Wednesday, July 18, 2007

Menemukan Sosok Masyarakat Madani Indonesia
Kompas, 17 Agustus 2003

SETELAH lima tahun pemerintahan Soeharto tumbang--yang berarti sudah lima tahun agenda reformasi dicanangkan--pemerintahan ternyata masih berjalan di tempat. Prahara dan krisis seakan enggan menjauh.

INDONESIA yang tak pernah bisa sepenuhnya bangkit dari hantaman krisis moneter di tahun 1997, terus-menerus harus berhadapan dengan krisis politik, keamanan, sosial, dan yang paling mutakhir ancaman terorisme global. Sejak berakhirnya era Orde Baru, Indonesia telah mengalami beberapa kali pergantian pemerintahan, namun situasi tak kunjung membaik. Rupanya, angin demokrasi yang menerpa Indonesia tak cukup kuat untuk membangun fondasi bagi terbentuknya sebuah good governance. Periode lima tahun yang merupakan kesempatan emas bagi bangsa ini untuk menata dirinya telah berlalu dengan sia-sia.

Demokrasi ternyata tak cukup hanya dibangun dengan terpilihnya pemimpin sipil lewat pemilihan umum yang jurdil-jujur dan adil-atau terjungkalnya sebuah pemerintahan otoriter. Demokrasi membutuhkan kepemimpinan politik yang mampu membangun fondasi bagi tegaknya supremasi hukum, terjaminnya hak-hak asasi warga negara, pers yang bebas, dan sistem politik yang memungkinkan checks and balances di antara lembaga-lembaga negara.

Di sisi lain, demokrasi juga baru bisa berjalan bila masyarakatnya ikut mendukung dan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi. Dalam kondisi Indonesia saat ini, kedua aspek itu belum muncul. Selain kepemimpinan politik bangsa ini sangat lemah, masyarakatnya juga baru belajar berdemokrasi, yang menganggap semua persoalan seakan-akan bisa diselesaikan lewat unjuk rasa dan membuat organisasi tandingan.

DENGAN kata lain, good governance hanya bisa tercipta melalui pemerintahan yang kuat dan terkonsolidasinya masyarakat madani (civil society) yang memosisikan dirinya sebagai penyeimbang negara. Alhasil, persoalan mendesak yang dihadapi bangsa ini adalah penataan kembali sistem kelembagaan politik, publik, dan sosial kemasyarakatan. Penataan ini harus dibarengi pula dengan pemahaman terhadap pandangan dunia (world-view) terhadap nilai-nilai religius, etika, dan moral dalam diri setiap warga negara.

Terkonsolidasinya lembaga politik seperti partai politik, dengan sendirinya menjadi penting karena para anggota parpol inilah yang kelak akan menduduki kursi parlemen dan mengawasi jalannya pemerintahan. Namun, dalam perjalanannya di era reformasi, partai politik kita justru menunjukkan wajah yang infantil. Membiaknya parpol dalam jumlah besar, saat ini yang sudah mendeklarasikan partai ada sekitar 200-an; dangkalnya agenda partai yang hanya terpusat pada perebutan kursi kepresidenan; pada akhirnya memunculkan sosok partai yang lemah dan rentan. Kelemahan ini tidak saja mengimbas pada lembaga-lembaga publik yang diduduki mereka, tetapi juga dalam kultur dan perilaku politiknya.

Perpecahan internal yang melanda sejumlah partai politik sering dilatarbelakangi dominasi kepentingan para elitenya yang kemudian mengaburkan cita-cita awal partai yang menjadi tumpuan para konstituen pemilih. Ketika tokoh PDI Perjuangan Sophan Sophiaan mengundurkan diri dari keanggotaan MPR pada 1 Februari 2002 karena "kelelahan jiwa", dan tokoh lainnya, Dimyati Hartono, mengundurkan diri sebagai kader PDI-P; ini hanyalah "puncak gunung es" dari sejumlah persoalan yang menggerogoti partai berlambang banteng ini.

PDI-P dirasakan semakin kehilangan citra sebagai partai yang berpihak pada mereka yang tertindas. Ketergantungan terhadap figur pemimpin menjadikan otoritas partai berpusat pada tangan seorang atau segelintir elite partai. Dengan demikian, proses demokrasi yang telah berjalan secara alamiah di lapisan bawah harus tunduk pada kepentingan politik para elitenya. Intervensi Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI-P terhadap proses pemilihan gubernur, misalnya, menunjukkan bahwa praktik berpola "top-down" yang sering digugat di zaman Orde Baru nyatanya tetap langgeng. Yang berubah hanya para pemainnya.

Ketidakmampuan parpol dalam mengelola konflik dan perbedaan pendapat di dalam tubuhnya juga menunjukkan belum dewasanya lembaga ini. Ketika Matori Abdul Djalil yang menjadi Ketua Partai Kebangkitan Bangsa ikut "menurunkan" Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenan, kemarahan warga Nahdliyin terhadap Matori yang kemudian berujung pada dualisme kepemimpinan terus menjadi isu dominan sampai menjelang Pemilu 2004. Ini berarti energi yang seharusnya disalurkan untuk konsolidasi, pemberdayaan partai, dan implementasi seluruh agenda partai habis terkuras untuk mengurusi perseteruan kubu Matori versus kubu Alwi Shihab.

HAMPIR semua panelis setuju bahwa untuk menuju Indonesia yang demokratis, dibutuhkan masyarakat madani yang kuat sehingga negara tidak dibiarkan lagi menjadi penguasa wacana. Namun, para panelis juga melihat bahwa justru setelah rezim Soeharto tumbang, masyarakat madani mengalami proses unmaking karena buyarnya kekuatan kelas menengah yang menjadi motor gerakan ini. Rontoknya kekuatan kelas menengah sebagian dikarenakan kemerosotan ekonomi. Namun, sebagian lagi dikarenakan ketidakmampuan para pemimpin sipil untuk mengonsolidasikan kelompoknya dan membentuk kekuatan bersama sebagai pressure group (kelompok penekan) dalam memperjuangkan isu-isu demokrasi, penegakan hukum, perlindungan hak asai manusia (HAM), dan penciptaan good governance.

Yang terjadi adalah tokoh-tokoh sipil beramai-ramai terjun ke dunia politik dengan keyakinan bahwa mereka dapat memainkan peran menentukan untuk mereformasi pemerintahan. Namun, mereka kemudian hanyut dalam proses-proses politik yang manipulatif dan destruktif. Organisasi-organisasi kemasyarakatan yang pada awalnya berhasil melakukan political disengagement untuk menghindari diri dari kooptasi negara malah kemudian menjadi bagian dari negara itu sendiri dan terlibat dalam day to day politics.

Sementara lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun organisasi nonpemerintah (ornop) kehilangan kredibilitas dan akuntabilitasnya di mata publik karena pendekatan mereka yang terlalu ekstrem, merasa diri paling benar, tak mau berkompromi meskipun demi konteks kepentingan yang lebih luas, dan juga terus didera konflik internal berkepanjangan. Jelas, mereka sulit dijadikan contoh yang baik bagi masyarakat luas. Sebab, bagaimana mereka bisa menggugat kinerja pemerintah bila mereka sendiri tidak dapat menerapkan prinsip-prinsip demokrasi maupun menegakkan aturan di dalam dirinya?

Contoh yang ironis adalah krisis yang terjadi di tubuh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), yang seharusnya-atau sepatutnya-menjadi lokomotif proses demokratisasi di negara ini, mengingat para tokohnya adalah mereka yang terlibat secara intensif dalam pergulatan pencarian keadilan. Di tahun 1996 pergantian pengurus YLBHI menimbulkan perpecahan sehingga beberapa aktivisnya, Hendardi dan kawan-kawan, keluar dari YLBHI dan membentuk Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI).

Di tahun 2001, kemelut serupa juga terjadi dalam pergantian kepengurusan dari Bambang Widjojanto kepada caretaker yang digugat sejumlah LBH daerah, dan berujung pada mundurnya aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Munir, sebagai pekerja bantuan hukum LBH. Perseteruan serupa kini berulang kembali pada kepengurusan yang terbaru.

MUNGKIN tak berlebihan bila seorang panelis menggambarkan apa yang terjadi saat ini adalah keruntuhan keadaban publik (collapse of public civility), yang terjadi akibat adanya pendangkalan di masyarakat. Tanda-tandanya bisa terlihat dari banyaknya gejala ekstrem di sekitar kita. Sebagai contoh, tingkat korupsi di Indonesia sangat ekstrem sehingga negara kita dimasukkan dalam kategori "terkorup di dunia".

Tingkat kekerasan juga sangat ekstrem, dan ini antara lain ditunjukkan oleh rangkaian peledakan bom secara serentak di sejumlah kota di Indonesia pada malam Natal tahun 2000, dan klimaksnya adalah tragedi peledakan bom di Bali yang merenggut sekitar 200 jiwa. Emosi masyarakat kita juga sangat ekstrem, hal ini bisa dilihat sewaktu terjadi kerusuhan bulan Mei 1998, di mana warga malah "bergotong royong" membakar pusat pertokoan. Bandingkan misalnya dengan penduduk kota New York yang pekan ini dilanda pemadaman listrik total (blackout). Mereka dengan tenang bergotong royong untuk mengamankan kota dan menjalankan fungsi sosial yang terhenti. Gaya hidup masyarakat kita juga menjadi sangat ekstrem. Di tengah keterpurukan ekonomi, Indonesia tetap memiliki konsumen pembeli mobil mewah setingkat Ferrari dan Maserati.

Gejala-gejala ekstrem seperti ini hanya datang dari sebuah masyarakat yang mengalami pendangkalan intelektualitas sehingga buta dalam melihat kompleksitas permasalahan dan bebal dalam mengenali sisi kepentingan umum. Lantas, siapakah yang harus berperan untuk membangun sebuah masyarakat berwacana (informed people) yang memahami prinsip-prinsip demokrasi? Media massa menjadi salah satunya. Mengutip Ariel Heryanto dalam bukunya Challenging Authoritarianism in Southeast Asia (2003) disebutkan bahwa salah satu faktor yang mendorong tumbangnya Soeharto adalah kegagalan rezim ini untuk mengintimidasi dan mengooptasi media. Dengan kata lain, idealnya media memang menjadi salah satu kekuatan yang mendorong akselerasi demokratisasi.

Namun, pers Indonesia ternyata mengalami perubahan kualitas yang signifikan, yang oleh seorang panelis digambarkan sebagai sebuah perubahan gerakan dari civic journalism menjadi voyeuristic journalism (jurnalistik "intip") atau jurnalistik yang membisniskan instink voyeuristic manusia. Gejala ini bukan saja melanda pers cetak, tetapi juga media televisi. Misalnya saja, dalam soal-soal kepresidenan, yang ditampilkan bukanlah kualitas kepemimpinannya, melainkan tingkat selebritinya. dengan demikian, pertanyaannya apakah mungkin sosok media seperti ini menjadi polisi demokrasi?

Tantangan yang dihadapi pers saat ini juga berbeda dengan situasi di zaman Orde Baru. Dulu, yang harus dihadapi adalah represi pemerintah yang sistematis. Kini, pers harus berhadapan dengan aksi-aksi represif kelompok, seperti yang dialami majalah Tempo ketika massa yang terdiri dari ratusan orang menyerbu kantor redaksinya, Maret lalu. Tak adanya otoritas hukum (lawlessness) adalah ciri khas negara yang belum demokratis, di mana warga negara harus berupaya sendiri melindungi dirinya dari kemungkinan tindakan semena-mena pihak yang lebih kuat dan berpengaruh. Bila ini yang terjadi, semakin jauhlah cita-cita bangsa ini mentransformasikan dirinya menjadi bangsa yang demokratis dan beradab.

Namun, optimisme tetap tak boleh hilang. Betapapun carut-marutnya situasi di dalam negeri, inilah wajah Indonesia yang terus-menerus berproses menemukan jati dirinya: sebuah Indonesia yang tidak final, yang terus menjadi. Setidaknya bangsa ini telah memiliki pijakan yang jelas, yaitu tak ingin kembali ke periode gelap otoriterianisme. Diakui bahwa sosok masyarakat madani yang ada saat ini masih jauh dari yang dicita-citakan, namun wujudnya sudah lebih baik dibandingkan sebelumnya.

Disadari bahwa politisi sipil kita memang masih memble, tetapi ini bukanlah alasan untuk mengembalikan wewenang politik ke tangan militer.

Suatu ide sosial politik memerlukan prasarana sosial kultural untuk dapat terwujud. Di sinilah peran masyarakat madani harus diberdayakan. Indonesia beruntung memiliki organisasi seperti Muhamamdiyah dan Nahdlatul Ulama yang telah menjadi aktualisasi civil Islam (Islam kewargaan) terpenting dalam masyarakat dan bangsa Indonesia. Kedua organisasi ini telah memberikan kontribusi besar dalam menghasilkan better ordering of society (masyarakat yang lebih teratur) melalui berbagai usaha dan program dalam bidang pendidikan, keagamaan, pelayanan sosial, dan ekonomi. Jejak ini yang seharusnya terus ditumbuhkembangkan dan digalang kebersamaannya oleh ratusan ormas maupun LSM yang dimiliki negeri ini.

Proses reformasi memang lambat dan tertatih-tatih, tetapi kita menyadari bahwa bangsa ini telah berada di point of no return. Jika eksperimentasi sekarang ini kembali gagal, itu berarti penundaan untuk kesekian kalinya bagi pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Mengutip komentar Nurcholish Madjid, jika merujuk pengalaman di masa lalu, dibutuhkan tenggang waktu satu generasi untuk tibanya sebuah kesempatan baru bagi eksperimen demokrasi di negeri kita. (Myrna Ratna M)

No comments: