebijaksanaan pemerintah yang baru, misalnya UU<br />Pemerintahan Daerah serta peraturan pelaksanaanya sudah menerapkan<br />asas desentralisasi sehingga dapat mempercepat upaya penciptakan<br />kemakmuran secara adil dan merata antara daerah dan pusat.<br />Desentralisasi tugas dan kewenangan tersebut membawa implikasi<br />langsung terhadap kebijaksanaan pembinaan dan pengembangan PNS<br />agar aparatur negara di pusat dan di daerah secara keseluruhan memiliki<br />kemampuan dan kapabilitas yang sama untuk melaksanakan tugas-tugas<br />yang semakin berat tersebut.<br />c. Potensi Masyarakat<br />Selama Pemerintahan Orde Baru peranan masyarakat kurang dapat<br />berkembang secara maksimal karena peranan pemerintah yang terlalu<br />dominan selama 30 tahun secara tidak sengaja telah menumpulkan<br />partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan berbagai pelayanan<br />publik yang pokok di bidang pendidikan, kesehatan, pelatihan, penelitian<br />dan pengembangan.<br />Biaya yang terlalu berat yang harus ditanggung oleh Pemerintah<br />dalam penyelenggaraan pelayanan publik tersebut sedikit demi sedikit<br />sudah harus dialihkan kepada masyarakat. Selain dapat memanfaatkan<br />potensi masyarakat yang semakin besar, penyertaan masyarakat dalam<br />pembiayaan penyediaan pelayanan publik diperkirakan akan mampu<br />meningkatkan kapasitas dari pelayanan tersebut, dan akan dapat<br />mengurangi tekanan yang besar pada anggaran pemerintah.<br />Sejalan dengan itu, berbagai unit swadana yang mampu<br />membiayai sendiri belanja pegawai tanpa harus membebani anggaran<br />pemerintah perlu diberikan keleluasaan untuk mengembangkan sistem<br />kepangkatan dan penggajian yang lebih longgar walaupun tetap dalam<br />kerangka kepegawaian negara.<br />Dalam rangka mempersiapkan diri untuk meningkatkan daya saing<br />perusahaan milik negara (BUMN dan BUMD) untuk menghadapi<br />persaingan global, terdapat kecenderungan yang amat kuat di kalangan<br />Pemerintah untuk melakukan privatisasi dan melaksanakan Konvensi<br />ILO tentang Kebebasan Pekerja untuk Berorganisasi. Kalau kebijakan<br />tersebut dilaksanakan, implikasi politiknya amat mendasar. Pemerintah<br />sebagai pemilik perusahaan tidak memiliki kekuatan hukum untuk<br />melarang partai politik untuk membuka organisasi pekekrja di<br />perusahaan milik negara tersebut. Bila ini terjadi dapat diperkirakan<br />betapa labilnya kondisi perusahaan milik negara di masa depan.<br />d. Ancaman Disintegrasi<br />Salah satu ciri penting dari masyarakat madani adalah kemampuan<br />untuk mempertahan integrasi nasional yang tinggi pada suatu lingkungan<br />sosial yang pluralistis. Berbagai konflik sosial yang terjadi di tanah air,<br />sejak peristiwa Sanggau Ledo, Singkawang, pada tahun 1997, kerusuhan<br />massal di Jakarta pada 14-20 Mei 1998, Peristiwa Banyuwangi,<br />Peristiwa Ketapang, Peristiwa Kupang, Peristiwa Ambon pada 20<br />Januari, 1999, dan yang terahir Peristiwa Idi Cut, di Aceh Timur,<br />menunjukkan bahwa integrasi nasional kita sekarang ini sedang<br />menghadapi goncangan-goncangan yang perlu ditangani secara arif dan<br />bijaksana. Bila tidak, Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan tidak<br />mungkin akan mengalami disintegrasi menuju suatu federasi negara-<br />negara kecil yang semakin lemah.<br />Menghadapi kecenderungan disintegerasi yang semakin kuat<br />tersebut, PNS sebagai unsur aparatur negara memiliki fungsi yang sangat<br />penting yaitu sebagai penyangga kesatuan dan persatuan bangsa dan<br />negara.<br />III. Dasar-dasar Kebijakan Pengembangan SDM Aparatur Negara<br />Pasca Pemilu 1999<br />Kebijakan kepegawaian negara atau kebijakan pengembangan<br />SDM aparatur negara yang diperlukan untuk menghadapi perubahan-<br />perubahan strategik tersebut pada dasarnya adalah pembangunan SDM<br />Aparatur Negara yang profesional, netral dari kegiatan politik,<br />berwawasan global, bermoral tinggi serta berkemampuan sebagai<br />penyangga persatuan dan kesatuan bangsa.<br />Mungkin diperlukan waktu 15-20 tahun untuk mentransformasi<br />aparatur negara Indonesia untuk menjadi aparatur negara baru yang<br />memiliki clean governance capacity seperti tersebut.<br />Untuk menghadapi perubahan-perubahan strategik tersebut dengan<br />efektif, kebijakan pembinaan kepegawaaian negara pada pemerintahan<br />pasca Pemilu 1999 harus mampu mencapai tujuan berikut:<br />1. Dapat memenuhi kebutuhan pemerintahan koalisi;<br />2. Dapat memenuhi tuntutan desentralisasi kewenangan<br />kepegawaian;<br />3. Berkemampuan mengakomodasi berkembangnya lembaga<br />swadana untuk menggali potensi masyarakat;<br />4. Mempertahankan asas keahlian (merit system) dan netralitas.<br />5. Mendorong fungsi PNS sebagai penyangga persatuan dan<br />kesatuan bangsa;<br />6. Mengembangkan persaingan dengan pegawai swasta.<br />Untuk mencapai tujuan tersebut, pengembangan kepegawaian<br />negara pada Pemerintahan Pasca Pemilu 1999 diarahkan untuk mengatur<br />aspek-aspek kepegawaian negara berikut:<br />a) Penataan struktur Kepegawaian Negara;<br />b) Profesionalitas dan netralitas Aparatur Negara;<br />c) Desentralisasi kewenangan kepegawaian dengan tetap<br />mempertahankan mobilitas PNS; dan<br />d) Meningkatkan Kesejahteraan PNS.<br />a. Penataan Struktur Kepegawaian Negara<br />Untuk mengakomodasi aspirasi pemerintahan koalisi, mendukung<br />pelaksanaan otonomi daerah dan untuk mendorong potensi masyarakat<br />dalam penyelenggaraan pelayananan publik, diperlukan pembaharuan<br />dalam struktur kepegawaian negara dengan menetapkan adanya tiga jenis<br />jabatan pada kepegawaian negara yakni: jabatan negara, jabatan negeri<br />dan jabatan pada lembaga swadana dan perusahaan milik negara.<br />Sesuai dengan perkembangan keadaan, UU Nomor 8 tahun 1984<br />hanya mengenal dua jenis jabatan yakni jabatan negara dan jabatan<br />negeri. Untuk menghadapi dinamika perkembangan politik dan<br />pemerintahan pasca Pemilu, perlu adanya perluasan jabatan negara serta<br />tambahan jabatan pada lembaga swadana dan perushaan milik negara<br />(lembaga pendidikan tinggi, lembaga pelayanan kesehatan, lembaga<br />litbang, lembaga diklat, badan otorita, serta badan usaha milik negara).<br />Pada jabatan negara perlu diperbesar formasi untuk pengangkatan<br />politik pada berbagai tingkat pemerintahan., misalnya pada kantor<br />pimpinan negara, kantor pimpinan kementerian, kantor pimpinan daerah.<br />Termasuk dalam kategori ini adalah jabatan-jabatan pada lembaga<br />tertinggi dan tinggi negara.<br />Sebagai contoh, pada Sekretariat Negara, misalnya, jabatan<br />Sekretaris Negara (Kepala Staf Presiden), Wakil Seskab dan para asisten<br />Presiden adalah jabatan politik yang personilnya akan berganti bila<br />terpilih Presiden baru. Tetapi, untuk menjaga agar profesionalitas<br />dukungan pada Presiden tetap tinggi, semua jabatan lainnya -- dibawah<br />koordinasi Waseneg -- adalah jabatan profesional yang pmenerapkan<br />asas merit. Prinsip yang sama juga digunakan pada semua kementerian,<br />jabatan menteri dan mungkin wakil menteri adalah jabatan politik,<br />sedangkan birokrasi kementerian, dari Eselon I ke bawah adalah jabatan<br />profesional. Di daerah pola jabatan ditetapkan dengan pola yang sama.<br />Untuk memberi keleluasaan yang semakin besar kepada lembaga<br />pendidikan, lembaga pelayanan kesehatan, lembaga litbang, lembaga<br />diklat dan perusahaan milik negara dalam pelaksanaan misi dan<br />fungsinya, pada struktur kepegawaian negara yang baru perlu<br />diperkenalkan jenis ketiga: jabatan pada lembaga khusus. Karena dibayar<br />dengan anggaran negara, secara umum dapat dikatakan bahwa mereka<br />yang menduduki jabatan tersebut adalah pegawai negara. Tetapi, untuk<br />memberikan keleluasaan untuk mengembangkan jenjang jabatan dan<br />skala penggajian yang lebih mampu memotivasi produktivitas yang<br />tinggi, dibuka kemungkinan bagi lembaga khusus tersebut untuk<br />mengembangkan peraturan kepegawaian khusus.<br />b. Netralitas dan Profesionalitas PNS<br />Untuk menjaga agar netralitas aparatur negara dalam suatu<br />kehidupan politik yang lebih dinamis, sistem kepegawaian harus mampu<br />mempertahankan prinsip netralitas dengan cara memisahkan secara tegas<br />antara jabatan negara dengan jabatan negeri dan jabatan pada lembaga<br />khusus yang dibentuk dengan peraturan perundangan. Jabatan negeri dan<br />jabatan pada lembaga khusus tersebut adalah jabatan karier untuk para<br />pegawai negara profesional.<br />Guna menghadapi tantangan globalisasi ekonomi secara sistematis<br />dan cepat dengan tingkat, Pemerintah harus merespons dengan cepat<br />melalui kebijakan-kebijakan ekonomi makro dan mikro yang tepat,<br />sehingga kita dapat segera keluar dari krisis ekonomi yang parah ini,<br />serta dapat segera menata dan mengembangkan suatu struktur ekonomi<br />yang lebih kuat guna menghadapi persaingan yang semakin ketat pada<br />tingkat regional dan global.<br />Untuk mempercepat dan menjamin pembangunan profesionalitas<br />pada aparatur negara, netralitas aparatur negara dari kegiatan poltik<br />harus dijaga. Dengan adanya netralitas tersebut, aparatur negara tidak<br />terlalu perlu mengalami goncangan yang berarti bila terjadi<br />pergantian.pemerintahan koalisi.<br />Bagi perusahaan milik negara, peraturan kepegawaian negara<br />juga berfungsi ganda sebagai pelindung hukum dari keharusan untuk<br />melaksanakan Konvensi ILO tentang Kebebasan Hak Bersyarikat.<br />Sebagai unsur pegawai negara, pegawai perusahaan milik negara,<br />harus tetap netral dari kegiatan politik. Dengan demikian netralitas<br />dalam mengembangkan misi perusahaan akan tercapai bila perusahaan<br />milik negara tetap berada dalam lingkungan pegawai negara tanpa<br />kehilangan daya kompetisi dengan swasta.<br />Untuk meningkatkan profesionalitas PNS, perlu diadakan<br />penataaan dalam sistem pengadaan, sistem pelatihan, sistem<br />pengembangan karier, serta penggajian dan penghargaan bagi PNS.<br />Perencanaan formasi PNS perlu lebih didasarkan pada kualifikasi<br />keahlian yang diperlukan oleh instansi pemerintah. Perencanaan<br />pelatihan perlu lebih dikaitkan dengan rencana penempatan sehingga<br />tercapai efisiensi serta efektivitas yang lebih tinggi.<br />c. Desentralisasi kewenangan kepegawaian dan mobilitas PNS<br />Salah satu unsur otonomi daerah yang ditetapkan oleh UU<br />Pemerintahan Daerah baru adalah kewenangan dalam pengadaan,<br />pembinaan, penggajian dan pemberhentian PNS. Sesuai dengan<br />ketentuan perundangan baru tersebut, kepada daerah perlu diberikan<br />kewenangan yang cukup memadai dalam bidang kepegawaian. Prinsip<br />umum dalam kebijaksanaan kepegawaian adalah sebagai berikut:<br />pengangkatan PNS tetap (Gol. II/b ke atas) ada pada Pemerintah Pusat<br />dan dilaksanakan oleh BKN. Pengangkatan tenaga pelaksana (Gol. I/a<br />s/d II/a) akan diserahkan kepada daerah.<br />Sejalan dengan itu, kewenangan pengangkatan pejabat struktural<br />dan fungsional akan ditetapkan sebagai berikut: Pejabat Eselon I dan II<br />serta jabatan fungsional yang setara akan berada pada Pusat, pejabat<br />Eselon III dan jabatan fungsional setara diserahkan kepada Propinsi, dan<br />pengangkatan pejabat Eselon IV dan V serta pejabat fungsional setara<br />diserahkan kepada Kabupaten dan Kota. Kewenangan pelatihan juga<br />akan didesentralisasikan sesuai dengan kewenangan pengangkatan<br />jabatan.<br />Penetapan kewenangan pengadaan, pelatihan, pembinaan dan<br />pemberhentian PNS tersebut dirumuskan dengan tetap berpegang pada<br />prinsip bahwa PNS harus menjadi penyangga kesatuan dan persatuan<br />bangsa. Untuk itu mobilitas PNS secara nasional dan regional harus tetap<br />dijaga. Kewenangan pengangkatan PNS gol II/b ke atas harus tetap<br />berada pada pemerintah pusat agar kualitas serta standar kepegawaian<br />negara tetap terpelihara dengan baik. Demikian juga pengangkatan pada<br />jabatan struktural dan fungsional setara Eselon I dan II berada ditangan<br />Pusat agar mobilitas PNS pada 2 jenjang jabatan tinggi tersebut terjadi<br />mobilitas secara nasional. Pada jenjang jabatan eselon II terdapat<br />mobilitas regional dan pada jenjang jabatan eselon IV dan V terjadi<br />mobilitas secara lokal. Dengan demikian diharapkan PNS akan dapat<br />berfungsi sebagai penyangga persatuan dan kesatuan bangsa.<br />d. Meningkatkan Kesejahteraan PNS<br />Isu terahir adalah isu klasik, karena sejak RI didirikan PNS belum<br />pernah menikmati kesejahteraan yang cukup memadai. Krisis ekonomi<br />yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berahir telah menyebabkan<br />nilai riil gaji PNS menjadi amat rendah. Nilai gaji PNS pada saat ini<br />hanyalah sepertiga dari nilai yang diterimanya pada bulan Oktober 1997.<br />Dengan nilai riil yang sudah amat merosot tersebut, gaji PNS hanya<br />dapat mendukung hidup keluarga PNS tidak lebih dari 10 hari. Untuk<br />menutupi kebutuhan hidup sebulan, para PNS ini harus melakukan<br />berbagai upaya supaya tetap survive.<br />Keadaan ini tentu tidak dapat dibiarkan begitu saja. Pemerintah<br />perlu merumuskan kebijaksanaan penggajian yang manusiawi dan adil<br />agar PNS dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dalam rangka<br />menciptakan pemerintahan yang bersih, bebas dari KKN dan<br />bertanggunjawab. Sejalan dengan upaya Pemerintah untuk meningkatkan<br />pendapatan dari pajak, perlu diupayakan peningkatan gaji PNS secara<br />bertahap sampai tercapai sistem penggajian dan penghargaan yang lebih<br />kompetitif dengan sektor swasta.<br />IV. Usulan Penyempurnaan Peraturan Perundangan tentang<br />Kepegawaian Negara<br />Sejalan dengan dasar-dasar kebijakan kepegawaian seperti yang<br />diuraikan, saat ini BAKN sedang mempersiapkan penyempurnaan<br />peraturan tentang kepegawaian negara berikut:<br />1. Penyempurnaan UU Nomor 8 tahun 1984 tentang Pokok-<br />Pokok Kepegawaian:<br />2. RPP tentang Perubahan Atas PP Nomor 7 tahun 1977 tentang<br />Peraturan Gaji PNS;<br />3. RPP tentang Perubahan Atas PP Nomor 6 tahun 1976 tentang<br />Pengadaan PNS;<br />4. RPP tentang Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil;<br />5. RPP tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nonor 30<br />tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil;<br />6. RPP tentang Perubahan PP Nomor 32 tahun 1979 tentang<br />Pemberhentian PNS;<br />7. RPP tentang Pengangkatan dalam pangkat Pegawai Negeri<br />Sipil;<br />8. RPP tentang Perubahan PP Nomor 20 tahun 1975 jo PP<br />Nomor 19 tahun 1991 tentang Wewenang Pengangkatan,<br />Pemindahan dan Pemberhentian PNS.<br />RPUU dan RPP-RPP tersebut sudah selesai disusun oleh BAKN dan<br />telah disampaikan kepada Bapak Menko Wasbangpan untuk diteruskan<br />kepada Bapak Presiden. Bersamaan dengan penyusunan RPP tersebut,<br />bersama Depkes, Depdikbud, serta Kantor Meneg Pendayagunaan<br />BUMN perlu disusun:<br />1. RPerpu tentang Lembaga Swadana;<br />2. RPP tentang Kepegawaian Lembaga Pendidikan;<br />3. RPP tentang Kepegawaian Lembaga Penelitian dan<br />Pengembangan;<br />4. RPP tentang Kepegawaian lembaga Pendidikan dan Pelatihan;<br />5. RPP tentang Kepegawaian Lembaga Pelayanan Kesehatan;<br />6. RPP tentang Kepegawaian Badan Usaha Milik Pemerintah.<br />Jakarta, 12 April 1999Taufiqhttp://www.blogger.com/profile/00729102129379588981noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7902481807416017653.post-3928601510969369942007-07-18T13:08:00.000-07:002007-07-18T13:11:30.977-07:00STRATEGI MENUJU KOTA MADANI - Analisis Visi Misi Kota TernateSTRATEGI MENUJU KOTA MADANI<br />ANALISIS VISI – MISI KOTA TERNATE<br />OLEH Drs. H.SYAMSIR ANDILI<br /><br /><br />Prinsip-Prinsip Dasar Masyarakat Madani<br /><br />Untuk memahami dan menentukan sumber dan vasilidasi pandangan-pandangan social politik yang relevan dengan agenda reformasi sekarang ini tentu akan sangat berfaedah jika kita menyempatkan diri mendalami lebih jauh pengertian prinsipil tentang masyarakat madani . Bukanlah suatu kebetulan bahwa wujud nyata masyarakat madani mulai dikenal dari hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah 13 tahun setelah Nabi Muhammad membangun landasan tauhid sebagai fondasi dasar masyarakat (Komunitas Mekkah) menuju ke Yastrib dan mengubah nama menjadi kota Madinah yang diambil kota Madaniyah yang berarti peradaban .<br /> <br />Perubahan nama Yatsrib menjadi Madinah pada hakekatnya sebuah pernyataan niat atau proklamasi, yang berkehendak mendirikan dan membangun masyarakat yang beradab sebagai tantangan terhadap masyarakat jahilia dan di Mekkah.<br /><br />Dalam sejarah perjalanan Islam membangun sebuah peradaban ditandai dengan dua dokumen penting yaitu :<br /><br /> * Perjanjian yang disebut Mitsaq Al-Madinah atau Piagam Madinah yang berisi 50 keputusan bersama sebagai sebuah dokumen politik pertama dalam sejarah ummat manusia yang meletakkan dasar-dasar pluralisme.<br /> * Piagam Aelia ( Mitsaq Aeliya) yang dibuat oleh Khalifah Umar dengan Patriak Yerussalem, Sophronius setelah kota suci 3 agama itu dibebaskan oleh kaum muslim . <br /><br />Piagam Madinah dan Piagam Aelia dalam terminology politik adalah wujud konkrit dari terbentuknya Civil Sociaty. Dalam konteks ini, membentuk masyarakat madani adalah suatu cikal bakal penyaluran demokratisasi.<br /><br />Masyarakat madani yang dibangun Nabi Muhammad dan dicontohkan oleh Umar Bin Khattab ini adalah cermin dari membangun sebuah kota demokratis yang mengharga pluralitas dengan prinsp-prinsi dasar seperti keadilan, supremasi hukum, egalitarianisasi dan toleransi.<br /><br />Maka tidak berlebihan, jika sosiologi terkemuka Robert N. Bellah mengakui masyarakat Madinah dimasa Nabi adalah suatu masyarakat yang sangat modern dizamannya. Sayangnya, tatanan masyarakat ini hanya dapat diteladani oleh para sahabatnya ( Al-Khulafa’ al Rasyidin ) karena setelah masa itu bangun dasar masyarakat madani hancur dengan diterapkanya system geneologis ( Dinasti ) .<br /><br />Kini masyarakat madani adalah tidak sekedar Imagined Sociaty tetapi suatu kebutuhan social yang memerlukan Graes Roat terhadap nilai-nilai madani yang dapat teraktualisasi secara nyata dalam masyarakat kota .<br /><br />Arah dan Prospek Menuju Masyarakat Madani<br /><br />Masyarakat madani merupakan sebuah tatanan kehidupan masyarakat yang demokratis, pluralistis,transparan dan partisipatif dimana peran infra dan supra struktur berada dalam keseimbangan yang dinamis.<br /><br />Berbagai perubahan –perubahan sosial-politik yang cukup signifikan terjadi oleh sementara orang dipandang sebagai pendorong proses demokratisasi dan perkembangan masyarakat madani namun, sebagian pendapat mengatakan prospek masyarakat madani dalam tahun-tahun mendatang kelihatannya belum serba pasti . Ada perkembangan tertentu yang menggembirakan kondusif , dan mendukung bagi pencipta masyarakat madani, tetapi pada saat yang sama ada juga perkembangan dan indikasi tertentu (social confliet) yang kurang menggembirakan yang pada gilirannya dapat menjadi Constraints bagi perkembangan masyarakat madani .<br /><br />Bahkan sebagai pengamat melihat terjadi pergeseran nilai-nilai sosial politik dalam tatanan masyarakat sebagai siklus perubahan di mana kita tengah berada pada titik memulai kembali pembentukan masyarakat madani dengan menyatukan kembali perbedaan-perbedaan menjadi sebuah pengakuan atas pruralitas yang stabil dan dinamis, yang didalamnya masyarakat madani yang memiliki ruang untuk bernapas dengan komitmen kemanusiaan dan keadilan.<br /><br />Akan tetapi harus diakui, membangun sebuah masyarakat yang berperadaban, maju dan bermartabat dalam ikatan persamaan dan persaudaraan sejati memerlukan kerangka dan pendekatan yang lebih bersifat evolusioner dari pada revolusioner . Pada saat yang sama kerangka dan pendekatan ini secara implisir menawarkan ongkos sosial minimal sebaliknya pendekatan revolusioner dalam masyarakat madani, tidak saja akan meminta biaya social mahal, tetapi bahkan dapat menghancurkan ketertiban dan keteraturan masyarakat yang merupakan esensi masyarakat madani itu sendiri. Dari pemahaman tersebut diatas, arah dan prospek menuju masyarakat madani sangat membutuhkan waktu.<br /><br />Niat baik pemerintah kota membangun masyarakat madani tidak cukup dan sulit terealisir jika masyarakat tidak mempersiapkan diri dengan matang dan sabar. Adalah mustahil untuk menegakkan sebuah pluralistis yang berakar dari kesamaan dan persaudaraan sejati jika penghormatan pada martabat dan nilai kemanusiaan masih jauh di depan mata.<br /><br />Intinya membangun sebuah masyarakat madani memerlukan komitmen bersama semua pihak .<br /><br />Strategi Menuju Masyarakat madani<br /><br />Berawal dari arti dan pemahaman kata "Madani" yang merupakan strategi yang ditawarkan untuk penulisan topik makalah ini, maka saya mencoba menelaah kehidupan kota dari pandangan seorang Arsitektur John Eber- hand yang melihat kota secara biologis mewujudkan suatu system utuh terdiri atas dua sub sistem, yaitu City’s Hardware dan City’s Software (jasmani kota dan rohani kota).<br /><br />Kota dipandang sebagai jasad yang hidup dimana suatu jaringan organisme untuk kedua sub sistem (jasmani/rohani) memiliki ketergantungan yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Gejala metabolisme (pencernaan), kandiovaskuler (peredaran darah.) merumus (persyaratan) merumus (petualangan) merupakan sub sistem "jasmani kota" yang sehari-harinya memfungsikan jaringan yang menjamin pemenuhan kebutuhan secara fisik.<br /><br />Maka kota yang sehat "hard ware"nya juga memerlukan keseimbangan "soft ware" atau rohani kota yang mencakup berbagai aspirasi kehidupan kota secara ekonomis, politik, administrasi, edukatif, social, kultual dan religius karena rohani kota dan jasmani kota bertalian sangat erat . Ciri-ciri positif yang dikejar kita semua dalam menyusun strategi sebuah kota mendambakan kota yang sehat jasmani dan rohani . Visi biologis dari John Eberhand ini dalam bukunya Technology for the City (New york, 1966) menjamin dimanakah keseimbangan kota secara multidimensional.<br /><br />Pandangan terhadap kota sebagai organisme atau jasad hidup dengan proses keutuhan dan keseimbangan City’s hard ware dan City soft ware sebagaimana diungkapkan diatas, maka lebih diperkaya dan dipertajam dengan pengamatan dan kecenderungan penyusunan ruang kota guna menangkal kemungkinan hilangnya potensi prilaku (budaya) sebagai jati diri.<br /><br />Kita sadar sudah terlalu lama bidang perencanaan kota didominasi dan dilihat dari aspek fisik dan keruanagn seperti untuk ukuran dan besar kota, jalan-jalan, kepadatan dan stuktur sosialnya sementara kebijakan yang diambil kurang berdaya untuk memecahkan masalah yang lebih mendasar yang menjadi "jiwa" dari kota itu berkembang.<br /><br />Bila kita berpaling pada sejarah kota Ternate, maka mozaik kota hampir selalu merupakan pergelaran seni social yang terbentuk dari berbagai rencana ragam perorangan, masyarakat dan kelembagaan. Semua luluh jadi satu. Keterlibatan aktif segenap pihak termasuk penghuni kota akan membuahkan hasil penampilan kota unik, berpribadi dan mengesahkan sesuai visi dan misi kota ini. Penampilan yang saya maksudkan tidak sekedar dalam konotasi keindahan fisual belaka, melainkan menyentuh juga kesejahteraan ekonomi dan kegairahan budaya nya.<br /><br />Dengan demikian, sesuai dengan Visi dan Misi saya Membangun Kota ini (Ternate ) ; strategi perkembangan Kota Ternate ke depan yang nantinya tertuang dalam tata ruang kota dengan berbagai hierarki yang terwujud dalam bentuk peta-peta alokasi spasial dari aneka kegiatan masyarakatnya pada akhirnya harus dilandasi dengan analisa social ekonomi dan budaya yang tajam dan terarah. Beberapa factor yang menjadi pertimbangan bagi kita semua dalam menterjemahkan "Visi dan Misi" kota ini ke depan sebagai strategi dasar menuju masyarakat maju dan bermartabat sebagai pemaknaan masyarakat yang madani.<br /><br />Mengamati perkembangan global, karakter kota Ternate, kultur masyarakat dengan sejumlah permasalahan pokok dan actual maka dirumuskan "Visi dan Misi membangun Kota Ternate " sebagai berikut<br /><br /> * V I S I : Menjadikan Ternate sebagai kota budaya menuju masyarakat madani .<br /> * M I S I : Membangun Ternate menuju Kota Budaya Kota Perdagangan dan Wisata dan Kota Pantai<br /><br />Sebuah kota harus memiliki "jati diri" sehingga jati diri itulah dapat diketahui kearah mana kota itu dikembangkan. Kota Ternate adalah bagian dari sejarah masa lalu yang mengalami perjalanan panjang kolonialisme sejak abad XV dan kota inipun sejak abad VII dan VIII masehi telah tersentuh dengan peradaban dunia .<br /><br />Membangun kota budaya , bukan sekedar merevitalisasikan adab dan tradisi masyarakat local, tetapi lebih dari itu adalah membangun masyarakat yang berbudaya agamis sesuai keyakinan indifidu, masyarakat berbudaya yang saling cinta dan kasih yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan .<br /><br />Sedangkan "Masyarakat Madani" yang diidamkan bukan semata-mata milik suatu komunitas tertentu, tetapi itu merupakan pemaknaan dari sebuah pemahaman tentang "civil society". Terbangunnya "kota budaya" dengan nilai-nilai interensiknya akan merupakan jalan lapang menuju "masyarakat madani" yaitu masyarakat berperadaban yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, masyarakat yang demokratis dan masyarakat sejahtera yang cinta damai .<br /><br />Strategi program pembangunan Ternate sebagai kota Budaya diarahkan upaya mengintegrasikan pembangunan fisik dan non fisik yang mengakarpada nilai dan keagamaan serta tradisi dan budaya masyarakat.<br /><br />Strategi program –strategi program pembangunan kota perdagangan dan wisata diarahkanpada upaya untuk lebih meningkatkan produktifitas, sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi kota secara keseluruhan. Oleh karena itu dibutuhkan penyediaan lahan perkotaaan dan penyiapan infra struktur perdgangan dan pariwisata yang memadai<br /><br />Strategi Program pembangunan kota pantai/kota pulau diarahkan pada upaya meningkatkan dan mengimbangkan kota Ternate dalam suatu sistem wilayah kepulauan melalui peningkatan infra struktur perkotaan, sumber daya alam, sumber daya manusia dalam kerangka pengembangan ekonomi rakyat .<br /><br />Penutup<br /><br />Demikianlah materi ceramah yang dapat saya sampaikan dalam forum ini semoga dapat menyatukan persepsi kita dalam upaya mewujudkan pembentukan menuju masyarakat Madani disertai beberapa strategi pembangunan visi Kota ternate ke depan untuk membangun Ternate sebagai Kota Budaya , Kota Perdagangan / Parawisata dan Kota Pulau/PantaiTaufiqhttp://www.blogger.com/profile/00729102129379588981noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7902481807416017653.post-43163001199683115792007-07-18T13:04:00.000-07:002007-07-18T13:08:30.817-07:00PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MADANIPEMBERDAYAAN MASYARAKAT MADANI<br />Hidayat Nur Wahid, Rabu, 17 Agustus 2005<br /><br /><br />PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MADANI SEBAGAI PEMEGANG PERAN STRATEGIS DALAM PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN<br /><br />Setengah abad sudah, umur perjuangan komunitas keluarga besar bangsa-bangsa se-Asia-Afrika, jika kita menghitungnya sejak pertama kali mereka berkumpul di Bandung dalam tajuk Konferensi Asia-Afrika I tahun 1955.<br /><br />Kurun waktu yang panjang itu, telah banyak memberikan pelajaran berharga bagi negara-negara yang tergabung di dalamnya.<br /><br />Paling tidak, berarti kita telah memiliki wadah untuk memperjuangkan implementasi prinsip universalitas dalam masyarakat madani, melalui kerja sama-kerja sama internasional, meski baru pada lingkup Asia-Afrika.<br /><br />Asia-Afrika merupakan wilayah potensial tempat lahirnya masyarakat berkarakter madani, mengingat bahwa pemeluk Islam dunia sebagian besar berada di negara-negara di Asia-Afrika.<br /><br />Selain itu, adanya persamaan semangat untuk bangkit dari kultur inferior sebagai dampak dari negeri yang pernah terjajah, memudahkan negara-negara di Asia-Arika untuk duduk satu meja.<br /><br />Pembahasan masyarakat madani (civil society), secara singkat dapat diartikan sebagai, pertama, beragam institusi dari keluarga sampai kelompok perkumpulan yang diposisikan berlawanan dengan negara (Hefner 1998).<br /><br />Ia juga bisa berarti suatu keberadaban (civility) atau kesalehan madani (civic virtues).<br /><br />Dalam pengertian pertama, civil society bersifat deskriptif; sedang dalam pengertian kedua ia bersifat normatif, dalam artian fokus perhatian dititikberatkan pada norma yang menjadi fundamen masyarakat dan mengatur tata kehidupannya.<br /><br />Yang jelas keberadaan civil society sering dihubungkan dengan demokrasi.<br /><br />Karena itu konsep civil society mempunyai pertalian erat dengan konsep lain seperti kewarganegaraan, demokrasi, konstitusionalisme, kapital sosial, hingga pemilikan pribadi (Kumar 2000).<br /><br />Anwar Ibrahim mendefinisikan masyarakat madani: �a flourishing of social intermediaries between the family and the state, a social order founded upon moral rules rather than individual fancy, a governance based on popular participation rather than elitist imposition, rule of law instead of human capriciousness, respect for individual freedom and the freedom of expression within the bounds of morality and decency.�<br /><br />Anwar mengenalkan masyarakat madani sebagai suatu konsep institusi-institusi modern dan progresif, yang diposisikan sebagai yang-lain dari negara, dan berada dalam naungan kerangka etika Islam.<br /><br />Tidak ada masa yang paling berharga bagi manusia secara individu ataupun secara kolektif termasuk suatu bangsa kecuali masa depannya. Masa lalu menjadi pijakan bagi manusia atau bangsa menapaki masa kininya demi merekayasa masa depannya yang lebih baik.<br /><br />Dalam konteks masa depan Indonesia sebagai bangsa hendaknya ada beberapa upaya serius yang hendaknya dilakukan ke depan.<br /><br />Pertama, mereorientasi paradigma yang selama ini dianut oleh kebanyakan pihak yang terkesan memarginalkan agama dari domain politik.<br /><br />Alasan klasik yang umum yang terungkap bahwa politik itu kotor sementara agama adalah wilayah suci dan sacral sehingga bila agama dibawa dalam ranah politik maka hal itu idektik dengan menodai kesucian dan sakralitas agama.<br /><br />Paradigma ini yang kemudian melegitimasi praktik-praktik politik orde-orde masa lalu yang terbukti menyeret gerbong raksasa Indonesia menuju krisis multidimensional yang tidak berkesudahan dewasa ini. Hal itu terjadi karena paradigma politik Orde Lama dan Orde Baru yang ada cenderung mempersepsikan politik sebagai entitas politik murni.<br /><br />Negara dianggap sebagai legalitas dan kekuasaan. Politik bagi mereka adalah cara mencapai legalitas dan kekuasaan, partai politik adalah kendaraannya, kepentingan adalah misinya, dan jabatan adalah prestise dan kehormatan.<br /><br />Oleh karenanya, kata kunci komunikasi politik dua orde tersebut adalah persaingan, pengendalian, rekayasa dan politik belah-bambu.<br /><br />Kedua, mereorientasi politik pembangunan bangsa yang selama ini mengedepankan pertumbuhan. Kita tidak anti pertumbuhan yang merupakan hal natural dan menjadi hal yang inheren dalam setiap entitas yang hidup. Tapi persoalannya kemudian pertumbuhan tersebut cenderung memberi ruang tidak proporsional kepada mereka yang sudah relatif established untuk bermain dalam berbagai sektor, terutama sektor ekonomi.<br /><br />Sementara kelompok yang unestablished tidak mendapat porsi yang fair yang memungkinkan mereka tumbuh dengan baik dan menjadi besar. Di sini pertumbuhan yang ditarget pemerintahan masa lalu dianggp gagal menobatkan pertumbuhan sebagai sebuah instrumen yang dapat mewujudkan pemerataan di tengah masyarakat. Yang terjadi justru disparitas sosial yang terus melebar.<br /><br />Ketiga, menata ulang pemerintahan agar struktur yang ada lebih ramping, efisien dan efektif. Pemerintah hendaknya mendorong terus departemen-departemen yang produktif dan strategis untuk bekerja secara lebih baik. Di samping itu harus ada upaya untuk mengkaji ulang eksistensi departemen-departemen yang tidak produktif agar tidak hanya menjadi institusi yang menguras anggaran negara.<br /><br />Keempat, menjadikan negara sebagai daulat al-hadharah (state of civilization) dan daulat al-Risalah (state of mission). Dalam konteks negara yang demikian maka pembangunan menjadi hal yang inherent dari dinamika internal negara tersebut. Negara berfungsi mengeksplorasi segala potensi bangsa dan tanah airnya untuk mencapai peradaban yang akan dibangun sehingga yang terpenting dari setiap individu warga negara yang ada adalah perannya dan bukan jabatan. Jabatan merupakan beban dan tanggung jawab, bukan penghormatan apalagi sarana untuk meraih kesenangan. Nilai bagi setiap orang adalah karyanya. Dan negara bukan lembaga kekuasaan tetapi lembaga pelayanan.<br /><br />Bahan bagi terciptanya masyarakat madani memang sudah ada dalam ajaran-ajaran Islam, �It is altogether ironical that while Islam provides all the values and impetus for the successful establishment and sustenance for civil society, yet it is like a mirage among us.� Esposito (2003) mengamini pendapat Anwar Ibrahim ini dengan menunjukkan fakta sejarah banyaknya institusi-institusi yang menjadi perantara antara penguasa dan rakyat, antara negara dan khalayak. Bentuknya bisa berupa wakaf yang menyokong universitas, rumah sakit, dan kegiatan amal sosial.<br /><br />Syariah juga menyediakan mekanisme keberadaan ulama dan madrasah yang tak berikatan dengan negara. Namun sering sumber daya ini diabaikan dan kadang sampai perlu dihancurkan, sehingga Anwar melihat bahwa, � our failure today is not only to establish civil society but more importantly also because we have not begun to address this fundamental issue.<br /><br />Anwar meyakini bahwa �many if not all of the problems afflicting the people of these continents -- mass poverty, inhumane living conditions, economic backwardness -- have their origin in the absence of civil society. Symptomatic of such an absence is the denial of basic rights, corruption, squandering of the nation\'s wealth, moral decadence, abuse of power, the marginalization of women, injustice, just to name a few.�<br /><br />Karenanya, �Perhaps the greatest challenge in our time for Muslim societies, and other societies in Asia and Africa, is the establishment of a civil society.� Kemungkinan mendirikan masyarakat madani lebih besar probabilitasnya di negara-negara tempat etika dan moralitas adalah bagian dari perikehidupan masyarakat itu sendiri, tempat masyarakat sudah terbiasa dengan kehidupan civil society yang menuntut pluralisme, multikulturalisme, toleransi tinggi dan sebagainya, �The diversity and constant interaction of people from different cultural, religious and ethnic backgrounds has fostered close interdependence. It is no exaggeration to say that this is a living convivencia - a situation quite reminiscent of the golden age of Muslim Spain, where Christians, Jews and Muslims lived in peaceful harmonious coexistence. If that golden age could give birth to great intellectual flowerings, it is therefore not impossible that our own present convivencia, if properly nurtured, through cross fertilization of ideas, will herald the coming of an Asian Renaissance. Indeed, as Muslims and as Southeast Asians, we cherish this heritage of cultural and religious diversity. This \"living together\" would not be possible without mutual tolerance, mutual respect, and being moderate and pragmatic in the conduct of our affairs�<br /><br />Rumpun Melayu adalah mereka yang dianggap mampu melakukan program besar ini dibawah panji Asian Renaissance: �True, Southeast Asian Muslims are not without their share of problems. But what differentiates them from their brethren in other parts of the world is their sense of priorities. The proponents of the imposition of Muslim laws or the establishment of an Islamic state are confined to the periphery. Southeast Asian Muslims prefer to concentrate on the task of ensuring economic growth and eradicating poverty, instead of amputating the limbs of thieves. They would rather strive to improve the welfare of the women and children in their midst, than spend their days elaborately defining the nature and institutions of the ideal Islamic State. They do not believe it would make one less of a Muslim to promote economic growth, to master the information revolution, and to demand justice for women. Nor do they believe it would strengthen one�s commitment to religion by instilling anxiety among people of other faiths.� Muslim Melayu yang kini adalah bagian dari Asia yang �is poised to rise again, but it will not be the same old Asia. It is an Asia that has been further enriched with the encounter with modern science, technology and modern political and civil institutions.�<br /><br />Dengan kata lain sebuah bangsa yang tak lagi meributkan perbedaan remeh antara Barat dan Timur atau Barat dengan Islam, tapi satu rumpun dengan melalui kegigihannya dalam belajar berhasil mengambil apa-apa penting bagi kepentingannya sambil tetap memegang teguh identitasnya.<br /><br />Meski umat muslim menjadi mayoritas di Indonesia, kecurigaan atau ketidakpercayaan terhadap semangat untuk menghidupkan kembali ruh masyarakat madani, ternyata muncul dari segelintir umat muslim sendiri.<br /><br />Dalam kaca mata positif, fenomena ini justru menyadarkan para da�i dan ulama, bahwa ternyata masih ada pemeluk Islam yang membutuhkan pencerahan terhadap wacana dan cita-cita masyarakat madani.<br /><br />Dalam konteks bangsa Indonesia, cita-cita masyarakat madani sebenarnya sama dengan cita-cita bangsa Indonesia. Yaitu menjadikan Indonesia sebagai negara kuat, yang dapat membawa misi rahmat keadilan bagi segenap umat manusia.<br /><br />Karena hanya denganya bangsa ini akan menjadi kontributor peradaban manusia. Dan bumi Indonesia akan menjelma menjadi taman kehidupan yang tentram dan damai, seperti sebuah negeri yang dilukiskan Al-Quran sebagai � Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur (negeri yang makmur dan Tuhan Yang Maha Pengampun)�<br /><br />Pengertian pemberdayaan masyarakat madani perlu terus ditingkatkan dan mendapat perhatian sungguh-sungguh dari setiap penyelenggara negara. Bahkan untuk menjamin peradaban bangsa di masa depan, ketiga wilayah (domain) negara (state), masyarakat (civil society) dan pasar (market) itu sama-sama harus dikembangkan keberdayaanya dalam hubungan yang fungsional, sinergis dan seimbang.<br /><br />Karenanya, meski pengertian-pengertian yang berkenaan dengan pemberdayaan masyarakat madani itu belum mengkristal sebagai pendapat umum dan kesadaran kolektif rakyat, namun doktrin masyarakat madani kiranya perlu terus dikembangkan sejalan dengan gelombang demokratisasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Momentum KAA 50 tahun silam telah secara kuat menyiratkan gelombang demokratisasi ini bagi komunitas di negara bangsa di Asia dan Afrika.<br /><br />Sebagai konsekuensinya, negara seyogianya tidak mencampuri (interventionist) terlalu jauh ke dalam mekanisme pasar dan demikian pula dalam domain publik (society). Dengan kata lain, paham �welfare state� yang memberikan pembenaran konseptual terhadap kecendurangan interventionisme negara, hendaklah dibatasi sebagaimana mestinya.<br /><br />Pada galibnya, ini sudah tercermin dalam rumusan UUD negara kita, yang disatu segi perlu mengadopsikan gagasan �welfare state� dan paham demokrasi ekonomi ke dalamnya . Tetapi, di segi yang lain, jangan sampai hanyut dengan menentukan hal-hal yang seharusnya merupakan domain publik dan domain pasar diatur oleh negara.<br /><br />Penting untuk disadari bahwa institusi negara dibentuk, tidak dengan maksud untuk mengambil alih fungsi fungsi yang secara alamiah dapat dikerjakan sendiri secara lebih efektif dan efisien oleh istitusi masyarakat. Institusi negara dibentuk justru dengan maksud untuk makin mendorong tumbuh dan berkembangnya peradaban bangsa Indonesia, sesuai dengan cita dan citra masyarakat madani yang maju,mandiri, sejahtera lahir batin, demokratis dan berkeadilan.<br /><br />Maka tidaklah berlebihan jika UUD kita diharapkan dapat berfungsi efektif sebagai sarana pembaruan (tool of reformation) secara bertahap tetapi berkesinambungan dalam rangka perekayaan (constitutional engineering) ke arah perwujudan cita-cita masyarakat madani itu.<br /><br />Diatas semua pembaruan yang didasari konstitusi dan hukum, pondasi moralitas spiritual manusialah yang menentukan kebebasan hakikinya, sebagaimana dikatakan Judge Learned Hand: �I often wonder whether we do not rest our hopes too much upon constitutions, upon laws and courts. These are false hopes; believe me these are false hopes. Liberty lies in the hearts of man; when it dies there, no constitution, no law, no court can save it...�.<br /><br />Sekali lagi, keberadaan momentum setengah abad KAA di Bandung ini hendaknya makin memperkuat moralitas pentingnya pemberdayaan masyarakat madani sebagai pemegang peran strategis dalam penyelenggaraan pembangunan seperti teracantum dalam mukadimah di awal kutipan dari The Ten Commitments, Copenhagen Declaration and Programme of Action, World Summit for Social Development, 1995.<br /><br />Akhirnya, alangkah baiknya jika semua pihak dapat memaksimalkan momentum ini untuk mengambil hikmah dalam perjalanan pahit getir upaya pengejewantahan Dasa Sila Bandung yang telah dilahirkan lima dekade silam, sehingga bangsa Asia dan Afrika tetap selalu bijak dalam melangkah ke depan.Taufiqhttp://www.blogger.com/profile/00729102129379588981noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7902481807416017653.post-51618429707487291202007-07-18T13:01:00.000-07:002007-07-18T13:04:16.454-07:00Masyarakat Madani: Dialog Islam dan Modernitas di IndonesiaMasyarakat Madani: Dialog Islam dan Modernitas di Indonesia<br />Saefur Rochmat*)<br /><br />Abstrak: Masyarakat madani yang sedang dikembangkan sekarang ini mempunyai sejarah tersendiri. Di sini akan diselidiki konsep tersebut sebagai suatu bentuk dialog Islam dengan modernisasi. Selanjutnya dilihat juga posisi masyarakat dan negara dalam Islam. Masyarakat madani kadang dipahami sebagai masyarakat sipil, karena diterjemahkan dari konsep civil society yang lahir di Barat pada abad ke-18 dengan tokohnya John Locke atau Montesquieu. Sebelumnya, pada zaman Yunani Kuno sudah dikenal societies civilis, namun dengan pengertian yang identik dengan negara. Civil society dimaksudkan mencegah lahirnya pemerintahan otoriter melalui kontrol dari masyarakat. Berdasarkan projecting back theory (melihat sejarah awal Islam sebagai patokan), umat Islam menerjemahkan civil society dengan masyarakat madani, yaitu suatu masyarakat yang diciptakan Nabi Muhammad SAW di Madinah. Karena ciri-ciri kehidupan yang ideal pada masa Nabi Muhammad SAW dianggap sebagai proto-masyarakat modern. Hal tersebut merupakan bentuk dialog Islam dengan modernitas sesuai dengan hukum dialektika. Dialog tersebut bersifat aktif karena Barat mengembangkan konsep civil society tersebut berdasarkan sejarah awal Islam<br /><br />Kata kunci: masyarakat madani, negara, Nabi, Indonesia, projecting back theory.<br />1. Pendahuluan<br /><br />Masyarakat madani sebagai terjemahan dari civil society diperkenalkan pertama kali oleh Anwar Ibrahim (ketika itu Menteri Keuangan dan Timbalan Perdana Menteri Malaysia) dalam ceramah Simposium Nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada Festival Istiqlal, 26 September 1995 (Hamim, 2000: 115). Istilah itu diterjemahkan dari bahasa Arab mujtama’ madani, yang diperkenalkan oleh Prof. Naquib Attas, seorang ahli sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia, pendiri ISTAC (Ismail, 2000:180-181). Kata “madani” berarti civil atau civilized (beradab). Madani berarti juga peradaban, sebagaimana kata Arab lainnya seperti hadlari, tsaqafi atau tamaddun. Konsep madani bagi orang Arab memang mengacu pada hal-hal yang ideal dalam kehidupan.<br /><br />Munculnya konsep masyarakat madani menunjukkan intelektual muslim Melayu mampu menginterpretasikan ajaran Islam dalam kehidupan modern, persisnya mengawinkan ajaran Islam dengan konsep civil society yang lahir di Barat pada abad ke-18. Konsep masyarakat madani digunakan sebagai alternatif untuk mewujudkan good government, menggantikan bangunan Orde Baru yang menyebabkan bangsa Indonesia terpuruk dalam krisis multidimensional yang tak berkesudahan. <br /><br />Perumusan konsep masyarakat madani menggunakan projecting back theory, yang berangkat dari sebuah hadits yang mengatakan “Khayr al-Qurun qarni thumma al-ladhi yalunahu thumma al-ladhi yalunahu”, yaitu dalam menetapkan ukuran baik atau buruknya perilaku harus dengan merujuk pada kejadian yang terdapat dalam khazanah sejarah masa awal Islam dan bila tidak ditemukan maka dicari pada sumber normatif al-Qur’an dan Hadits (Hamim, 2000: 115-127). Civil society yang lahir di Barat diislamkan menjadi masyarakat madani, yaitu suatu masyarakat kota Madinah bentukan Nabi Muhammad SAW. Mereka mengambil contoh dari data historis Islam yang secara kualitatif dapat dibandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil society. <br /><br />Mereka melakukan penyetaraan itu untuk menunjukkan bahwa di satu sisi, Islam mempunyai kemampuan untuk diinterpretasi ulang sesuai dengan perkembangan zaman, dan di sisi lain, masyarakat kota Madinah merupakan proto-type masyarakat ideal produk Islam yang bisa dipersandingkan dengan konsep civil society. Rasanya tidaklah berlebihan kalau kita menerjemahkan civil society dengan masyarakat madani, karena kehidupan masyarakat Madinah di bawah Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin sangat menjunjung tinggi prinsip-prinsip dalam civil society yang lahir di Barat. Dengan demikian, konsep masyarakat madani merupakan bentuk dialog Islam dengan modernitas (Barat). Reinterpretasi Islam terhadap perkembangan zaman bukan sesuatu yang tabu melainkan suatu keharusan dari hukum dialektika thesis-antithesis-synthesis dalam rangka menuju ke arah yang lebih baik. <br /><br />Dialog dialektik Islam dan Barat bersifat aktif, karena sebelumnya Barat telah melakukan studi perbandingan dengan peradaban Islam ketika mau merumuskan civil society. Pada waktu itu, Barat sedang dalam cengkeraman pemerintahan otoriter, dan menilai sistem pemerintahan Nabi Muhammad SAW adalah sangat baik. Pengaruh Islam dalam civil society sudah dijelaskan C.G. Weeramantry dan M. Hidayatullah dalam bukunya Islamic Jurisprudence: An International Perspective, terbitan Macmillan Press (1988). Menurutnya, pemikiran John Locke dan Rousseau tentang teori kedaulatan (sovereignty) mendapatkan pengaruh dari pemikiran Islam. Locke ketika menjadi mahasiswa Oxford sangat frustasi dengan disiplinnya, dan lebih tertarik mengikuti ceramah dan kuliah Edward Pococke, profesor studi tentang Arab. Kemudian perhatian pemikiran Locke mengenai problem-problem tentang pemerintahan, kekuasaan, dan kebebasan individu. <br /><br />Rousseau dalam Social Contract-nya juga tidak lepas dari pengaruh Islam. Bahkan dia secara jelas menyebut: ‘Mohamet had very sound opinions, taking care to give unity to his political system, and for as long as the form of his government endured under the caliphs who succeeded him, the government was undivided and, to that extent, good’. Sementara Montesquieu bermula dari bukunya Persian Lettters, yang kemudian diteruskan dalam buku berikutnya The Spirit of the Laws, tidak lepas dari pengaruh Islam. Tentang Montesquieu ditulis “indeed there are many specific references to the Qur’an and to the Islamic law in the writing of Montesquieu” (Azizi, 2000: 94).<br /><br />2. Masyarakat Madani dan Negara <br /><br />Konsep masyarakat madani tidak langsung terbentuk dalam format seperti yang dikenal sekarang ini. Bahkan konsep ini pun masih akan berkembang terus akibat dari proses pengaktualisasian yang dinamis dari konsep tersebut di lapangan. Konsep masyarakat madani memiliki rentang waktu pembentukan yang sangat panjang sebagai hasil dari akumulasi pemikiran yang akhirnya membentuk profile konsep normatif seperti yang dikenal sekarang ini (Hamim, 2000: 112-113). <br /><br />Kadang, masyarakat madani dipahami sebagai masyarakat sipil, terjemahan civil society yang lahir di Barat pada abad ke-18. Hal tersebut diperkuat oleh latar belakang dimunculkannya civil society di Indonesia, sebagai kaunter terhadap dominasi ABRI (nama waktu itu untuk tentara dan polisi di Indonesia) yang menerapkan doktrin dwi fungsi, dimana ABRI memerankan tugas-tugas sipil sebagai penyelenggara lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hampir semua kepala pemerintahan dari pusat sampai daerah dipegang oleh ABRI. Kebencian terhadap ABRI semakin dalam ketika mereka terkooptasi oleh rezim Soeharto untuk membungkam rakyat yang kritis terhadap gaya pemerintahan yang feodal dan otoriter. Orang juga tahu kalau ABRI berada di belakang semua aksi teror dan penculikan terhadap para aktivis demokrasi (Hamim, 2000: 113).<br /><br />Para intelektual Muslim menjadikan Amerika Serikat sebagai model dari bentukan civil society. Di Amerika kekuasaan negara sangat terbatas dan tidak bisa mengintervensi hak-hak individu (biasa disebut dengan small stateness), namun sangat kuat dalam bidang pelaksanaan hukum (Azizi, 2000: 87). Sedangkan di Indonesia, yang terjadi adalah sebalinya. Akibatnya, di Indonesia sering terjadi pergantian pemerintahan, karena penegakkan hukum masih lemah dan MPR/DPR mempunyai kekuasaan yang besar.<br /><br />Kita boleh menjadikan Amerika sebagai model dan bukan mengekor karena perbedaan situasi dan kondisi dari kedua negara tersebut. Kita mungkin dapat belajar dari pelaksanaan hukum di sana, dan mengkoreksi posisi negara yang lemah vis-à-vis masyarakat. Islam mengembangkan prinsip keseimbangan dalam segala aspek kehidupan. Dalam bidang hukum pun demikian, karena negara tidak boleh tunduk kepada keinginan masyarakat yang menyimpang dari akal sehat seperti menuruti suara mayoritas yang menghendaki diperbolehkannya minuman keras. <br /><br />Tidak benar jika ingin mewujudkan masyarakat madani harus memperlemah posisi eksekutif seperti yang terjadi di Amerika. Selain bertentangan dengan prinsip keseimbangan juga mengingkari sejarah masyarakat madani ciptaan Nabi Muhammad SAW yang berbentuk negara. Kesan salah tersebut terjadi karena lahirnya civil society bersamaan dengan konsep negara modern, yang bertujuan: Pertama, untuk menghindari lahirnya negara absolut yang muncul sejak abad ke-16 di Eropa. Kedua, untuk mengontrol kekuasaan negara. Atas dasar itu, perumus civil society menyusun kerangka dasar sebagai berikut (Gamble, 1988: 47-48):<br /><br />…the state as an association between the members of a society rather than as the personal domain of a monarch, and furthermore as an association that is unique among all the associations in civil society because of the role it plays. Thingking of the state as an association between all members of a society means ascribing to it supreme authority to make and enforce laws –the general rules that regulate social arrangements and social relationships. If the state is accorded such a role, and if it is to be a genuine association between all members of the community, it follows that its claim to supreme authority cannot be based upon the hereditary title of a royal line, but must originate in the way in which rulers are related to the ruled. <br /><br />Dengan penjelasan di atas, Gamble (1988: 54) menyimpulkan bahwa teori negara modern mencakup dua tema sentral yaitu sovereignty; dan political economy, the problem of the relationship of state power to civil society. Sedangkan, konsep civil society lebih berkait dengan tema kedua itu, yaitu:<br /><br />…how government should ralate to the private, individualist world of civil society organised around commodity production, individual exchange, and money; what policies and puposes it should pursue and how the general interest should be defined. Two principal lines of thought emerged. In the first, the state came to be regarded as necessarily subordinate to civil society; in the second, it was seen as a sphere which included but also transcended civil society and countered its harmful effects. These different conceptions were later to form one of the major dividing lines in modern liberalism. <br /><br />Hegel dan Rousseau (Gamble, 1988: 56) memandang negara modern lebih dari sekedar penjamin bagi berkembangnya civil society, karena negara modern didirikan atas dasar persamaan semua warga negara, maka negara tidak hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan akhir tertentu bersama, seperti penjamin aturan pasar agar setiap individu dapat mengejar keperluannya; melainkan merupakan puncak dari sistem sosial, dimana nilai tertinggi bukan pada individu melainkan pada kehidupan bersama<br /><br />Adam Seligman (Azizi, 2000: 88-89) mengemukakan dua penggunaan istilah civil society dari sudut konsep sosiologi, yaitu dalam tingkatan kelembagaan (organisasi) sebagai tipe sosiologi politik dan membuat civil society sebagai suatu fenomena dalam dunia nilai dan kepercayaan. Dalam pengertian yang pertama, civil society dijadikan sebagai perwujudan suatu tipe keteraturan kelembagaan dan dijadikan jargon untuk memperkuat ide demokrasi yang mempunyai delapan karakteristik, yaitu:<br /><br />(1) the freedom to form and join organizations, (2) freedom of expression, (3) the right to vote, (4) eligibility for public office, (5) the right of political leaders to compate for support and votes, (6) alteernative sources of information (what we would call a free press, (7) free and fair elections, and (8) institutions for making government policies depend on votes and other expressions of preference. <br /><br />Dari delapan karakteristik demokrasi yang merupakan tugas negara modern, maka kita tahu bahwa negara mempunyai tugas untuk mengembangkan masyarakat madani. <br /><br />Penggunaan istilah yang kedua berkaitan dengan tinjauan filsafat yang menekankan pada nilai dan kepercayaan, sebagai pengaruh moralitas Kristen dalam peradaban modern. Moral diyakini sangat penting untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, walaupun aspek moral itu tidak ditransendenkan kepada Tuhan, dengan alasan seperti yang diyakini Montesquieu dan Tocqueville “the people can be trusted to rule themselves” (Azizi, 2000: 90). Mereka mengabaikan peran Tuhan yang dipandang sudah tidak cocok lagi untuk dunia modern. Mereka yakin agama hanya berperan sebagai masa transisi antara dunia mitos dan dunia modern.<br /><br /> <br />3. Masyarakat Madani di Indonesia<br /><br />Masyarakat madani sukar tumbuh dan berkembang pada rezim Orde Baru karena adanya sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme dan birokratisasi di hampir seluruh aspek kehidupan, terutama terbentuknya organisasi-organisasi kemasyarakatan dan profesi dalam wadah tunggal, seperti MUI, KNPI, PWI, SPSI, HKTI, dan sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut tidak memiliki kemandirian dalam pemilihan pemimpin maupun penyusunan program-programnya, sehingga mereka tidak memiliki kekuatan kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan.<br /><br />Kebijakan ini juga berlaku terhadap masyarakat politik (political societies), sehingga partai-partai politik pun tidak berdaya melakukan kontrol terhadap pemerintah dan tawar-menawar dengannya dalam menyampaikan aspirasi rakyat. Hanya beberapa organisasi keagamaan yang memiliki basis sosial besar yang agak memiliki kemandirian dan kekuatan dalam mempresentasikan diri sebagai unsur dari masyarakat madani, seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang dimotori oleh KH Abdurrahman Wahid dan Muhammadiyah dengan motor Prof. Dr. Amien Rais. Pemerintah sulit untuk melakukan intervensi dalam pemilihan pimpinan organisasi keagamaan tersebut karena mereka memiliki otoritas dalam pemahaman ajaran Islam. Pengaruh politik tokoh dan organisasi keagamaan ini bahkan lebih besar daripada partai-partai politik yang ada.<br /><br />Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan Wakil Presiden Habibie sebagai presiden dalam masa transisi telah mempopulerkan konsep masyarakat madani karena presiden beserta kabinetnya selalu melontarkan diskursus tentang konsep itu pada berbagai kesempatan. Bahkan, Habibie mengeluarkan Keppres No 198 Tahun 1998 tanggal 27 Februari 1999 untuk membentuk suatu lembaga dengan tugas untuk merumuskan dan mensosialisasikan konsep masyarakat madani itu. Konsep masyarakat madani dikembangkan untuk menggantikan paradigma lama yang menekankan pada stabilitas dan keamanan yang terbukti sudah tidak cocok lagi. Soeharto terpaksa harus turun tahta pada tanggal 21 Mei 1998 oleh tekanan dari gerakan Reformasi yang sudah bosan dengan pemerintahan militer Soeharto yang otoriter. Gerakan Reformasi didukung oleh negara-negara Barat yang menggulirkan konsep civil society dengan tema pokok Hak Asasi Manusia (HAM). <br /><br />Presiden Habibie mendapat dukungan dari ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), suatu bentuk pressure group dari kalangan Islam, dimana ia duduk sebagai Ketua Umumnya. Terbentuknya ICMI merupakan suatu keberhasilan umat Islam dalam mendekati kekuasaan karena sebelumnya pemerintah sangat phobi terhadap Islam politik. Hal itu terjadi karena ada perantara Habibie yang sangat dekat dengan Soeharto. Dengan demikian, pengembangan konsep masyarakat madani merupakan salah satu cara dari kelompok ICMI untuk merebut pengaruh dalam Pemilu 1997. Kemudian konsep masyarakat madani mendapat dukungan luas dari para politisi, akademisi, agamawan, dan media massa karena mereka semua merasa berkepentingan untuk menyelamatkan gerakan Reformasi yang hendak menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum, dan HAM.<br /><br />Pengamat politik dari UGM, Dr Mohtar Mas'oed (Republika, 3 Maret 1999) yakin bahwa pengembangan masyarakat madani memang bisa membantu menciptakan atau melestarikan demokrasi, namun bagi masyarakat yang belum berpengalaman dalam berdemokrasi, pengembangan masyarakat madani justru bisa menjadi hambatan terhadap demokrasi karena mereka menganggap demokrasi adalah distribusi kekuasaan politik dengan tujuan pemerataan pembagian kekuasaan, bukan pada aturan main. Untuk menghindari hal itu, diperlukan pengembangan lembaga-lembaga demokrasi, terutama pelembagaan politik, di samping birokrasi yang efektif, yang menjamin keberlanjutan proses pemerintahan yang terbuka dan partisipatoris.<br /><br />Keteganggan di Indonesia tidak hanya dalam wacana politik saja, tetapi diperparah dengan gejala desintegrasi bangsa terutama kasus Timor Timur, Gerakan Aceh Merdeka, dan Gerakan Papua merdeka. Hal itu lebih didorong oleh dosa rezim Orde Baru yang telah mengabaikan ciri-ciri masyarakat madani seperti pelanggaran HAM, tidak tegaknya hukum, dan pemerintahan yang sentralistis/absolut. Sedangkan, kerusuhan sosial yang sering membawa persoalan SARA menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang buta hukum dan politik (sebagai prasyarat masyarakat madani), di samping penegakkan hukum yang masih belum memuaskan.<br /><br />Munculnya wacana civil society di Indonesia banyak disuarakan oleh kalangan “tradisionalis” (termasuk Nahdlatul Ulama), bukan oleh kalangan “modernis” (Rumadi, 1999). Hal ini bisa dipahami karena pada masa tersebut, NU adalah komunitas yang tidak sepenuhnya terakomodasi dalam negara, bahkan dipinggirkan dalam peran kenegaraan. Di kalangan NU dikembangkan wacana civil society yang dipahami sebagai masyarakat non-negara dan selalu tampil berhadapan dengan negara. Kalangan muda NU begitu keranjingan dengan wacana civil society, lihat mereka mendirikan LKIS yang arti sebenarnya adalah Lembaga Kajian Kiri Islam, namun disamarkan keluar sebagai Lembaga Kajian Islam.<br /><br />Kebangkitan wacana civil society dalam NU diawali dengan momentum kembali ke khittah 1926 pada tahun 1984 yang mengantarkan Gus Dur sebagai Ketua Umum NU. Gus Dur memperkenalkan pendekatan budaya dalam berhubungan dengan negara sehingga ia dikenal sebagai kelompok Islam budaya, yang dibedakan dengan kelompok Islam Politik. Dari kandungan NU lahir prinsip dualitas Islam-negara, sebagai dasar NU menerima asas tunggal Pancasila. Alasan penerimaan NU terhadap Pancasila berkaitan dengan konsep masyarakat madani, yang menekankan paham pluralisme, yaitu: (1) aspek vertikal, yaitu sifat pluralitas umat (QS al-Hujurat 13) dan adanya satu universal kemanusiaan, sesuai dengan Perennial Philosophy (Filsafat Hari Akhir) atau Religion of the Heart yang didasarkan pada prinsip kesatuan (tawhid); (2) aspek horisontal, yaitu kemaslahatan umat dalam memutuskan perkara baik politik maupun agama; dan (3) fakta historis bahwa KH A. Wahid Hasyim sebagai salah seorang perumus Pancasila, di samping adanya fatwa Mukhtamar NU 1935 di Palembang (Ismail, 1999: 17).<br /><br />Dalam pandangan Gus Dur, Islam sebagai agama universal tidak mengatur bentuk negara yang terkait oleh konteks ruang dan waktu sehingga Nabi Muhammad SAW sendiri tidak menamakan dirinya sebagai kepala negara Islam dan Nabi tidak melontarkan ide suksesi yang tentunya sebagai prasyarat bagi kelangsungan negara (Wahid, 2000: 16). Walaupun Nabi telah melakukan revolusi dalam masyarakat Arab, tetapi ia sangat menghormati tradisi dan memperbaharuinya secara bertahap sesuai dengan psikologi manusia karena tujuannya bukanlah menciptakan orde baru (a new legal order) tapi untuk mendidik manusia dalam mencapai keselamatan melalui terwujudnya kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan (Schacht, 1979: 541).<br /><br />Pandangan pluralisnya didasarkan pada sejarah kehidupan Nabi sendiri yang terbuka terhadap peradaban lain, di samping tentunya sifat universalisme Islam. Dalam Islam ada lima jaminan dasar, seperti yang tersebar dalam literatur hukum agama (al-kutub al-fiqhiyyah), sebagaimana dikatakan Wahid (1999: 1) sebagai berikut: (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa adanya paksaan untuk berpindah agama, (3) keselamatan keluarga dan keturunan, (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, dan (5) keselamatan profesi.<br /><br />Nabi Muhammad SAW telah menampilkan peradaban Islam yang kosmopolitan dengan konsep umat yang menghilangkan batas etnis, pluralitas budaya, dan heteroginitas politik. Peradaban Islam yang ideal tercapai bila tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum Muslimin dan kebebasan berpikir semua warga masyarakat (termasuk mereka yang non-Muslim) (Wahid, 1999: 4). Keseimbangan itu terganggu dengan dilakukannya ortodoksi (formalisme) terhadap ajaran Islam. Ortodoksi yang tadinya untuk mensistematiskan dan mempermudah pengajaran agama, akhirnya menjadi pemasung terhadap kebebasan berpikir karena setiap ada pemikiran kreatif langsung dituduh sebagai bid’ah. Gus Dur memerankan diri sebagai penentang terhadap ortodoksi Islam atau dikatakannya main mutlak-mutlakan yang dapat membunuh keberagaman. Sebagai komitmennya dia berusaha membangun kebersamaan dalam kehidupan umat beragama, yang tidak hanya didasarkan pada toleransi model kerukunan (ko-eksistensi) dalam Trilogi Kerukunan Umat Beragama-nya mantan Menteri Agama H. Alamsyah Ratu Prawiranegara (1978-1983), tetapi didasarkan pada aspek saling mengerti (Hidayat dan Gaus, 1998: xiv). Oleh karena itu, Gus Dur sangat mendukung dialong antaragama/antarimam, bahkan ia ikut memprakarsai berdirinya suatu lembaga yang bernama Interfidie, yaitu suatu lembaga yang dibentuk dengan tujuan untuk memupuk saling pengertian antaragama. Gus Dur, seperti kelompok Tradisionalis lainnya, tidak memandang orang berdasarkan agama tapi lebih pada pribadi, visi, kesederhanaan, dan ketulusannya untuk pengabdian pada sesama.<br /><br />Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden sebenarnya menyiratkan sebuah problem tentang prospek masyarakat madani di kalangan NU karena NU yang dulu menjadi komunitas non-negara dan selalu menjadi kekuatan penyeimbang, kini telah menjadi “negara” itu sendiri. Hal tersebut memerlukan identikasi tentang peran apa yang akan dilakukan dan bagaimana NU memposisikan diri dalam konstelasi politik nasional. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian awal bahwa timbulnya civil society pada abad ke-18 dimaksudkan untuk mencegah lahirnya negara otoriter, maka NU harus memerankan fungsi komplemen terhadap tugas negara, yaitu membantu tugas negara ataupun melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh negara, misalnya pengembangan pesantren (Rumadi, 1999: 3). Sementara, Gus Dur harus mendukung terciptanya negara yang demokratis supaya memungkinkan berkembangnya masyarakat madani, dimana negara hanya berperan sebagai ‘polisi’ yang menjaga lalu lintas kehidupan beragama dengan rambu-rambu Pancasila (Wahid, 1991: 164).<br /><br />4. Simpulan<br /><br />Ekses dari gerakan Reformasi yang berhasil menggulingkan rezim Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 masih terus belum teratasi, seperti kerusuhan berbau SARA. Hal itu terjadi karena baik pemerintah maupun masyarakat masih belum berpengalaman dalam berdemokrasi, sehingga pengembangan masyarakat madani bisa menjadi hambatan bagi demokrasi, karena demokrasi dianggap sebagai distribusi kekuasaan politik dengan tujuan pemerataan pembagian kekuasaan, bukan pada aturan main.<br /><br /> <br />Dilihat dari sejarahnya civil society yang lahir di Eropa pada abad ke-18 dengan tokohnya John Locke atau Montesquieu bertujuan untuk menghindari pemerintahan yang absolut. Dan Indonesia telah meniru model Amerika, dimana negara mempunyai posisi yang lemah vis-à-vis masyarakat. Hal itu bertentangan dengan prinsip keseimbangan dalam Islam dan sejarah masyarakat Madinah bentukan Nabi Muhammad SAW. Realitas juga menunjukkan kalau negara yang demokratis tidak dapat dilakukan sendiri oleh masyarkat madani, tetapi harus ada keinginan politik juga dari pemerintah karena banyak karakteristik dari demokrasi yang memang menjadi kewajiban negara modern. <br /><br />Dengan demikian, diharapkan pemerintah dan MPR/DPR saling menjaga keseimbangan untuk menegakkan hukum yang sehat dan demokrasi. Masyarakat juga harus mengontrol kinerja pemerintah dan para wakilnya, agar tidak bertentangan dengan kehendak masyarakat madani. Baik menjadi anggota masyarakat madani maupun perangkat negara hendaknya dapat mewujudkan demokrasi. <br /> <br />Daftar Pustaka<br /><br />Azizi, A Qodri Abdillah. 2000. Masyarakat madani Antara Cita dan Fakta: Kajian Historis-Normatif. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.<br /><br />Departemen Agama. 1992. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: PT Tanjung Mas Inti.<br /><br />Habibie, B.J. 1999. Keppres No. 198 Tahun 1998 Tanggal 27 Februari 1999. Jakarta.<br /><br />Hamim, Thoha. 2000. Islam dan Civil society (Masyarakat madani): Tinjauan tentang Prinsip Human Rights, Pluralism dan Religious Tolerance. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.<br /><br />Gamble, Andrew. 1988. An Introduction to Modern Social and Political Thought. Hongkong: Macmillan Education Ltd.<br /><br />Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF. 1998. Pasing Over: Melintas Batas Agama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. xiv.<br /><br />Ismail SM. 2000. Signifikansi Peran Pesantren dalam Pengembangan Masyarakat madani. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.<br /><br />Ismail, Faisal. 1999. NU, Gusdurism, dan Politik Kyai. Yogyakarta: Tiara Wacana.<br /><br />Mohtar Mas’oed. (1999). Republika 3 Maret 1999.<br /><br />Rumadi. 1999. Civil Society dan NU Pasca-Gus Dur. Kompas Online. 5 November 1999.<br /><br />Schacht, Joseph and C.E. Bosworth (eds.). 1979. The Legacy of Islam. London: Oxford University Press.<br /><br />Wahid, Abdurrahman. 1991. Pancasila sebagai Ideologi dalam Kaitannya dengan Kehidupan Beragama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Oetojo Oesman dan Alfian (eds.). Pancasila sebagai Ideologi. Jakarta: BP 7 Pusat.<br /><br />Wahid, Abdurrahman. 1999. Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam. <http:/artikel.isnet.org/Islam/Paramadina/Konteks/Universalisme.html> 11/9/99. Hal. 1.<br /><br />Wahid, Abdurrahman. 2000. Tuhan Tidak Perlu Dibela. Yogyakarta: LkiS.<br /><br />Weeramantry, C.G. dan M. Hidayatullah. 1988. Islamic Jurisprudence: An International Perspective. London: The Mcmillan Press.<br /><br />*) Dosen Jurusan Sejarah FIS Universitas Negeri YogyakartaTaufiqhttp://www.blogger.com/profile/00729102129379588981noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7902481807416017653.post-63632595543992558272007-07-18T12:48:00.000-07:002007-07-18T13:01:21.747-07:00Baca-Tulis Masyarakat MadaniBaca-Tulis Masyarakat Madani<br />Oleh A. Chaedar Alwasilah, <br />Pikiran Rakyat, 7 September 2005<br /><br />Nilai, norma, hukum, dan iman adalah potensi psikologis yang inheren dalam setiap masyarakat dan relatif statis dibandingkan dengan ilmu, teknologi dan peradaban. Dengan kata lain, 'bermadani' mensyaratkan pemertahanan nilai-nilai tradisional dan pada waktu yang bersamaan disaling-hadapkan dengan ilmu dan teknologi yang tidak sabar untuk berlari tanpa henti.<br /><br />Berperadaban adalah proses belajar secara kolektif dan sepanjang sejarah sehingga mencapai derajat cultured, yakni masyarakat yang berpendidikan, yang indikatornya mencakup kemampuan membaca dan menulis. Dua kegiatan ini adalah media transformasi dari tahap ke tahap peradaban manusia. Lewat kaji ulang secara saksama ihwal tulis-menulis kita dapat mengungkap kesejarahan peradaban manusia.<br /><br />Masyarakat wacana madani<br /><br />Dalam arti luas setiap masyarakat yang berpendidikan pasti berwacana, yakni berkomunikasi baca-tulis, namun wacananya belum tentu berkualitas madani. Literasi madani (civil literacy) adalah kemampuan masyarakat untuk membaca agar mampu memberi keputusan sosial yang bertanggung jawab dan kemampuan menulis secara kritis untuk mengaktualisasikan peran sosialnya dalam masyarakat. Literasi adalah niscaya untuk membangun masyarakat madani, yang merupakan ajang partisipasi warga negara sebagai bagian dari kehidupaan demokrasi.<br /><br />Proses belajar-mengajar dan pemerolehan keterampilan intelektual diniati sebagai upaya memberdayakan warga negara untuk partisipasi madani itu. Dalam konteks masyarakat madani, literasi (keterampilan membaca dan menulis) mesti teraktualisasi dalam membaca madani (civic reading) dan menulis madani (civic writing).<br /><br />Menulis partisipatoris (participatory writing), yakni kegiatan menulis warga masyarakat atas inisiatif sendiri untuk tujuan sosial politik cenderung dianggap enteng, padahal pembiasaan kegiatan ini merupakan upaya demokratisasi. Petisi, pidato, protes, resolusi, catatan rapat, agenda, memo, buletin, surat aduan, surat terbuka kepada editor, aduan kepada anggota legislatif, dan sebagainya adalah teks-teks yang merupakan bukti perwujudan literasi madani.<br /><br />Ada sejumlah tujuan dari penulisan teks-teks demikian itu, yaitu: pertama, untuk menyatakan hubungan personal maupun kolektif sebagai warga masyarakat. Poster dengan tulisan "Selamat Datang di Kota Kembang," misalnya, membangun hubungan emosional antara warga Bandung dengan para pengunjung.<br /><br />Kedua, untuk memohon informasi dan bantuan. Surat yang ditulis warga kepada wali kotanya ihwal kebersihan jalan-jalan, misalnya, tidak saja menyadarkan tanggung jawab wali kota tetapi warga itu secara tidak langsung mewakili anggota masyarakat lain yang hirau tentang kebersihan jalan. Ini juga merupakan praktik perwakilan dalam masyarakat madani.<br /><br />Ketiga, untuk menyuguhkan informasi kepada publik sebagai bentuk layanan publik. Informasi yang diberikan oleh organisasi seperti LSM dalam bentuk "kalawarta" (newsletter), catatan rapat, agenda, dan sebagainya merupakan media untuk pemertahanan demokrasi.<br /><br />Keempat, untuk mengevaluasi kinerja petugas layanan publik. Warga negara dianjurkan membiasakan diri menyampaikan kritik dan pujian secara proporsional ihwal layanan publik melalui surat kabar atau media komunikasi lainnya. Desakan agar Presiden SBY merombak kabinet-khususnya bidang ekonomi dan hubungan luar negeri--menunjukkan kepedulian publik terhadap layanan dan kinerja kabinet sekarang ini.<br /><br />Pendidikan bahasa dalam konteks madani membekali siswa rasa percaya diri dan keterampilan retorika yang diperlukaan untuk berekspresi dalam wacana madani di sekolah dan di luar sekolah. Caranya antara lain dengan mengakrabi secara kritis berbagai jenis teks seperti disebut di atas.<br /><br />Para siswa dilatih menganalisis teks sehingga mampu mengidentifikasi karakteristik teks, sasaran pembaca, dan tujuan penulisannya. Mereka juga dilatih mencermati kejujuran, objektivitas, dan efektivitas dalam penulisan itu. Tampaknya kesadaran terhadap dahsyatnya potensi jenis-jenis teks ini masih lemah. Sedikit sekali buku teks BI yang memasukkan teks-teks tersebut sebagai bahan bacaan.<br /><br />TahapanlLiterasi<br /><br />Wells (1987) yang teorinya dijadikan rujukan khususnya oleh tim pengembang Kurikulum Bahasa Inggris 2004, mengidentifikasi empat tingkatan literasi, yakni tingkatan performative, functional, informational, dan epistemic. Masing-masing secara berurutan merujuk pada kemampuan membaca dan menulis, kemampuan menggunakan bahasa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, kemampuan mengakses pengetahuan, dan kemampuan mentransformasi pengetahuan.<br /><br />Tingkatan itu dapat disejajarkan dengan tingkatan pendidikan formal, yakni SD untuk mengajarkan literasi tingkat performatif, SMP untuk mengajarkan literasi tingkat fungsional, SMA untuk mengajarkan literasi tingkat informasional, dan perguruan tinggi (PT) untuk mengajarkan minimal literasi epistemik.<br /><br />Kita selama ini cenderung menyepelekan ketergantungan keempat tingkatan itu sehingga ada anggapan salah bahwa konsentrasi pada literasi epistemik-seperti melalui perkuliahan teori-teori menulis di jurusan-jurusan bahasa, dan Mata Kuliah Umum Bahasa Indonesia (MKU BI)--diyakini dapat menyulap 'sim salabim' para mahasiswa menjadi sarjana yang produktif menulis. Yang terjadi selama ini adalah berjubelnya lulusan PT yang bernasib 'setengah literat,' yakni memiliki kemampuan membaca tapi tidak diimbangi oleh kemampuan menulis. Sayangnya, fenomena ini kurang menjadi kepenasaranan para birokrat kampus.<br /><br />Jamu mujarab-tapi memang pahit--untuk mengobati 'penyakit' ini adalah reposisi dan redefinisi MKU BI di semua PT. MKU ini harus diberi darah baru agar mampu melejitkan literasi epistemik para mahasiswa. Ada tiga pendekatan yang dapat ditempuh secara serentak, yaitu: (1) pendekatan kurikuler dengan mereposisinya sebagai mata kuliah wajib dengan jumlah sks sesuai dengan kebutuhan mahasiswa, (2) pendekatan ekstrakurikuler untuk menunjang kemampuan mahasiswa, dan (3) pendekatan epistemologis, yaitu dengan menyelaraskan hakikat MKU BI dengan tuntutan literasi epistemik.<br /><br />MKU BI turun mesin<br /><br />Pendidikan diniati untuk mengubah cara berpikir atau mind set anak bangsa. Yang sering dilupakan adalah perlunya mengubah mind set guru dan dosennya! Sejak dicantumkannya dalam kurikulum, MKU ini belum berhasil melejitkan literasi epistemik bangsa ini. Mengapa MKU Bahasa Inggris yang sudah berusia lebih dari 300 tahun dalam PT di Amerika-yang lazim disebut college writing--begitu bergengsi? Sebaliknya, mengapa MKU BI di PT kita dianggap kurang bermartabat? Bisa jadi karena selama ini MKU ini lebih merupakan pengulangan (yang membosankan) materi ajar di SMA, padahal para mahasiswa sudah saatnya membangun keterampilaan literasi epsitemik.<br /><br />Sering didengungkan bahwa kita lebih berbudaya dengar-ucap (orality) daripada baca-tulis (literacy). Dengan kata lain, pendidikan bahasa atau language arts mesti berorientasi pada pengembangan literasi dan meninggalkan dominasi oraliti. Pendidikan bahasa juga mesti berorientasi kepada kompetensi, yaitu unjuk keterampilan berbahasa bukan unjuk pengetahuan teoretis ihwal bahasa.<br /><br />Selama ini kita cenderung mendelegasikan perkuliahan MKU BI kepada dosen muda yang masih mentah dan kurang berpengalaman, yang terampil berteori tapi pada galibnya sangat lemah berkreasi. Jika kita melihat rasio antara dosen MKU BI dengan mahasiswa, perkuliahan ini terkesan asal-asalan. Para pengajar MKU ini pada umumnya adalah dosen-dosen jurusan BI yang telah 'kehabisan tenaga' mengajar di dapurnya masing-masing. Mereka lalu dibebani mengajar kelas MKU dengan mahasiswa terkadang 100 orang. Sungguh di luar batas kesehatan pedagogis!<br /><br />Jalan pintas menuju perbaikan ini adalah dengan memberdayakan dosen-dosen yang memiliki potensi untuk mengajar MKU ini. Banyak yang beranggapan bahwa hanya dosen sastra Indonesia yang mampu mengajar MKU ini. Sesungguhnya banyak dosen nonbahasa yang justru lebih produktif dan profesional dalam publikasinya.<br /><br />Khusus dalam mengembangkan keterampilan menulis dalam bahasa asing, sering kali kita lupa bahwa keterampilan menulis ini sangat bergantung pada keterampilan menulis dalam BI. Bagaimana mungkin seseorang dapat berekspresi tulis dalam bahasa asing sementara ia masih sulit berkspresi dalam bahasa ibunda. Perlu diingatkan bahwa pendidikan bahasa pertama seyogianya meneratas jalan bagi pendidikan bahasa asing.<br /><br />Kaum profesional dituntut untuk mengambil keputusan berdasarkan hasil penelitian, bukan hasil pengalaman subjektif pribadi atau ilham dan inspirasi. Hal yang sama berlaku untuk pendidikan menulis. Pada garis besarnya ada empat orientasi penelitian menulis, yaitu: (1) pembaca, yakni bagaimana persepsi pembaca ihwal sebuah teks, (2) penulis, yakni bagaimana persepsi penulis ihwal proses kreatifnya, (3) teks, yakni meneliti karakteristik teks yang dihasilkan siswa, dan (4) konteks, yakni konteks menulis, seperti konteks kelas, kampus, politik, dan konteks sosial budaya. Keempat orientasi ini sama pentingnya untuk memahami produk maupun proses menulis secara holistik.<br /><br />Pendidikan menulis selama ini terlampau berorientasi pada produk dan mengabaikan proses. Akibatnya kita lebih fasih mendeskripsi produk tulisan dengan sejumlah fatwa seputar retorika "Mesti begini, jangan begitu" untuk dicermati calon penulis, sementara itu kita tidak dapat memberi solusi yang spesifik karena kita gelap-gulita ihwal proses kreatif menulis dan konteks makro pembelajarannya.<br /><br />Yang disebut terakhir ini akan lebih dipahami lewat penelitian dengan pendekatan kualitatif, bukannya kuantitatif. Pendekatan kualitatif antara lain mengandalkan berbagai sumber data sebagai berikut: (1) kumpulan dokumen kelas, hasil observasi, hasil wawancara dengan siswa dan guru ihwal kegiatan menulis, (2) hasil interviu sebelum dan sesudah kegiatan menulis dengan siswa dan guru, (3) Think-aloud protocols dari guru saat menilai karangan siswa, (4) interviu retrospektif dengan responden ihwal tugas atau kegiatan menulis, (5) analisis terhadap segala bentuk feedback, draf karangan dari sejawat dan guru, (6) analisis draf tulisan siswa, hasil revisinya, beserta feedback yang diterima, dan (7) portofolio, yaitu bukti fisik apa yang dibaca dan ditulis siswa. Semuanya itu membantu kita memahami ihwal menulis secara luar-dalam, mendetil, dan komprehensif.<br /><br />Lemahnya keterampilan menulis akademik dan rendahnya jumlah publikasi di kalangan PT Indonesia selama ini disebabkan berbagai faktor: kultural, sosial, dan kurikuler. Pada tingkat PT, kini saatnya dilakukan "turun mesin" MKU BI dengan berorientasi kepada perolehan kemampuan menulis akademik dan dengan memberdayakan dosen-dosen tertentu di semua fakultas untuk mengajar kedua mata kuliah itu.<br /><br />Menulis bagi mahasiswa di PT tidak sekadar ekspresi personal atau untuk menyampaikan informasi. Sejalan dengan tuntutan akademisnya mahasiswa mesti mampu melakukan analisis, sintesis, evaluasi, dan interpretasi berbagai informasi yang diterimanya, lalu diungkapkan secara kreatif dan imajinatif dengan ungkapan sendiri. Inilah wujud kompetensi literasi epistemik yang memang merupakan perkembangan dari literasi performatif, fungsional, dan informasional. Pokoknya, literasi madani sangat bergantung kepada kecanggihan literasi tingkat SD, SMP, SMA, dan PT.*** <br /><br />Penulis, Pembantu Rektor UPI BandungTaufiqhttp://www.blogger.com/profile/00729102129379588981noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7902481807416017653.post-14678208926263413302007-07-18T12:46:00.000-07:002007-07-18T12:48:25.379-07:00Muslim Negarawan dan Relevansinya dengan Masyarakat MadaniMuslim Negarawan dan Relevansinya dengan Masyarakat Madani (Civil Society)<br />Oleh: <a href="http://aryabimantara.wordpress.com">Aryanto Abidin</a>, 20 Desember 2006<br />Kebijakan Publik KAMMI Daerah Sulsel<br /><br />Cita-cita Masyarakat madani/beradab (civil society) merupakan cita-cita yang teramat mulia untuk dipraksiskan dalam kehidupan bermasyarakat kita. Cita-cita ini sesungguhnya merupakan cita-cita yang teramat renta untuk didambakan kehadirannya. Model masyarakat madani pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw ketika memimpin Madinah. Dimana pada masa itu hubungan antara rakyat dengan pemerintah (vertical) begitu mesra, serta hubungan antar masyarakat (horizontal) dari berbagai latar belakang (suku, agama dan ras) juga begitu mesra. Hasilnya, begitu mengagumkan. Kehidupan masyarkat pada masa itu terjalin begitu harmonis. Lalu bagaimana posisi dan peran konsepsi masyarakat madani atau apapun varian padanan katanya, sehingga ia begitu didambakan dalam menyelesaikan problem social dalam masyarakat kita?. Adie Usman Musa memberikan batas yang jelas, bahwa makna substantif masyarakat madani akan menjadi relevan, jika dalam masyarakat ada rasa saling menghargai yang namanya pluralitas, perbedaan, dan saling percaya (trust) antar masyarakat. Masyarakat madani atau masyarakat sipil, merupakan sisi lain dari upaya masyarakat untuk menemukan bentuknya yang ideal dalam tataran lokal maupun global. Masih menurut Adie Usman Musa, bahwa masyarakat madani hádala masyarakat yang juga toleran dan membuka diri terhadap berbagai pandangan yang berbeda antar mereka di berbagai belahan dunia. Makna substantif inilah yang hingga kini masih belum dilihat banyak pihak ketika memperdebatkan masalah masyarakat madani. Banyak kalangan hingga kini masih curiga bahwa konsepsi civil society merupakan bentuk lain dari sebuah hegemoni ideologi tunggal liberalisme-kapitalisme. Kecurigaan ini boleh-boleh saja sebagai sebuah sikap kritis dan kehati-hatian. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana warga dunia mampu merumuskan proses masa depan yang lebih baik bagi kemanusiaan.<br /><br />Adi Usman Musa juga menegaskan bahwa masyarakat madani tentunya bukan hanya sebuah gambaran ideal tentang cita praktek kehidupan bersama, tetapi lebih dari itu, ia merupakan sesuatu “yang ada di sini”, yang dekat dengan kehidupan kita. Masyarakat madani dipenuhi oleh berbagai penghampiran praksis kehidupan masyarakat. Artinya, ia harus mampu menjawab berbagai kebutuhan praksis masyarakat seperti basis material, rasa keadilan, dan sebagainya. Dengan demikian, ia pun bukanlah wacana yang hanya ada di dalam ide. Konsepsi ini juga memberikan banyak kemungkinan bagi kita untuk melihat hal-hal yang bersifat keindonesiaan. Masyarakat Indonesia terkenal sebagai masyarakat yang sangat majemuk, baik dari sisi budaya, suku bangsa, dan agama. Keragaman ini merupakan sebuah potensi yang bisa kita gunakan untuk membangun kapasitas masyarakat madani di tanah air. Namun demikian, ia juga menyimpan potensi konflik yang bisa meledak setiap saat.<br /><br />Atas dasar itulah, sampai hari ini semua orang masih menjadikan masyarakat madani sebagai referensi ideal dalam membangun pola kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertanyaannya sekarang, mampukah kita menciptakan masyarakat madani tersebut? Sehingga dengannya akan tercipta hubungan yang saling menghargai atau saling toleransi. Pertanyaan tersebut sungguh menggelitik dan terdengar sangat pesimistik. Sah-sah saja bila penulis menganggap pertanyaan tersebut teramat pesimistis. Betapa tidak, kakacauan dan tindakan anarkis masih mewarnai keseharian masyarakat kita. Seolah hal tersebut telah menjadi rutnitas yang lumrah. Hal ini-mengutip pendapat Sigmund Freud-disebabkan karena manusia memiliki yang namanya id atau nafsu al-amarah yang mengusik manusia untuk selalu berbuat jahat. Potensi id ini tentu tidak hadir begitu saja. Dia bisa hadir dengan rupa yang begitu sangar (id negatif) juga hadir dalam rupa yang ramah (id positif). Oleh karenanya Tuhan mengkombinasikannya dengan akal agar manusia mampu berpikir. Hal ini sebagaimana yang dimaksud oleh Farhan Hilmi HS dan A. Yohan MSDM bahwa kuncinya adalah tergantung pada: Apakah manusia mampu berfikir rasional, sehingga muncul dari dirinya kesadaran untuk mengedepankan tugas kekhalifaan, ataukah dia telah terkuburkan oleh id sehingga tugas untuk mencapaikan kebenaran menjadi terkubur.<br /><br />Oleh karenanya, setiap elemen-elemen civil society (Pemerintah, agama, tokoh masyarakat, NGO, Student Movement) diharapkan mampu memainkan perannya masing guna mengupayakan dan mengawal terciptanya nilai-nilai kearifan dalam masyarakat kita. Dalam perspektif gerakan mahasiswa, terkhususnya yang mengatasnamakan KAMMI, telah memformulasikan sebuah konsep yang dengannya diharapkan akan mampu memainkan peran (sesuai dengan kompetensinyanya masing-masing) dalam menciptakan nilai-nilai kearifan dalam masyarakat kita. Konsep tersebut adalah konsep Muslim Negarawan. Konsep ini disinyalir mampu memberikan tawaran solusi terhadap lunturnya nilai kearifan dalam masyarakat kita terkhususnya generasi muda kita. Walau sebenarnya dalam lingkup KAMMI konsep ini baru merupakan tahap trial and error sebagai wujud sebuah ijtihad. Oleh karenanya, keberhasilan konsep ini tentu tidak bisa kita harapkan dalam jangka waktu singkat. Hal ini tentu membutuhkan evaluasi, sampai dimana tingkat keberhasilannya. Maka dari itu, tidaklah terlalu berlebihan jika sekiranya konsep muslim negaram memiliki relevansi atau berkaitan dalam upaya mewujudkan masyarakat madani/beradab.<br /><br />Deskripsi Muslim Negarawan<br /><br />Dalam risalah kaderisasi manhaj 1427 H yang dirumuskankan oleh tim kaderisasi KAMMI pusat, ada beberapa poin penting yang menjadi titik tekan dalam mendesain kader KAMMI. Point penting tersebut adalah KAMMI mampu menciptakan kader yang berorientasi pada profil muslim negarawan. Profil muslim negarawan dalam definisi risalah tersebut adalah kader KAMMI yang memiliki basis ideologi Islam yang mengakar, basis pengetahuan dan pemikiran yang mapan, idealis dan konsisten, berkontribusi pada pemecahan problematika umat dan bangsa, serta mampu menjadi perekat komponen bangsa pada upaya perbaikan. Ada tiga hal yang merupakan syarat utama munculnya sosok Muslim Negarawan yang memiliki keberpihakan pada kebenaran dan terlatih dalam proses perjuangannya diantaranya adalah mereka yang terlahir dari gerakan Islam yang tertata rapi (quwwah al-munashomat), semangat keimanan yang kuat (ghirah qawiyah) dan kompetensi yang tajam.<br /><br />Dalam upaya membangun capasitas personal (personal capacity building) kader KAMMI, maka perlu adanya pembangunan kompetensi kritis sebagaimana yang penulis kutip dalam panduan kaderisasi KAMMI pusat. Secara aplikatif sosok kader muslim negarawan harus memiliki kompetensi kritis yang harus dilatih sejak dini. Kompetensi kritis ini adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki kader yang dirancang sesuai kebutuhan masa depan sebagaimana yang dirumuskan di dalam Visi Gerakan KAMMI. Terdapat lima kompetensi kritis yang harus dimiliki kader KAMMI, sebagai berikut ini: 1) Pengetahuan Ke-Islam-an, Kader harus memiliki ilmu pengetahuan dasar keislaman, ilmu alat Islam, dan wawasan sejarah dan wacana keislaman. Pengetahuan ini harus dimiliki agar kader memiliki sistem berpikir Islami dan mampu mengkritisi serta memberikan solusi dalam cara pandang Islam. 2)Kredibilitas Moral, Kader memiliki basis pengetahuan ideologis, kekokohan akhlak, dan konsistensi dakwah Islam. Kredibilitas moral ini merupakan hasil dari interaksi yang intensif dengan manhaj tarbiyah Islamiyah serta implementasinya dalam gerakan (tarbiyah Islamiyah harakiyah). 3)Wawasan ke-Indonesia-an, Kader memiliki pengetahuan yang berkorelasi kuat dengan solusi atas problematika umat dan bangsa, sehingga kader yang dihasilkan dalam proses kaderisasi KAMMI selain memiliki daya kritis, ilmiah dan obyektif juga mampu memberikan tawaran solusi dengan cara pandang makro kebangsaan agar kemudian dapat memberikan solusi praktis dan komprehensif. Wawasan ke-Indonesia-an yang dimaksud adalah penguasaan cakrawala ke-Indonesia-an, realitas kebijakan publik, yang terintegrasi oleh pengetahuan interdisipliner. 5)Kepakaran dan profesionalisme, Kader wajib menguasai studi yang dibidanginya agar memiliki keahlian spesialis dalam upaya pemecahan problematika umat dan bangsa. Profesionalisme dan kepakaran adalah syarat mutlak yang kelak menjadikan kader dan gerakan menjadi referensi yang ikut diperhitungkan publik. 6)Kepemimpinan,Kompetensi kepemimpinan yang dibangun kader KAMMI adalah kemampuan memimpin gerakan dan perubahan yang lebih luas. Hal mendasar dari kompetensi ini adalah kemampuan kader beroganisasi dan beramal jama’i. Sosok kader KAMMI tidak sekedar ahli di wilayah spesialisasinya, lebih dari itu ia adalah seorang intelektual yang mampu memimpin perubahan. Di samping mampu memimpin gerakan dan gagasan, kader pun memiliki pergaulan luas dan jaringan kerja efektif yang memungkinkan terjadi akselerasi perubahan.6)Diplomasi dan Jaringan, Kader KAMMI adalah mereka yang terlibat dalam upaya perbaikan nyata di tengah masyarakat. Oleh karena itu ia harus memiliki kemampuan jaringan, menawarkan dan mengkomunikasikan fikrah atau gagasannya sesuai bahasa dan logika yang digunakan berbagai lapis masyarakat. Penguasaan skill diplomasi, komunikasi massa, dan jaringan ini adalah syarat sebagai pemimpin perubahan.<br /><br />Konsep Muslim Negarawan dan Relevansinya dengan Cita-cita civil society<br /><br />Setelah kita memahami tentang deskripsi profil muslim negarawan, maka pertanyaan radikal yang patut kita lontarkan adalah, dimana letak relevansinya antara muslim negarawan dengan cita-cita civil society (masyarakat beradab)?. Relevansi antara keduanya memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Hal tersebut tertuang jelas dalam landasan filosofis gerakan KAMMI yang terjabarkan dalam bentuk misi gerakan KAMMI yakni:<br />a.Membina keislaman, keimanan, dan ketaqwaan mahasiswa muslim Indonesia.<br />b.Menggali, mengembangkan, dan memantapkan potensi dakwah, intelektual, sosial, dan politik mahasiswa.<br />c.Mencerahkan dan meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang rabbani, madani, adil, dan sejahtera.<br />d.Memelopori dan memelihara komunikasi, solidaritas, dan kerjasama mahasiswa Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan kerakyatan dan kebangsaan.<br />e.Mengembangkan kerjasama antar elemen masyarakat dengan semangat membawa kebaikan, menyebar manfaat, dan mencegah kemungkaran (amar ma`ruf nahi munkar).<br /><br />Kelima poin di atas jelas memiliki relevansinya dengan cita-cita masyarakat madani-tentu saja kalu kita mengacu pada posisi dan peran konsepsi masyarakat madani yakni masyarakat yang menghargai pluralitas, perbedaan, dan saling percaya (trust) antar masyarakat. Posisi dan peran tersebut, tentu tidak hadir dengan begitu saja dengan hanya membaca mantra sim salabim lalu hadirlah peran tersebut. Menurut penulis, manusia butuh kearifan untuk menyadari peranya dalam membumikan nilai-nilai ketuhanan tersebut (khalifah). Dalam kapsitas sebagai mahasiswa islam, maka pada poin a tersebut tergambar secara implisit tentang hubungan person dengan sang khalik guna melahirkan kearifan dalam setiap pribadi mahasiswa islam. Pun demikian halnya dengan mereka yang berbasis gerakan di luar islam. Pada poin b jelas menunjukan kapasitas personal yang berfungsi sebagai skill untuk melakukan perubahan dan pencerdasan kepada masyarakat sehingga memiliki kesamaan visi akan perannya sebagai kalifah. Sedangkan pada poin c lebih dititik beratkan pada peran KAMMI sebagai bagian dari civil society guna mewujudkan nilai-nilai masyarakat beradab. Pada poin c merupakan upaya KAMMI dalam upaya menghargai pluralitas, perbedaan dan saling percaya yakni dengan memelopori dan memelihara komunikasi, solidaritas dan kerjasama antar sesama elemen mahasiswa indonesia. Demikina juga dengan makna yang terkandung pada poin e dimana tersiat semangat perubahan (quwwatut thaghiir) yang cukup kental.<br /><br />Kesimpulan<br /><br />Untuk mewujudkan masyarakat madani maka dibutuhkan kearifan setiap individu sehingga mampu bersikap dan memainkan peran menghargai pluralitas, perbedaan, dan saling percaya (trust) antar masyarakat. Kesadaran itu akan muncul jika sekiranya setiap pribadi memiliki visi dan misi sebagai khalifah di muka bumi ini atau dengan kata lain mampu membumikan nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan sehari-hari. Namun visi dan peran sebagai khalifah tidak akan lahir begitu saja. Di sinilah peran berbagai elemen civil society (tokoh masyarakat, tokoh agama, NGO, Student Movement) dalam memberikan pencerahan dan penyadaran kepada masyarakat, akan arti pentingnya menghargai perbedaan dan saling percaya. Oleh karena itu, KAMMI sebagai salah satu kekuatan civil society yang beridiologi islam juga harus mampu memainkan peran tersebut. Sehingga dengannya, diharapkan akan mampu menciptakan tatanan masyarakat yang beradab, yakni masyarakat yang menjujung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kebenaran universal. Wallahualambishawaab<br /><br />Daftar Referensi<br /><br />Adie Usman Musa, Mimpi Perubahan dan Cita Ideal Masyarakat Madani<br /><br />Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani (pemikiran, teori dan relevansinya dengan cita-cita reformasi), Rajawali Pers, Jakarta, 2002<br /><br />Aryanto Abidin, Menuju Muslim Negarawan, Jurnal AKSI, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Daerah Sulsel, edisi maret 2006<br /><br />Anen Sutianto, Reaktualisasi Masyarakat Madani Dalam Kehidupan<br /><br />” href=”http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_16.htm”>Edi Suharto Msc, Dr, Masyarakat Madani: Aktualisasi Profesionalisme Community Workers Dalam Mewujudkan Masyarakat Yang Berkeadilan<br /><br />KAMMI, Risalah Manhaj Kaderisasi 1427 H Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Pusat, Jakarta, 2005<br /><br />Farhan Hilmi HS dan A. Yohan MSDM dalam sebuah pengantar Spiritualitas Sosial Untuk Masyarakat Beradab (Catatan di era Otoritarianisme,)YPSK, Yogyakarta, 1999<br /><br />” href=”http://www.depdiknas%20go.id/”>Saefur Rochmat, Masyarakat Madani: Dialog Islam dan Modernitas di IndonesiaTaufiqhttp://www.blogger.com/profile/00729102129379588981noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7902481807416017653.post-83066505515174367372007-07-18T12:40:00.000-07:002007-07-18T12:44:39.168-07:00MASYARAKAT MADANI: AKTUALISASI PROFESIONALISME COMMUNITY WORKERSMASYARAKAT MADANI: AKTUALISASI PROFESIONALISME COMMUNITY WORKERS DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT YANG BERKEADILAN<br /><br />DR. EDI SUHARTO MSC<br /><br />PENGANTAR<br /><br />Ketika mahasiswa memberikan judul orasi ilmiah: “Aktualisasi Profesionalisme Community Workers Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani Yang Berkeadilan”. Ada dua kata yang langsung masuk ke pusat kesadaran saya: yakni mengenai kata community workers dan kedua mengenai kata masyarakat madani yang berkeadilan. Mengapa istilah community workers tidak dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia? Mengapa istilah masyarakat madani harus disertai dengan kata “yang berkeadilan”? <br /><br />Saya mencoba memahami. Soal community workers, saya yakin, mahasiswa bukannya tidak mengetahui terjemahan community workers yang secara harafiah bisa di-Indonesiakan menjadi para pekerja (sosial) masyarakat. Namun saya juga tahu bahwa istilah pekerja sosial masyarakat telah mengalami erosi dan degradasi makna. Saya yakin mahasiswa keberatan dengan istilah itu karena pekerja sosial masyarakat bisa menunjuk pada para pekerja sosial volunteer sebagai kontraposisi dari pekerja sosial profesional.<br /><br />Lantas bagaimana soal masyarakat madani yang berkeadilan? Apakah jika istilah “masyarakat madani” tanpa tambahan kata sifat “yang berkeadilan” memiliki arti yang berbeda atau setidaknya tidak sesuai dengan arti “masyarakat madani” yang sejati? Untuk soal ini saya mencoba menerka-nerka. Mungkin mahasiswa tahu bahwa ternyata makna masyarakat madani bisa merosot menjadi sebuah makna masyarakat lain yang tidak sejalan dengan visi dan misi civil society. Atau mungkin mahasiswa ingin menunjukkan sebuah makna baru dari istilah masyarakat madani?<br /><br />Yang ingin saya tunjukkan dari paparan di atas adalah bahwa memang masih banyak tantangan-tantangan yang dihadapi oleh pekerja sosial, khususnya community workers, dalam mengaktualisasikan jati dirinya. Apalagi tantangan-tantangan dalam kaitannya dengan tujuan profesionalismenya, yakni mewujudkan masyarakat madani. Tantangan-tantangan tersebut masih belum beranjak dari persoalan epistemologi. Dengan sedikit modifikasi pada judulnya, sebagian besar dari makalah ini ingin mencoba menyingkap tirai itu. Kemudian akan mencoba mengusulkan sebuah pandangan baru, yang oleh Anthony Gidden disebut sebagai “Jalan Ketiga”.<br /><br /> <br />DUA PARADIGMA<br /><br />Untuk memahami akar pengertian masyarakat madani ada baiknya, kita tengok secara sepintas dua paradigma besar yang menjadi dasar perdebatan mengenai masyarakat madani, yaitu Demokrasi Sosial Klasik dan Neoliberalisme (lihat Giddens, 2000: 8-17).<br /><br />1. Demokrasi Sosial Klasik.<br /><br />Demokrasi Sosial Klasik atau Demokrasi Sosial Gaya Lama memandang pasar bebas sebagai sesuatu yang menghasilkan banyak dampak negatif. Faham ini percaya bahwa semua ini dapat diatasi lewat intervensi negara terhadap pasar. Negara memiliki kewajiban untuk menyediakan segala yang tidak bisa diberikan oleh pasar. Intervensi pemerintah dalam perekonomian dan sektor-sektor kemasyarakatan adalah mutlak diperlukan. Kekuatan publik dalam masyarakat demokratis adalah representasi dari kehendak kolektif. Secara ringkas, Giddens (2000:8) memberikan ciri-ciri Demokrasi Sosial Klasik:<br /><br /> * Keterlibatan negara yang cukup luas dalam kehidupan ekonomi dan sosial.<br /> * Negara mendominasi masyarakat madani<br /> * Kolektivisme.<br /> * Manajemen permintaan Keynesian dan korporatisme.<br /> * Peran pasar yang dibatasi: ekonomi sosial atau campuran.<br /> * Pemberdayaan sumber daya manusia secara maksimal.<br /> * Egalitarianisme yang kuat.<br /> * Negara kesejahteraan (welfare state) yang komprehensif: melindungi warga negara “sejak lahir sampai mati”.<br /> * Modernisasi linear.<br /> * Kesadaran ekologis yang rendah.<br /> * Internasionalisme.<br /> * Termasuk dalam dunia dwikutub (bipolar).<br /><br />2. Neoliberalisme<br /><br />Neoliberalisme dikenal juga dengan Thatcherisme (Margaret Thatcher adalah mantan PM Inggris yang sangat setia mengikuti faham neoliberalisme semasa berkuasa). Apabila Demokrasi Sosial Klasik cenderung pro pemerintah, maka ciri utama Neoliberalisme adalah memusuhi pemerintah. Edmund Burke, pelopor konsevatisme di Inggris, menyatakan dengan jelas ketidaksukaannya kepada negara. Jika perluasan perannya terlalu jauh dapat mematikan kebebasan dan kemandirian. Pemerintahan Reagan dan Thatcher mendasarkan diri pada gagasan ini dan menganut skeptisisme liberal klasik mengenai peran negara. Intinya peran negara tidak dibenarkan secara ekonomis dan harus digantikan oleh superior pasar. Menuut Giddens (2000:9):Ciri-ciri Neoliberalisme adalah: <br /><br /> * Pemerintah minimal.<br /> * Msyarakat madani yang otonom<br /> * Fundamentalisme pasar.<br /> * Otoritarianisme moral dan individualisme ekonomi yang kuat.<br /> * Kemudahan pasar tenaga kerja.<br /> * Penerimaan ketidaksamaan.<br /> * Nasionalisme tradisional.<br /> * Negara kesejahteraan sebagai jaring pengaman<br /> * Modernisasi linear.<br /> * Kesadaran ekologis yang rendah.<br /> * Teori realis tentang tatanan internasional.<br /> * Termasuk dalam dunia dwikutub.<br /><br />MASYARAKAT MADANI<br /><br />Masyarakat madani merupakan konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan “the sphere of voluntary activity which takes place outside of government and the market.” Merujuk pada Bahmueller (1997), ada beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:<br /><br />1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.<br /><br />2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.<br /><br />3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.<br /><br />4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.<br /><br />5. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter.<br /><br />6. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.<br /><br />7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif.<br /><br /> <br />Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat madani adalah onsep yang cair yang dibentuk dari poses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya democratic governance (pemerinthana demokratis yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil resilience). Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuah prasyarat masyarakat madani sbb:<br /><br /> <br />1. Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.<br /><br />2. Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok. <br /><br />3. Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.<br /><br />4. Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan.<br /><br />5. Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.<br /><br />6. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.<br /><br />7. Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya.<br /><br />Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon. Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak azasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan masyarakat madani (lihat DuBois dan Milley, 1992). Rambu-rambu tersebut dapat menjadi jebakan yang menggiring masyarakat menjadi sebuah entitas yang bertolak belakang dengan semangat negara-bangsa:<br /><br />1. Sentralisme versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti prototipe pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi kemudian malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang mengagungkan mitos-mitos kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan keadilan sosial. <br /><br />2. Pluralisme versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antara berbagai kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa prasangka dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi karakter etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya. Pluralisme menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata Kleden (2000:5), “…penyeragaman adalah kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat dan terhadap potensi manusia.” <br /><br /> Sebaliknya, rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu kelompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi legitimasi oleh suatu klaim bahwa suatu ras minoritas secara genetik dan budaya lebih inferior dari ras yang dominan. Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan: individual, organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi ras terlihat manakala kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat dilacak manakala satu lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan terhadap lembaga lainnya.<br /><br />3. Elitisme dan communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian dianggap berhak menentukan potensi-potensi orang lain dalam menjangkau sumber-sumber atau mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat.<br /><br />Sementara itu komunalisme adalah perasaan superioritas yang berlebihan terhadap kelompoknya sendiri dan memandang kelompok lain sebagai lawan yang harus diwaspadai dan kalau perlu dibinasakan.<br /><br />AGENDA JALAN KETIGA<br /><br />Bagaimana mewujudkan masyarakat madani yang berkeadilan. Agenda Jalan Ketiga dapat dijadikan pedoman oleh para community workers dalam menjalankan tugas-tugas profesionalnya di masyarakat. Dalam garis besar agenda itu mencakup dua hal, yaitu: Politik Jalan Ketiga dan Program Jalan Ketiga (Giddens, 2000: 76-80):<br /><br />Politik Jalan Ketiga:<br /><br /> * Persamaan<br /> * Perlindungan atas mereka yang lemah.<br /> * Kebebasan sebagai otonomi.<br /> * Tak ada hak tanpa tanggungjawab.<br /> * Tak ada otoritas tanpa demokrasi.<br /> * Pluralisme kosmopolitan.<br /> * Konservatisme filosofis.<br /> * Program Jalan Ketiga:<br /> * Negara demokratis baru (negara tanpa musuh).<br /> * Masyarakat madani yang aktif.<br /> * Keluarga demokratis.<br /> * Ekonomi campuran baru.<br /> * Kesamaan sebagai inklusi.<br /> * Kesejahteraan positif.<br /> * Negara berinvestasi sosial (social investemnt state).<br /> * Bangsa kosmopolitan.<br /> * Demokrasi kosmopolitan<br /> * Startegi untuk menjalankan Agenda Jalan Ketiga meliputi empat hal (lihat Blakeley dan Suggate, 1997):<br /><br />1. Membangun masyarakat dalam membantu pencapaian tujuan-tujuan pemerintah. Peningkatan investasi-investasi sosial dan pendistribusian pelayanan-pelayanan sosial dasar yang lebih luas dan adil.<br /><br />2. Membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Strategi ini meliputi desentralisasi pembuatan keputusan dan peningkatan program-program pengembangan masyarakat yang dapat meningkatkan kemampuan masyarakat dalam merealisasikan kepentingan-kepentingannya. <br /><br />3. Peningkatan masyarakat dan perlindungan hak azasi manusia, kebebasan berorganisasi dan menyatakan pendapat, penetapan struktur-struktur hukum bagi lembaga-lembaga swadaya masyarakat.<br /><br />4. Peningkatan partisipasi masyarakat. Strategi ini ditujukan untuk memberikan kesempatan pada masyarakat agar dapat memberikan masukan bagi perumusan kebijakan dan praktek-praktek pemerintahan yang menjamin konsultasi dan pengakuan hakiki terhadap fungsi-fungsi organisasi-organisasi lokal.<br /><br /> <br />Sejatinya, agenda utama bagi para community workers dalam mewujudkan masyarakat yang berkeadilan adalah mengetahui visi dan makna yang sesungguhnya dari community workers dan masyarakat madani. Seperti kata adagium: visi tanpa aksi adalah mimpi, sedangkan aksi tanpa visi adalah kegiatan sehar-hari.<br /><br />CATATAN<br />1. Makalah disajikan pada Orasi Ilmiah dalam Pembentukan HIMA Jurusan Pengembangan Sosial Masyarakat (PSM) STKS Bandung, Senin 21 Oktober 2002.<br /><br />2. Penulis, yang lahir di Jatiwangi, Majalengka tanggal 6 Nopember 1965, adalah staf pengajar STKS dan UNPAS Bandung. Setelah menamatkan Sarjana Pekerjaan Sosial di STKS Bandung tahun 1990, penulis melanjutkan studi S2 di Asian Institute of Technology (AIT) Bangkok dan memperoleh MSc pada tahun 1994. Pada tahun 2002 belum lama ini, penulis baru saja kembali dari New Zealand setelah memperoleh PhD dari Massey University. Area of interest-nya antara lain: Poverty, The Urban Informal Sector, Community Development, Social Work Research, Social Planning dan Social Policy.Taufiqhttp://www.blogger.com/profile/00729102129379588981noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7902481807416017653.post-87147777833010318712007-07-18T12:37:00.000-07:002007-07-18T12:40:26.685-07:00Bantuan ADB untuk Yayasan Masyarakat MadaniADB's Landmark Assistance to NGOs in Indonesia<br /><br />JAKARTA, INDONESIA (20 November 2003) - Asian Development Bank has agreed to make the Urban Regional Development Institute (URDI), Koalisi Indonesia Sehat and Yayasan Masyarakat Madani recipients of an ADB grant in the total amount of $ 50,000. This grant is provided through ADB's regional technical assistant project (RETA) NGO Partnership for Poverty Reduction, financed by the United Kingdom.<br /><br />URDI will use the funds to undertake participatory poverty mapping in three sub-districts of Bandar Lampung, an area with high poverty incidence. The exercise will be undertaken in concert with the local government and will help the sub-districts define their problems, potentials and needs, make a list of priority action, select a key program and prepare and implement such a program (with funding allocated by the local government).<br /><br />The purpose of the grant for Yayasan Masyarakat Madani is to work with tithes administration, or Badan Amil Zakat which manage tithe or voluntary contribution from Moslem community in Southern Sumatera to improve their professionalism and to motivate their operators to willingly apply "good corporate governance principles" in all aspect of their management, including the possible development of social funds directed to poverty reduction. Project activities will include in house training in financial management, principles of microcredit and transfer of IT knowledge and skills.<br /><br />Koalisi Indonesia Sehat will develop a pilot advocacy program to support decentralized-decision making and budget allocations in support of improved health care. Activities include training of NGO personnel as well as media and community representatives. The project will also promote community mobilization and training within the framework of the Koalisi Indonesia Sehat Family Program which promotes family and community responsibility for health.<br /><br />The three projects were selected from project proposals that ADB received from NGOs all over Indonesia. The NGO Partnerships for Poverty Reduction project fulfills a recommendation of the framework for ADB-Government-NGO cooperation, recently adopted after extensive public consultations with a range of stakeholders.Taufiqhttp://www.blogger.com/profile/00729102129379588981noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7902481807416017653.post-66286793076968136802007-07-18T12:34:00.000-07:002007-07-18T12:37:35.840-07:00Reaktualisasi Masyarakat Madani Dalam KehidupanReaktualisasi Masyarakat Madani Dalam Kehidupan<br />Oleh ANEN SUTIANTO, 17 September 2004<br /><br />SALAH satu tujuan utama Alquran adalah menegakkan sebuah tatanan masyarakat yang mulia, adil, elegan, berwibawa, dan dapat bertahan di muka bumi. Demikian seperti yang diungkap oleh Nanih Machendrawaty dan Agus Ahmad Safei (2001).<br /><br />Tatanan sosial masyarakat tersebut setidaknya dapat kita terjemahkan sebagai masyarakat madani. Sebuah tata masyarakat yang diyakini sebagai "anak kandung" dari peradaban Islam. Mengingat, karakteristik akhlak dan budi pekerti yang luhur, bersumber pada nilai dan ajaran agama terlihat begitu kentara di dalamnya.<br /><br />Masyarakat madani sejatinya bukanlah konsep yang ekslusif dan dipandang sebagai dokumen usang. Ia merupakan konsep yang senantiasa hidup dan dapat berkembang dalam setiap ruang dan waktu. Mengingat landasan dan motivasi utama dalam masyarakat madani adalah Alquran.<br /><br />Meski Alquran tidak menyebutkan secara langsung bentuk masyarakat yang ideal namun tetap memberikan arahan atau petunjuk mengenai prinsip-prinsip dasar dan pilar-pilar yang terkandung dalam sebuah masyarakat yang baik. Secara faktual, sebagai cerminan masyarakat yang ideal kita dapat meneladani perjuangan rasulullah mendirikan dan menumbuhkembangkan konsep masyarakat madani di Madinah.<br /><br />Potret historis<br /><br />Prinsip terciptanya masyarakat madani bermula sejak hijrahnya Nabi Muhammad Saw. beserta para pengikutnya dari Makah ke Yatsrib. Hal tersebut terlihat dari tujuan hijrah sebagai sebuah refleksi gerakan penyelamatan akidah dan sebuah sikap optimisme dalam mewujudkan cita-cita membentuk yang madaniyyah (beradab).<br /><br />Selang dua tahun pascahijrah atau tepatnya 624 M, setelah Rasulullah mempelajari karakteristik dan struktur masyarakat di Madinah yang cukup plural, beliau kemudian melakukan beberapa perubahan sosial. Salah satu di antaranya adalah mengikat perjanjian solidaritas untuk membangun dan mempertahankan sistem sosial yang baru. Sebuah ikatan perjanjian antara berbagai suku, ras, dan etnis seperti Bani Qainuqa, Bani Auf, Bani al-Najjar dan lainnya yang beragam saat itu, juga termasuk Yahudi dan Nasrani.<br /><br />Melalui Piagam Madinah tersebut, tampak Rasulullah hendak menegakkan sebuah konstitusi yang mampu dijadikan pijakan dasar bersama dalam konteks hidup bermasyarakat. Titik balik peradaban yang dilakukan Nabi Muhammad Saw pada gilirannya mengantarkan masyarakat Yatsrib menjadi masyarakat yang madaniyyah. Sebuah masyarakat yang erat kaitannya dengan nilai-nilai atau karakter yang adil, egaliter, partisipatif, humanis, toleran, dan demokratis.<br /><br />Masyarakat tersebut juga patuh dan tunduk kepada kepatuhan (din) dan dinyatakan dalam supremasi hukum dan peraturan. Atau dalam pandangan senada, Robert N. Bellah berpendapat bahwa masyarakat Madinah saat itu sarat dengan nilai, moral, maju, beradab, dan sangat menghargai nilai-nilai kemanusiaan.<br /><br />Tipologi masyarakat madani<br /><br />Dalam pandangan saya, setidaknya ada tiga karakteristik dasar dalam masyarakat madani. Pertama, diakuinya semangat pluralisme. Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan sehingga mau tidak mau, pluralitas telah menjadi suatu kaidah yang abadi dalam pandangan Alquran. Pluralitas juga pada dasarnya merupakan ketentuan Allah SWT (sunnatullah), sebagaimana tertuang dalam Alquran surat Al-Hujurat (49) ayat 13.<br /><br />Dengan kata lain, pluralitas merupakan sesuatu yang kodrati (given) dalam kehidupan. Dalam ajaran Islam, pluralisme merupakan karunia Allah yang bertujuan mencerdaskan umat melalui perbedaan konstruktif dan dinamis. Ia (pluralitas) juga merupakan sumber dan motivator terwujudnya vividitas kreativitas (penggambaran yang hidup) yang terancam keberadaannya jika tidak terdapat perbedaan (Muhammad Imarah:1999).<br /><br />Satu hal yang menjadi catatan penting bagi kita adalah sebuah peradaban yang kosmopolit akan tercipta manakala umat Islam memiliki sikap inklusif dan mempunyai kemampuan (ability) menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar. Namun, dengan catatan identitas sejati atas parameter-parameter autentik agama tetap terjaga.<br /><br />Kedua, adalah tingginya sikap toleransi (tasamuh). Baik terhadap saudara sesama Muslim maupun terhadap saudara non-Muslim. Secara sederhana toleransi dapat diartikan sebagai sikap suka mendengar dan menghargai pendapat dan pendirian orang lain.<br /><br />Senada dengan hal itu, Quraish Shihab (2000) menyatakan bahwa tujuan Islam tidak semata-mata mempertahankan kelestariannya sebagai sebuah agama. Namun juga mengakui eksistensi agama lain dengan memberinya hak hidup, berdampingan seiring dan saling menghormati satu sama lain. Sebagaimana hal itu pernah dicontohkan Rasulullah Saw. di Madinah. Setidaknya landasan normatif dari sikap toleransi dapat kita tilik dalam firman Allah yang termaktub dalam surat Al-An'am ayat 108.<br /><br />Ketiga, adalah tegaknya prinsip demokrasi atau dalam dunia Islam lebih dikenal dengan istilah musyawarah. Terlepas dari perdebatan mengenai perbedaan konsep demokrasi dengan musyawarah, saya memandang dalam arti membatasi hanya pada wilayah terminologi saja, tidak lebih. Mengingat di dalam Alquran juga terdapat nilai-nilai demokrasi (surat As-Syura:38, surat Al-Mujadilah:11).<br /><br />Ketiga prinsip dasar setidaknya menjadi refleksi bagi kita yang menginginkan terwujudnya sebuah tatanan sosial masyarakat madani dalam konteks hari ini. Paling tidak hal tersebut menjadi modal dasar untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan. Semoga!***<br /><br />Penulis mahasiswa jurusan Aqidah Filsafat IAIN SGD Bandung.Taufiqhttp://www.blogger.com/profile/00729102129379588981noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7902481807416017653.post-41140900691259857252007-07-18T12:33:00.000-07:002007-07-18T12:34:44.973-07:00Menemukan Sosok Masyarakat Madani Indonesia<br />Kompas, 17 Agustus 2003<br /><br />SETELAH lima tahun pemerintahan Soeharto tumbang--yang berarti sudah lima tahun agenda reformasi dicanangkan--pemerintahan ternyata masih berjalan di tempat. Prahara dan krisis seakan enggan menjauh.<br /><br />INDONESIA yang tak pernah bisa sepenuhnya bangkit dari hantaman krisis moneter di tahun 1997, terus-menerus harus berhadapan dengan krisis politik, keamanan, sosial, dan yang paling mutakhir ancaman terorisme global. Sejak berakhirnya era Orde Baru, Indonesia telah mengalami beberapa kali pergantian pemerintahan, namun situasi tak kunjung membaik. Rupanya, angin demokrasi yang menerpa Indonesia tak cukup kuat untuk membangun fondasi bagi terbentuknya sebuah good governance. Periode lima tahun yang merupakan kesempatan emas bagi bangsa ini untuk menata dirinya telah berlalu dengan sia-sia.<br /><br />Demokrasi ternyata tak cukup hanya dibangun dengan terpilihnya pemimpin sipil lewat pemilihan umum yang jurdil-jujur dan adil-atau terjungkalnya sebuah pemerintahan otoriter. Demokrasi membutuhkan kepemimpinan politik yang mampu membangun fondasi bagi tegaknya supremasi hukum, terjaminnya hak-hak asasi warga negara, pers yang bebas, dan sistem politik yang memungkinkan checks and balances di antara lembaga-lembaga negara.<br /><br />Di sisi lain, demokrasi juga baru bisa berjalan bila masyarakatnya ikut mendukung dan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi. Dalam kondisi Indonesia saat ini, kedua aspek itu belum muncul. Selain kepemimpinan politik bangsa ini sangat lemah, masyarakatnya juga baru belajar berdemokrasi, yang menganggap semua persoalan seakan-akan bisa diselesaikan lewat unjuk rasa dan membuat organisasi tandingan.<br /><br />DENGAN kata lain, good governance hanya bisa tercipta melalui pemerintahan yang kuat dan terkonsolidasinya masyarakat madani (civil society) yang memosisikan dirinya sebagai penyeimbang negara. Alhasil, persoalan mendesak yang dihadapi bangsa ini adalah penataan kembali sistem kelembagaan politik, publik, dan sosial kemasyarakatan. Penataan ini harus dibarengi pula dengan pemahaman terhadap pandangan dunia (world-view) terhadap nilai-nilai religius, etika, dan moral dalam diri setiap warga negara.<br /><br />Terkonsolidasinya lembaga politik seperti partai politik, dengan sendirinya menjadi penting karena para anggota parpol inilah yang kelak akan menduduki kursi parlemen dan mengawasi jalannya pemerintahan. Namun, dalam perjalanannya di era reformasi, partai politik kita justru menunjukkan wajah yang infantil. Membiaknya parpol dalam jumlah besar, saat ini yang sudah mendeklarasikan partai ada sekitar 200-an; dangkalnya agenda partai yang hanya terpusat pada perebutan kursi kepresidenan; pada akhirnya memunculkan sosok partai yang lemah dan rentan. Kelemahan ini tidak saja mengimbas pada lembaga-lembaga publik yang diduduki mereka, tetapi juga dalam kultur dan perilaku politiknya.<br /><br />Perpecahan internal yang melanda sejumlah partai politik sering dilatarbelakangi dominasi kepentingan para elitenya yang kemudian mengaburkan cita-cita awal partai yang menjadi tumpuan para konstituen pemilih. Ketika tokoh PDI Perjuangan Sophan Sophiaan mengundurkan diri dari keanggotaan MPR pada 1 Februari 2002 karena "kelelahan jiwa", dan tokoh lainnya, Dimyati Hartono, mengundurkan diri sebagai kader PDI-P; ini hanyalah "puncak gunung es" dari sejumlah persoalan yang menggerogoti partai berlambang banteng ini.<br /><br />PDI-P dirasakan semakin kehilangan citra sebagai partai yang berpihak pada mereka yang tertindas. Ketergantungan terhadap figur pemimpin menjadikan otoritas partai berpusat pada tangan seorang atau segelintir elite partai. Dengan demikian, proses demokrasi yang telah berjalan secara alamiah di lapisan bawah harus tunduk pada kepentingan politik para elitenya. Intervensi Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI-P terhadap proses pemilihan gubernur, misalnya, menunjukkan bahwa praktik berpola "top-down" yang sering digugat di zaman Orde Baru nyatanya tetap langgeng. Yang berubah hanya para pemainnya.<br /><br />Ketidakmampuan parpol dalam mengelola konflik dan perbedaan pendapat di dalam tubuhnya juga menunjukkan belum dewasanya lembaga ini. Ketika Matori Abdul Djalil yang menjadi Ketua Partai Kebangkitan Bangsa ikut "menurunkan" Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenan, kemarahan warga Nahdliyin terhadap Matori yang kemudian berujung pada dualisme kepemimpinan terus menjadi isu dominan sampai menjelang Pemilu 2004. Ini berarti energi yang seharusnya disalurkan untuk konsolidasi, pemberdayaan partai, dan implementasi seluruh agenda partai habis terkuras untuk mengurusi perseteruan kubu Matori versus kubu Alwi Shihab.<br /><br />HAMPIR semua panelis setuju bahwa untuk menuju Indonesia yang demokratis, dibutuhkan masyarakat madani yang kuat sehingga negara tidak dibiarkan lagi menjadi penguasa wacana. Namun, para panelis juga melihat bahwa justru setelah rezim Soeharto tumbang, masyarakat madani mengalami proses unmaking karena buyarnya kekuatan kelas menengah yang menjadi motor gerakan ini. Rontoknya kekuatan kelas menengah sebagian dikarenakan kemerosotan ekonomi. Namun, sebagian lagi dikarenakan ketidakmampuan para pemimpin sipil untuk mengonsolidasikan kelompoknya dan membentuk kekuatan bersama sebagai pressure group (kelompok penekan) dalam memperjuangkan isu-isu demokrasi, penegakan hukum, perlindungan hak asai manusia (HAM), dan penciptaan good governance.<br /><br />Yang terjadi adalah tokoh-tokoh sipil beramai-ramai terjun ke dunia politik dengan keyakinan bahwa mereka dapat memainkan peran menentukan untuk mereformasi pemerintahan. Namun, mereka kemudian hanyut dalam proses-proses politik yang manipulatif dan destruktif. Organisasi-organisasi kemasyarakatan yang pada awalnya berhasil melakukan political disengagement untuk menghindari diri dari kooptasi negara malah kemudian menjadi bagian dari negara itu sendiri dan terlibat dalam day to day politics.<br /><br />Sementara lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun organisasi nonpemerintah (ornop) kehilangan kredibilitas dan akuntabilitasnya di mata publik karena pendekatan mereka yang terlalu ekstrem, merasa diri paling benar, tak mau berkompromi meskipun demi konteks kepentingan yang lebih luas, dan juga terus didera konflik internal berkepanjangan. Jelas, mereka sulit dijadikan contoh yang baik bagi masyarakat luas. Sebab, bagaimana mereka bisa menggugat kinerja pemerintah bila mereka sendiri tidak dapat menerapkan prinsip-prinsip demokrasi maupun menegakkan aturan di dalam dirinya?<br /><br />Contoh yang ironis adalah krisis yang terjadi di tubuh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), yang seharusnya-atau sepatutnya-menjadi lokomotif proses demokratisasi di negara ini, mengingat para tokohnya adalah mereka yang terlibat secara intensif dalam pergulatan pencarian keadilan. Di tahun 1996 pergantian pengurus YLBHI menimbulkan perpecahan sehingga beberapa aktivisnya, Hendardi dan kawan-kawan, keluar dari YLBHI dan membentuk Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI).<br /><br />Di tahun 2001, kemelut serupa juga terjadi dalam pergantian kepengurusan dari Bambang Widjojanto kepada caretaker yang digugat sejumlah LBH daerah, dan berujung pada mundurnya aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Munir, sebagai pekerja bantuan hukum LBH. Perseteruan serupa kini berulang kembali pada kepengurusan yang terbaru.<br /><br />MUNGKIN tak berlebihan bila seorang panelis menggambarkan apa yang terjadi saat ini adalah keruntuhan keadaban publik (collapse of public civility), yang terjadi akibat adanya pendangkalan di masyarakat. Tanda-tandanya bisa terlihat dari banyaknya gejala ekstrem di sekitar kita. Sebagai contoh, tingkat korupsi di Indonesia sangat ekstrem sehingga negara kita dimasukkan dalam kategori "terkorup di dunia".<br /><br />Tingkat kekerasan juga sangat ekstrem, dan ini antara lain ditunjukkan oleh rangkaian peledakan bom secara serentak di sejumlah kota di Indonesia pada malam Natal tahun 2000, dan klimaksnya adalah tragedi peledakan bom di Bali yang merenggut sekitar 200 jiwa. Emosi masyarakat kita juga sangat ekstrem, hal ini bisa dilihat sewaktu terjadi kerusuhan bulan Mei 1998, di mana warga malah "bergotong royong" membakar pusat pertokoan. Bandingkan misalnya dengan penduduk kota New York yang pekan ini dilanda pemadaman listrik total (blackout). Mereka dengan tenang bergotong royong untuk mengamankan kota dan menjalankan fungsi sosial yang terhenti. Gaya hidup masyarakat kita juga menjadi sangat ekstrem. Di tengah keterpurukan ekonomi, Indonesia tetap memiliki konsumen pembeli mobil mewah setingkat Ferrari dan Maserati.<br /><br />Gejala-gejala ekstrem seperti ini hanya datang dari sebuah masyarakat yang mengalami pendangkalan intelektualitas sehingga buta dalam melihat kompleksitas permasalahan dan bebal dalam mengenali sisi kepentingan umum. Lantas, siapakah yang harus berperan untuk membangun sebuah masyarakat berwacana (informed people) yang memahami prinsip-prinsip demokrasi? Media massa menjadi salah satunya. Mengutip Ariel Heryanto dalam bukunya Challenging Authoritarianism in Southeast Asia (2003) disebutkan bahwa salah satu faktor yang mendorong tumbangnya Soeharto adalah kegagalan rezim ini untuk mengintimidasi dan mengooptasi media. Dengan kata lain, idealnya media memang menjadi salah satu kekuatan yang mendorong akselerasi demokratisasi.<br /><br />Namun, pers Indonesia ternyata mengalami perubahan kualitas yang signifikan, yang oleh seorang panelis digambarkan sebagai sebuah perubahan gerakan dari civic journalism menjadi voyeuristic journalism (jurnalistik "intip") atau jurnalistik yang membisniskan instink voyeuristic manusia. Gejala ini bukan saja melanda pers cetak, tetapi juga media televisi. Misalnya saja, dalam soal-soal kepresidenan, yang ditampilkan bukanlah kualitas kepemimpinannya, melainkan tingkat selebritinya. dengan demikian, pertanyaannya apakah mungkin sosok media seperti ini menjadi polisi demokrasi?<br /><br />Tantangan yang dihadapi pers saat ini juga berbeda dengan situasi di zaman Orde Baru. Dulu, yang harus dihadapi adalah represi pemerintah yang sistematis. Kini, pers harus berhadapan dengan aksi-aksi represif kelompok, seperti yang dialami majalah Tempo ketika massa yang terdiri dari ratusan orang menyerbu kantor redaksinya, Maret lalu. Tak adanya otoritas hukum (lawlessness) adalah ciri khas negara yang belum demokratis, di mana warga negara harus berupaya sendiri melindungi dirinya dari kemungkinan tindakan semena-mena pihak yang lebih kuat dan berpengaruh. Bila ini yang terjadi, semakin jauhlah cita-cita bangsa ini mentransformasikan dirinya menjadi bangsa yang demokratis dan beradab.<br /><br />Namun, optimisme tetap tak boleh hilang. Betapapun carut-marutnya situasi di dalam negeri, inilah wajah Indonesia yang terus-menerus berproses menemukan jati dirinya: sebuah Indonesia yang tidak final, yang terus menjadi. Setidaknya bangsa ini telah memiliki pijakan yang jelas, yaitu tak ingin kembali ke periode gelap otoriterianisme. Diakui bahwa sosok masyarakat madani yang ada saat ini masih jauh dari yang dicita-citakan, namun wujudnya sudah lebih baik dibandingkan sebelumnya.<br /><br />Disadari bahwa politisi sipil kita memang masih memble, tetapi ini bukanlah alasan untuk mengembalikan wewenang politik ke tangan militer.<br /><br />Suatu ide sosial politik memerlukan prasarana sosial kultural untuk dapat terwujud. Di sinilah peran masyarakat madani harus diberdayakan. Indonesia beruntung memiliki organisasi seperti Muhamamdiyah dan Nahdlatul Ulama yang telah menjadi aktualisasi civil Islam (Islam kewargaan) terpenting dalam masyarakat dan bangsa Indonesia. Kedua organisasi ini telah memberikan kontribusi besar dalam menghasilkan better ordering of society (masyarakat yang lebih teratur) melalui berbagai usaha dan program dalam bidang pendidikan, keagamaan, pelayanan sosial, dan ekonomi. Jejak ini yang seharusnya terus ditumbuhkembangkan dan digalang kebersamaannya oleh ratusan ormas maupun LSM yang dimiliki negeri ini.<br /><br />Proses reformasi memang lambat dan tertatih-tatih, tetapi kita menyadari bahwa bangsa ini telah berada di point of no return. Jika eksperimentasi sekarang ini kembali gagal, itu berarti penundaan untuk kesekian kalinya bagi pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Mengutip komentar Nurcholish Madjid, jika merujuk pengalaman di masa lalu, dibutuhkan tenggang waktu satu generasi untuk tibanya sebuah kesempatan baru bagi eksperimen demokrasi di negeri kita. (Myrna Ratna M)Taufiqhttp://www.blogger.com/profile/00729102129379588981noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7902481807416017653.post-55611477631755633812007-07-18T12:30:00.000-07:002007-07-18T12:33:12.653-07:00Menuju Masyarakat MadaniMenuju Masyarakat Madani<br />Oleh: Nurcholis Madjid<br /><br /><br />Sudah menjadi kewajiban kita semua untuk ikut serta ambil peran dalam usaha bersama bangsa kita untuk mewujudkan masyrakat berperadaban, masyarakat madani, civil society, dinegara kita tercinta, Republik Indonesia. Karena terbentuknya masyarakat madani adalah bagian mutlak dari wujud cita-cita kenegaraan, yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.<br /><br />Adalah Nabi Muhammad Rasulullah sendiri yang memberi teladan kepada umat manusia ke arah pembentukan masyarakat peradaban. Setelah belasan tahun berjuang di kota Mekkah tanpa hasil yang terlalu menggembirakan, Allah memberikan petunjuk untuk hijrak ke Yastrib, kota wahah atau oase yang subur sekitar 400 km sebelah utara Mekkah. Sesampai di Yastrib, setelah perjalanan berhari-hari yang amat melelahkan dan penuh kerahasiaan, Nabi disambut oleh penduduk kota itu, dan para gadisnya menyanyikan lagu Thala'a al-badru 'alaina (Bulan Purnama telah menyingsing di atas kita), untaian syair dan lagu yang kelak menjadi amat terkenal di seluruh dunia. Kemudian setelah mapan dalam kota hijrah itu, Nabi mengubah nama Yastrib menjadi al-Madinat al-nabiy (kota nabi).<br /><br />Secara konvensional, perkataan "madinah" memang diartikan sebagai "kota". Tetapi secara ilmu kebahasaan, perkataan itu mengandung makna "peradaban". Dalam bahasa Arab, "peradaban" memang dinyatakan dalam kata-kata "madaniyah" atau "tamaddun", selain dalam kata-kata "hadharah". Karena itu tindakan Nabi mengubah nama Yastrib menjadi Madinah, pada hakikatnya adalah sebuah pernyataan niat, atau proklamasi, bahwa beliau bersama para pendukungnya yang terdiri dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar hendak mendirikan dan membangun mansyarakat beradab.<br /><br />Tak lama setelah menetap di Madinah itulah, Nabi bersama semua penduduk Madinah secara konkret meletakkan dasar-dasar masyarakat madani, dengan menggariskan ketentuan hidup bersama dalam suatu dokumen yang dikenal sebagai piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah). Dalam dokumen itulah umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan, antara lain, kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan politik, khususnya pertahanan, secara bersama-sama. Dan di Madinah itu pula, sebagai pembelaan terhadap masyarakat madani, Nabi dan kaum beriman diizinkan mengangkat senjata, perang membela diri dan menghadapi musuh-musuh peradaban.<br /><br />Jika kita telaah secara mendalam firman Allah yang merupakan deklarasi izin perang kepada Nabi dan kaum beriman itu, kita akan dapat menangkap apa sebenarnya inti tatanan sosial yang ditegakkan Nabi atas petunjuk Tuhan.<br /><br />***<br /><br />Diizinkan berperang bagi orang-prang yang diperangi, karena mereka sesungguhnya telah dianiaya, dan sesungguhnya Allah amat berkuasa untuk menolong mereka.<br /><br />Yaitu mereka yang diusir dari kampung halaman mereka secara tidak benar, hanya karena mereka berkata: "Tuhan kami ialah Allah". Dan kalaulah Allah tidak menolak (mengimbangi) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya runtuhlah gereja-gereja, sinagog-sinagog, dann masjid-masjid yang disitu banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah akan menolong siapa saja yang menolong-NYA (membela kebenaran dan keadilan).<br /><br />Yaitu mereka, yang jika kami berikan kedudukan di bumu, menegakkan sembahyang serta menunaikan zakat, dan mereke a menuruh berbuat kebaikan serta melarang berbuat kejahatan, dan mereka mennyuruh berbuat kebaikan serta melarang berbuat kejahatan. Dan bagi Allah jualah segala kesudahan semua perkara. (Q.S. Al-Hajj-39-41).<br /><br />***<br /><br />Dari firman deklarasi izin perang kepada nabi dan kaum beriman itu, bahwa perang dalam masyarakat madani dilakukan karena keperluan harus mempertahankan diri, melawan dan mengalahkan kezaliman. Perang itu juga dibenarkan dalam rangka membela agama dan sistem keyakinan, yang intinya ialah kebebasan menjalankan ibadat kepada Tuhan. Lebih jauh, perang yang diizinkan Tuhan itu adalah untuk melindungi lembaga-lembaga keagamaan seperti biara, gereja, sinagog, dan mesjid (yang dalam lingkungan Asia dapat ditambah dengan kuil, candi, kelenteng, dan seterusnya) dari kehancuran.<br /><br />Perang sebagai suatu keterpaksaan yang diizinkan Allah itu merupakan bagian dari mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang diciptakan Allah untuk menjaga kelestarian hidup manusia. Seperti dunia sekarang ini yang selamat dari "kiamat nuklir" karena perimbangan kekuatan nuklir antara negara-negara besar, khususnya Amerika dan Rusia (yang kemudian masing-masing tidak berani menggunakan senjata nuklirnya—yang disebut "kemacetan nuklir"), masyarakat pun berjalan mulus dan terhindar dari bencana jika di dalamnya terdapat mekanisme pengawasan dan pengimbangan secara mantap dan terbuka (renungkan QS Al-Baqarah:152). Dengan memahami prinsip-prinsip itu, kita juga akan dapat memahami masyarakat madani yang dibangun nabi di Madinah.<br /><br />Membangun masyarakat peradaban itulah yang dilakukan Nabi selama sepuluh tahun di Madinah. Beliau membangun masyarakat yang adil, terbuka, dan demokratis, dengan landasan takwa kepada Allah dan taat kepada ajaran-NYA. Taqwa kepada Allah dalam arti semangat ketuhanan Yang Maha Esa, yang dalam peristilahan Kitab Suci juga disebut semangat Rabbaniyah (QS Alu Imran:79) atau ribbiyah (QS Alu Imran:146). Inilah hablun mim Allah, tali hubungan dengan Allah, dimensi vertikal hidup manusia, salah satu jaminan untuk manusia agar tidak jatuh hina dan nista.<br /><br />Semangat Rabbaniyah atau ribbiyah itu, jika cukup tulus dan sejati, akan memancar dalam semangat perikemanusiaan, yaitu semangat insaniyah, atau basyariyah, dimensi horisontal hidup manusia, hablun min al-nas. Kemudian pada urutannya, semangat perikemanusiian itu sendiri memancar dalam berbagai bentuk hubungan pergaulan manusia yang penuh budi luhur. Maka tak heran jika Nabi dalam sebuah hadisnya menegaskan bahwa inti sari tugas suci beliau adalah untuk "menyempurnakan berbagai keluhuran budi".<br /><br />Masyarakat berbudi luhur atau berakhlak mulia itulah, masyarakat berperadaban, masyarakat madani, "civil society". Masyarakat Madani yang dibangun nabi itu, oleh Robert N. Bellah, seorang sosiologi agama terkemuka disebut sebagai masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern, bahkan terlalu modern, sehingga setelah nabi sendiri wafat tidak bertahan lama. Timur tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti dirintis Nabi (RN Bellah Ed. Beyond Belief {New York : Harper & Row, edisi paperback, 1976} hh. 150-151).<br /><br />Setelah Nabi wafat, masyarakat madani warisan Nabi itu, yang antara lain bercirikan egaliterisme, penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan prestise seperti keturunan, kesukuan, ras, dan lain-lain), keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat, dan penentuan kepemimpinan melalui pemilihan, bukan berdasarkan keturunan, hanya berlangsung selama tiga puluh tahunan masa khulafur rasyidin. Sesudah itu, sistem sosial madani dengan sistem yang lebih banyak diilhami oleh semangat kesukuan atau tribalisme Arab pra-Islam, yang kemudian dikukuhkan dengan sistem dinasti keturunan atau geneologis itu sebagai "Hirqaliyah" atau "Hirakliusisme", mengacu kepada kaisar Heraklius, penguasa Yunani saat itu, seorang tokoh sistem dinasti geneologis.<br /><br />Begitu keadaan dunia Islam, terus-menerus hanya mengenal sistem dinasti geneologis, sampai datangnya zaman modern sekarang. Sebagian negara muslim menerapkan konsep negara republik, dengan presiden dan pimpinan lainnya yang dipilih. Karena itu, justru dalam zaman modern inilah, prasarana sosial dan kultural masyarakat madani yang dahulu tidak ada pada bangsa manaoun di dunia, termasuk bangsa Arab, mungkin akan terwujud. Maka kesempatan membangun masyarakat madani menuurut teladan nabi, justru mungkin lebih besar pada masa sekarang ini.<br /><br />Berpangkal dari pandangan hidup bersemangat ketuhanan dengan konsekuensi tindakan kebaikan kepada sesama manusia (QS Fushshilat:33), masyarakat madani tegak berdiri di atas landasan keadilan, yang antara lain bersendikan keteguhan berpegang kepada hukum. Menegakkan hukum adalah amanat Tuhan Yang Maha Esa, yang diperintahkan untuk dilaksanakan kepada yang berhak (QS Al-Nisa:58). Dan Nabi telah memberi telaadan kepada kita. Secara amat setia beliau laksanakan perintah Tuhan itu. Apalagi Al-Qur'an juga menegaskan bahwa tugas suci semua Nabi ialah menegakkan keadilan di antara manusia (QS Yunus:47).<br /><br />Juga ditegakkan bahwa para rasul yang dikirim Allah ke tengah umat manusia dibekali dengan kitab suci dan ajaran keadilan, agar manusia tegak dengan keadilan itu (QS al-Hadid:25). Keadilan harus ditegakkan, tanpa memandang siapa yang akan terkena akibatnya. Keadilan juga harus ditegakkan, meskipun mengenai diri sendiri, kedua orang tua, atau sanak keluarga (QS A-'Nisa:135). Bahkan terhadap orang yang membenci kita pun, kita harus tetap berlaku adil, meskipun sepintas lalu keadilan itu akan merugikan kita sendiri (QS Al-Ma'idah:8).<br /><br />Atas pertimbangan ajaran itulah, dan dalam rangka menegakkan masyarakat madani, Nabi tidak pernah membedakan anatara "orang atas", "orang bawah", ataupun keluaarga sendiri. Beliau pernah menegaskan bahwa hancurnya bangsa-bangsa di masa lalu adalah karena jika "orang atas" melakukan kejahatan dibiarkan, tetapi jika "orang bawah" melakukannya pasti dihukum. Karena itu Nabi juga menegaskan, seandainya Fatimah pun, puteri kesayangan beliau, melakukan kejahatan, maka beliau akan menghukumnya sesuai ketentuan yang berlaku.<br /><br />Masyarakat berperadaban tak akan terwujud jika hukum tidak ditegakkan dengan adil, yang dimulai dengan ketulusan komitmen pribadi. Masyarakat berperadaban memerlukan adanya pribadi-pribadi yang dengan tulus mengikatkan jiwanya kepasda wawasan keadilan. Ketulusan ikatan jiwa itu terwujud hanya jika orang bersangkutan ber-iman, percaya dan mempercayai, dan menaruh kepercayaan kepada Tuhan, dalam suatu keimanan etis, artinya keimanan bahwa Tuhan menghendaki kebaikan dan menuntut tindakan kebaikan manusia kepada sesamanya. Dan tindakan kebaikan kepada sesama manusia harus didahului dengan diri sendiri menempuh hidup kebaikan, seperti dipesankan Allah kepada para Rasul (QS Al-Mu'minun:51), agar mereka "makan dari yang baik-baik dan berbuat kebajikan."<br /><br />Ketulusan ikatan jiwa, juga memerlukan sikap yang yakin kepada adanya tujuan hidup yang lebih tinggi daripada pengalaman hidup sehari-hari di dunia ini. Ketulusan ikatan jiwa perlu kepada keyakinan bahwa makna dan hakikat hidup manusia pasti akan menjadi kenyataan dalam kehidupan abadi, kehidupan setelah mati, dalam pengalaman bahagia atau sengsara. Karena itu, ketulusan ikatan jiwa kepada keadilan mengharuskan orang memandang hidup jauh di depan, tidak menjadi tawanan keadaan di waktu sekarang dan di tempat ini (dunia) (QS Al-'Araf:169).<br /><br />Tetapi, tegaknya hukum dan keadilan tak hanya perlu kepada komitmen-komeitmen pribadi. Komitmen pribadi yang menyatakan diri dalam bentuk "itikad baik", memang mutlak diperlukan sebagai pijakan moral dan etika dalam masyarakat. Sebab, bukankah masyarakat adalah jumlah keseluruhan pribadi para anggotanya? Apalagi tentang para pemimpin masyarakat atau public figure, maka kebaikan itikad itu lebih-lebih lagi dituntut, dengan menelusuri masa lalu sang calon pemimpin, baik bagi dirinya sendiri maupun mungkin keluarganya. Karena itu, di banyak negara, seorang calon pemimpin formal harus mempunyai catatan perjalanan hidup yang baik melalui pengujian, bukan oleh perorangan atau kelembagaan, tetapi oleh masyarakat luas, dalam suasana kebebasan yang menjamin kejujuran.<br /><br />Namun sesungguhnya, seperti halnya dengan keimanan yang bersifat amat pribadi, itikad baik bukanlah suatu perkara yang dapat diawasi dari diri luar orang bersangkutan. IA dapat bersifat sangat subjektif, dibuktikan oleh hampir mustahilnya ada orang yang tidak mengaku beritikad baik. Kecuali dapat diterka melalui gejala lahir belaka, suatu itikad baik tak dapat dibuktikan, karena menjadi bagian dari bunyi hati sanubari orang bersangkutan yang paling rahasia dan mendalam.<br /><br />Oleh sebab itu, iitikad pribadi saj atidak cukup untuk mewujudkan masyarakat berperadaban. Itikad baik yang merupakan buah keimanan itu harus diterjemahkan menjadi tindakan kebaikan yang nyata dalam masyarakat, berupa "amal saleh", yang secara takrif adalah tindakan membawa kebaikan untuk sesama manusia. Tindakan kebaikan bukanlah untuk kepentingan Tuhan, sebab Tuhan adalah Maha Kaya, tidak perlu kepada apapun dari manusia. Siapa pun yang melakukan kebaikan, maka dia sendirilah --melalui hidup kemasyarakatannya-- yang akan memetik dan merasakan kebaikan dan kebahagiaan. Begitu pula sebaiknya, siapapun yang melakukan kejahatan, maka dia sendiri yang kan mewnanggung akibat kerugian dan kejahatannya. (QS Fushilat:46, Al-Jatsiyah:15).<br /><br />Jika kita perhatikan apa yang terjadi dalam kenyataan sehari-hari, jelas sekali bahwa nilai-nilai kemasyarakatan yang terbaik sebagian besar dapat terwujud hanya dalam tatanan hidup kolektif yang memberi peluang kepada adanya pengawasan sosial. Tegaknya hukum dan keadilan, mutlak emmerlukan suatu bentuk interaksi sosial yang memberi peluang bagi adanya pengawasan itu. Pengawasan sosial adalah konsekuensi langsung dari itikad baik yang diwujudkan dalam ttindakan kebaikan.<br /><br />Selanjutnya, pengawasan sosial tidak mungkin terselenggara dalam suatu tatanan sosial yang tertutup. Amal soleh ataupun kegiatan "demi kebaikan", dengan sendirinya berdimensi kemanusiaan, karena berlangsung dalam suatu kerangka hubungan sosial, dan menyangkut orang banyak. Suatu klaim berbuat baik untuk masyarakat, apalagi jika pebuatan atau tindakan itudilakukan melaluipenggunaan kekuasaan, tidak dapat dibiarkan berlangsung denan mengabaikan masyarakat, apalagi jika perbuatan atau tindakan dilakukan melalui penggunaan kekuasaan. tidak dapat dibiarkan berlangsung dengan mengabaikan masyarakat itu sendiri dengan berbagai pandangan, penilaian dan pendapat yang ada.<br /><br />Dengan demikian, masyarakat madani akan terwujud hanya jika terdapat cukup semangat keterbukaan dalam masyrakat. Keterbukaan adalah konsekuensi dari kemanusiaan, suatu pandangan yang melihat sesama manusia secara optimis dan positif. Yaitu pandangan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik (QS Al-'araf: 172, Al-Rum:30), sebelum terbukti sebaliknya. Kejahatan pribadi manusia bukanlah sesuatu hal yang alami berasal dari dalam kediriannya. Kejahatan terjadi sebagai akibat pengaruh dari luar, dari pola budaya yang salah, yang diteruskan terutama oelh seorang tua kepada anaknya. Karena itu, seperti ditegaskan dalam sebuah hadist Nabi, setiap anak dilahirkan dlam kesucian asal, namun orangtuanyalah yang membuatnya menyimpang dari kesucian asal itu.<br /><br />Ajaran kemanusiaan yang suci itu membawa konsekuensi bahwa kita harus melihat sesama manusia secara optimis dan positif, sdengan menerapkan prasangka baik (husn al-zhan), bukan prasangka buruk (su' al-zhan), kecuali untuk keperluan kewaspadaan seeprlunya dalam keadaan tertentu. Tali persaudaraan sesama manusia akan terbina antara lain jika dalam masyarakat tidak terlalu banyak prasangka buruk akibat pandangan yang pesimis dan negatif kepada manusia (QS al-Hujurat:12).<br /><br />Berdasarkan pandangan kemanusiaan yang optimis-positif itu, kita harus memandang bahwa setiap orang mempunyai potensi untuk benar dan baik. Karena itu, setiap orang mempunyai potensi untuk menaytakan pendapat dan untuk didengar. Dari pihak yang mndengar, kesediaan untuk mendengar itu sendiri memerlukan dasar moral yang amat penting, yaitu sikap rendah hati, berupa kesiapan mental untuk menyadari dan mengakui diri sendiri selalu berpotensi untuk membuat kekeliruan. Kekeliruan atau kekhilafan terjadi karena manusia adalah makhluk lemah (QS Al-Nisa': 28). Keterbukaan adalah kerendahan hati untuk tidak merasa selalu benar, kemudian kesediaan mendengar pendapat orang lain untuk diambil dan diikuti mana yang terbaik. Keterbukaaan serupa itu dalam kitab suci disebutkan sebagai tanda adanya hidayah dari Allah, dan membuat yang bersangkutan tergolong orang-orang yang berpikiran mendalam (ulu' al-bab), yang sangat beruntung (QS al-Zumar:17-18).<br /><br />Musyawarah pada hakikatnya tak lain adalah interaksi positif berbagai individu dalam masyarakat yang saling memberi hak untuk menyatakan pendapat, dan saling mengakui adanya kewajiban mendengar pendapat itu. Dalam bahasa lain, musyawarah ialah hubungan interaktif untuk saling mewngingatkan tentang kebenaran dan kebaikan serta ketabahan dalam mencari penyelesaian masalah bersama, dalam suasana persamaan hak dan kewajiban antara warga masyarakat (QS al-'Ashar).<br /><br />Itulah masyarakat demokratis, yang berpangkal dari keteguhan wawasan etis dan moral berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Masyarakat demokratis tidak mungkin tanpa masyarakat berperadaban, masyarakat madani. Berada di lubuk paling dalam dari masyarakat madani adalah jiwa madaniyah, civility, yaitu keadaban itu sendiri. Yaitu sikap kejiwaaan pribadi dan sosial yang bersedia melihat diri sendiri tidak selamanya benar, dan tidak ada suatu jawaban yang selamanya benar atas suatu masalah. Dari keadaan lahir sikap yang tulus untuk menghargai sesama manusia, betappaun seorang individu atau suatu kelompok berbeda dengan diri sendiri dan kelompok sendiri. Karena itu, keadaban atau civility menuntut setiap orang dan kelompok masyarakat untuk menghindar dari kebiasaan merendahkan orang atau kelompok lain, sebab "Kalau-kalau mereka yang direndahkan itu lebih baik daripada mereka yang direndahkan" (QS al-Hujurat:11).<br /><br />Tegaknya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur, seperti toleransi dan pluralisme, adalah kelanjutan dari tegaknya nilai-nilai keadaban itu. Sebab toleransi dan pluralisme tak lain adalah wujud dari "ikatan keadaban" (bond of civility), daolam sarti, sebagaimana telah dikemukakan, bahwa masing-masing pribadi atau kelompok, dalam suatu lingkungan interaksi sosial yang lebih luas, memiliki kesediaan memandang yang lain dengan penghargaan, betappaun perbedaan yang ada, tanpa saling memaksakan kehendak, pendapat, atau pandangan sendiri.<br /><br />Bangsa Indonesia memiliki semua perlengkapan yang diperlukan untuk nmenegakkan masyarakat madani. Dan kita semua sangat berpengharapan bahwa masyarakat madani akan segera tumbuh semakain kuat di amsa dekat ini. Kemajuan besar yang telah dicapai oleh Orde Baru dala m meningkatkan taraf hidup rakyat dan kecerdasan umum, adalah alasan utam akita untuk berpengaharapan itu. Kita wajib bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berterima kasih kepada para pemimpin bangsa, bahwa keadaaan kita sekarang ini, hampir di segala bidang, jauh lebih baik, sangat jauh lebih baik, daripada dua-tiga dasawarsa yang lalu.<br /><br />Tetapi, sejalan dengan suatu cara Nabi bersyukur kepada Allah, yaitu dengan memohon ampun kepada-Nya, kita pun bersyukur kepada-Nya dengan menyadari dan mengakui berbagai kekurangan kita. Dan kita semua tidak mau menjadi korban keberhasilan kita sendiri, misalnya karena kurang mampu melakukan antisipasi terhadap tuntutan masyarakat yang semakin berkecukupan dan berpendidikan. Terkiaskan denagn makna ungkapan "revolusi sering memakan anaknya sendirinya sendiri", kita semua harus berusaha mencegah jangan sampai "keberhasilan memakan anaknya sendiri" pula.Taufiqhttp://www.blogger.com/profile/00729102129379588981noreply@blogger.com0