Wednesday, July 18, 2007

Baca-Tulis Masyarakat Madani

Baca-Tulis Masyarakat Madani
Oleh A. Chaedar Alwasilah,
Pikiran Rakyat, 7 September 2005

Nilai, norma, hukum, dan iman adalah potensi psikologis yang inheren dalam setiap masyarakat dan relatif statis dibandingkan dengan ilmu, teknologi dan peradaban. Dengan kata lain, 'bermadani' mensyaratkan pemertahanan nilai-nilai tradisional dan pada waktu yang bersamaan disaling-hadapkan dengan ilmu dan teknologi yang tidak sabar untuk berlari tanpa henti.

Berperadaban adalah proses belajar secara kolektif dan sepanjang sejarah sehingga mencapai derajat cultured, yakni masyarakat yang berpendidikan, yang indikatornya mencakup kemampuan membaca dan menulis. Dua kegiatan ini adalah media transformasi dari tahap ke tahap peradaban manusia. Lewat kaji ulang secara saksama ihwal tulis-menulis kita dapat mengungkap kesejarahan peradaban manusia.

Masyarakat wacana madani

Dalam arti luas setiap masyarakat yang berpendidikan pasti berwacana, yakni berkomunikasi baca-tulis, namun wacananya belum tentu berkualitas madani. Literasi madani (civil literacy) adalah kemampuan masyarakat untuk membaca agar mampu memberi keputusan sosial yang bertanggung jawab dan kemampuan menulis secara kritis untuk mengaktualisasikan peran sosialnya dalam masyarakat. Literasi adalah niscaya untuk membangun masyarakat madani, yang merupakan ajang partisipasi warga negara sebagai bagian dari kehidupaan demokrasi.

Proses belajar-mengajar dan pemerolehan keterampilan intelektual diniati sebagai upaya memberdayakan warga negara untuk partisipasi madani itu. Dalam konteks masyarakat madani, literasi (keterampilan membaca dan menulis) mesti teraktualisasi dalam membaca madani (civic reading) dan menulis madani (civic writing).

Menulis partisipatoris (participatory writing), yakni kegiatan menulis warga masyarakat atas inisiatif sendiri untuk tujuan sosial politik cenderung dianggap enteng, padahal pembiasaan kegiatan ini merupakan upaya demokratisasi. Petisi, pidato, protes, resolusi, catatan rapat, agenda, memo, buletin, surat aduan, surat terbuka kepada editor, aduan kepada anggota legislatif, dan sebagainya adalah teks-teks yang merupakan bukti perwujudan literasi madani.

Ada sejumlah tujuan dari penulisan teks-teks demikian itu, yaitu: pertama, untuk menyatakan hubungan personal maupun kolektif sebagai warga masyarakat. Poster dengan tulisan "Selamat Datang di Kota Kembang," misalnya, membangun hubungan emosional antara warga Bandung dengan para pengunjung.

Kedua, untuk memohon informasi dan bantuan. Surat yang ditulis warga kepada wali kotanya ihwal kebersihan jalan-jalan, misalnya, tidak saja menyadarkan tanggung jawab wali kota tetapi warga itu secara tidak langsung mewakili anggota masyarakat lain yang hirau tentang kebersihan jalan. Ini juga merupakan praktik perwakilan dalam masyarakat madani.

Ketiga, untuk menyuguhkan informasi kepada publik sebagai bentuk layanan publik. Informasi yang diberikan oleh organisasi seperti LSM dalam bentuk "kalawarta" (newsletter), catatan rapat, agenda, dan sebagainya merupakan media untuk pemertahanan demokrasi.

Keempat, untuk mengevaluasi kinerja petugas layanan publik. Warga negara dianjurkan membiasakan diri menyampaikan kritik dan pujian secara proporsional ihwal layanan publik melalui surat kabar atau media komunikasi lainnya. Desakan agar Presiden SBY merombak kabinet-khususnya bidang ekonomi dan hubungan luar negeri--menunjukkan kepedulian publik terhadap layanan dan kinerja kabinet sekarang ini.

Pendidikan bahasa dalam konteks madani membekali siswa rasa percaya diri dan keterampilan retorika yang diperlukaan untuk berekspresi dalam wacana madani di sekolah dan di luar sekolah. Caranya antara lain dengan mengakrabi secara kritis berbagai jenis teks seperti disebut di atas.

Para siswa dilatih menganalisis teks sehingga mampu mengidentifikasi karakteristik teks, sasaran pembaca, dan tujuan penulisannya. Mereka juga dilatih mencermati kejujuran, objektivitas, dan efektivitas dalam penulisan itu. Tampaknya kesadaran terhadap dahsyatnya potensi jenis-jenis teks ini masih lemah. Sedikit sekali buku teks BI yang memasukkan teks-teks tersebut sebagai bahan bacaan.

TahapanlLiterasi

Wells (1987) yang teorinya dijadikan rujukan khususnya oleh tim pengembang Kurikulum Bahasa Inggris 2004, mengidentifikasi empat tingkatan literasi, yakni tingkatan performative, functional, informational, dan epistemic. Masing-masing secara berurutan merujuk pada kemampuan membaca dan menulis, kemampuan menggunakan bahasa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, kemampuan mengakses pengetahuan, dan kemampuan mentransformasi pengetahuan.

Tingkatan itu dapat disejajarkan dengan tingkatan pendidikan formal, yakni SD untuk mengajarkan literasi tingkat performatif, SMP untuk mengajarkan literasi tingkat fungsional, SMA untuk mengajarkan literasi tingkat informasional, dan perguruan tinggi (PT) untuk mengajarkan minimal literasi epistemik.

Kita selama ini cenderung menyepelekan ketergantungan keempat tingkatan itu sehingga ada anggapan salah bahwa konsentrasi pada literasi epistemik-seperti melalui perkuliahan teori-teori menulis di jurusan-jurusan bahasa, dan Mata Kuliah Umum Bahasa Indonesia (MKU BI)--diyakini dapat menyulap 'sim salabim' para mahasiswa menjadi sarjana yang produktif menulis. Yang terjadi selama ini adalah berjubelnya lulusan PT yang bernasib 'setengah literat,' yakni memiliki kemampuan membaca tapi tidak diimbangi oleh kemampuan menulis. Sayangnya, fenomena ini kurang menjadi kepenasaranan para birokrat kampus.

Jamu mujarab-tapi memang pahit--untuk mengobati 'penyakit' ini adalah reposisi dan redefinisi MKU BI di semua PT. MKU ini harus diberi darah baru agar mampu melejitkan literasi epistemik para mahasiswa. Ada tiga pendekatan yang dapat ditempuh secara serentak, yaitu: (1) pendekatan kurikuler dengan mereposisinya sebagai mata kuliah wajib dengan jumlah sks sesuai dengan kebutuhan mahasiswa, (2) pendekatan ekstrakurikuler untuk menunjang kemampuan mahasiswa, dan (3) pendekatan epistemologis, yaitu dengan menyelaraskan hakikat MKU BI dengan tuntutan literasi epistemik.

MKU BI turun mesin

Pendidikan diniati untuk mengubah cara berpikir atau mind set anak bangsa. Yang sering dilupakan adalah perlunya mengubah mind set guru dan dosennya! Sejak dicantumkannya dalam kurikulum, MKU ini belum berhasil melejitkan literasi epistemik bangsa ini. Mengapa MKU Bahasa Inggris yang sudah berusia lebih dari 300 tahun dalam PT di Amerika-yang lazim disebut college writing--begitu bergengsi? Sebaliknya, mengapa MKU BI di PT kita dianggap kurang bermartabat? Bisa jadi karena selama ini MKU ini lebih merupakan pengulangan (yang membosankan) materi ajar di SMA, padahal para mahasiswa sudah saatnya membangun keterampilaan literasi epsitemik.

Sering didengungkan bahwa kita lebih berbudaya dengar-ucap (orality) daripada baca-tulis (literacy). Dengan kata lain, pendidikan bahasa atau language arts mesti berorientasi pada pengembangan literasi dan meninggalkan dominasi oraliti. Pendidikan bahasa juga mesti berorientasi kepada kompetensi, yaitu unjuk keterampilan berbahasa bukan unjuk pengetahuan teoretis ihwal bahasa.

Selama ini kita cenderung mendelegasikan perkuliahan MKU BI kepada dosen muda yang masih mentah dan kurang berpengalaman, yang terampil berteori tapi pada galibnya sangat lemah berkreasi. Jika kita melihat rasio antara dosen MKU BI dengan mahasiswa, perkuliahan ini terkesan asal-asalan. Para pengajar MKU ini pada umumnya adalah dosen-dosen jurusan BI yang telah 'kehabisan tenaga' mengajar di dapurnya masing-masing. Mereka lalu dibebani mengajar kelas MKU dengan mahasiswa terkadang 100 orang. Sungguh di luar batas kesehatan pedagogis!

Jalan pintas menuju perbaikan ini adalah dengan memberdayakan dosen-dosen yang memiliki potensi untuk mengajar MKU ini. Banyak yang beranggapan bahwa hanya dosen sastra Indonesia yang mampu mengajar MKU ini. Sesungguhnya banyak dosen nonbahasa yang justru lebih produktif dan profesional dalam publikasinya.

Khusus dalam mengembangkan keterampilan menulis dalam bahasa asing, sering kali kita lupa bahwa keterampilan menulis ini sangat bergantung pada keterampilan menulis dalam BI. Bagaimana mungkin seseorang dapat berekspresi tulis dalam bahasa asing sementara ia masih sulit berkspresi dalam bahasa ibunda. Perlu diingatkan bahwa pendidikan bahasa pertama seyogianya meneratas jalan bagi pendidikan bahasa asing.

Kaum profesional dituntut untuk mengambil keputusan berdasarkan hasil penelitian, bukan hasil pengalaman subjektif pribadi atau ilham dan inspirasi. Hal yang sama berlaku untuk pendidikan menulis. Pada garis besarnya ada empat orientasi penelitian menulis, yaitu: (1) pembaca, yakni bagaimana persepsi pembaca ihwal sebuah teks, (2) penulis, yakni bagaimana persepsi penulis ihwal proses kreatifnya, (3) teks, yakni meneliti karakteristik teks yang dihasilkan siswa, dan (4) konteks, yakni konteks menulis, seperti konteks kelas, kampus, politik, dan konteks sosial budaya. Keempat orientasi ini sama pentingnya untuk memahami produk maupun proses menulis secara holistik.

Pendidikan menulis selama ini terlampau berorientasi pada produk dan mengabaikan proses. Akibatnya kita lebih fasih mendeskripsi produk tulisan dengan sejumlah fatwa seputar retorika "Mesti begini, jangan begitu" untuk dicermati calon penulis, sementara itu kita tidak dapat memberi solusi yang spesifik karena kita gelap-gulita ihwal proses kreatif menulis dan konteks makro pembelajarannya.

Yang disebut terakhir ini akan lebih dipahami lewat penelitian dengan pendekatan kualitatif, bukannya kuantitatif. Pendekatan kualitatif antara lain mengandalkan berbagai sumber data sebagai berikut: (1) kumpulan dokumen kelas, hasil observasi, hasil wawancara dengan siswa dan guru ihwal kegiatan menulis, (2) hasil interviu sebelum dan sesudah kegiatan menulis dengan siswa dan guru, (3) Think-aloud protocols dari guru saat menilai karangan siswa, (4) interviu retrospektif dengan responden ihwal tugas atau kegiatan menulis, (5) analisis terhadap segala bentuk feedback, draf karangan dari sejawat dan guru, (6) analisis draf tulisan siswa, hasil revisinya, beserta feedback yang diterima, dan (7) portofolio, yaitu bukti fisik apa yang dibaca dan ditulis siswa. Semuanya itu membantu kita memahami ihwal menulis secara luar-dalam, mendetil, dan komprehensif.

Lemahnya keterampilan menulis akademik dan rendahnya jumlah publikasi di kalangan PT Indonesia selama ini disebabkan berbagai faktor: kultural, sosial, dan kurikuler. Pada tingkat PT, kini saatnya dilakukan "turun mesin" MKU BI dengan berorientasi kepada perolehan kemampuan menulis akademik dan dengan memberdayakan dosen-dosen tertentu di semua fakultas untuk mengajar kedua mata kuliah itu.

Menulis bagi mahasiswa di PT tidak sekadar ekspresi personal atau untuk menyampaikan informasi. Sejalan dengan tuntutan akademisnya mahasiswa mesti mampu melakukan analisis, sintesis, evaluasi, dan interpretasi berbagai informasi yang diterimanya, lalu diungkapkan secara kreatif dan imajinatif dengan ungkapan sendiri. Inilah wujud kompetensi literasi epistemik yang memang merupakan perkembangan dari literasi performatif, fungsional, dan informasional. Pokoknya, literasi madani sangat bergantung kepada kecanggihan literasi tingkat SD, SMP, SMA, dan PT.***

Penulis, Pembantu Rektor UPI Bandung

No comments: