Wednesday, July 18, 2007

Reaktualisasi Masyarakat Madani Dalam Kehidupan

Reaktualisasi Masyarakat Madani Dalam Kehidupan
Oleh ANEN SUTIANTO, 17 September 2004

SALAH satu tujuan utama Alquran adalah menegakkan sebuah tatanan masyarakat yang mulia, adil, elegan, berwibawa, dan dapat bertahan di muka bumi. Demikian seperti yang diungkap oleh Nanih Machendrawaty dan Agus Ahmad Safei (2001).

Tatanan sosial masyarakat tersebut setidaknya dapat kita terjemahkan sebagai masyarakat madani. Sebuah tata masyarakat yang diyakini sebagai "anak kandung" dari peradaban Islam. Mengingat, karakteristik akhlak dan budi pekerti yang luhur, bersumber pada nilai dan ajaran agama terlihat begitu kentara di dalamnya.

Masyarakat madani sejatinya bukanlah konsep yang ekslusif dan dipandang sebagai dokumen usang. Ia merupakan konsep yang senantiasa hidup dan dapat berkembang dalam setiap ruang dan waktu. Mengingat landasan dan motivasi utama dalam masyarakat madani adalah Alquran.

Meski Alquran tidak menyebutkan secara langsung bentuk masyarakat yang ideal namun tetap memberikan arahan atau petunjuk mengenai prinsip-prinsip dasar dan pilar-pilar yang terkandung dalam sebuah masyarakat yang baik. Secara faktual, sebagai cerminan masyarakat yang ideal kita dapat meneladani perjuangan rasulullah mendirikan dan menumbuhkembangkan konsep masyarakat madani di Madinah.

Potret historis

Prinsip terciptanya masyarakat madani bermula sejak hijrahnya Nabi Muhammad Saw. beserta para pengikutnya dari Makah ke Yatsrib. Hal tersebut terlihat dari tujuan hijrah sebagai sebuah refleksi gerakan penyelamatan akidah dan sebuah sikap optimisme dalam mewujudkan cita-cita membentuk yang madaniyyah (beradab).

Selang dua tahun pascahijrah atau tepatnya 624 M, setelah Rasulullah mempelajari karakteristik dan struktur masyarakat di Madinah yang cukup plural, beliau kemudian melakukan beberapa perubahan sosial. Salah satu di antaranya adalah mengikat perjanjian solidaritas untuk membangun dan mempertahankan sistem sosial yang baru. Sebuah ikatan perjanjian antara berbagai suku, ras, dan etnis seperti Bani Qainuqa, Bani Auf, Bani al-Najjar dan lainnya yang beragam saat itu, juga termasuk Yahudi dan Nasrani.

Melalui Piagam Madinah tersebut, tampak Rasulullah hendak menegakkan sebuah konstitusi yang mampu dijadikan pijakan dasar bersama dalam konteks hidup bermasyarakat. Titik balik peradaban yang dilakukan Nabi Muhammad Saw pada gilirannya mengantarkan masyarakat Yatsrib menjadi masyarakat yang madaniyyah. Sebuah masyarakat yang erat kaitannya dengan nilai-nilai atau karakter yang adil, egaliter, partisipatif, humanis, toleran, dan demokratis.

Masyarakat tersebut juga patuh dan tunduk kepada kepatuhan (din) dan dinyatakan dalam supremasi hukum dan peraturan. Atau dalam pandangan senada, Robert N. Bellah berpendapat bahwa masyarakat Madinah saat itu sarat dengan nilai, moral, maju, beradab, dan sangat menghargai nilai-nilai kemanusiaan.

Tipologi masyarakat madani

Dalam pandangan saya, setidaknya ada tiga karakteristik dasar dalam masyarakat madani. Pertama, diakuinya semangat pluralisme. Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan sehingga mau tidak mau, pluralitas telah menjadi suatu kaidah yang abadi dalam pandangan Alquran. Pluralitas juga pada dasarnya merupakan ketentuan Allah SWT (sunnatullah), sebagaimana tertuang dalam Alquran surat Al-Hujurat (49) ayat 13.

Dengan kata lain, pluralitas merupakan sesuatu yang kodrati (given) dalam kehidupan. Dalam ajaran Islam, pluralisme merupakan karunia Allah yang bertujuan mencerdaskan umat melalui perbedaan konstruktif dan dinamis. Ia (pluralitas) juga merupakan sumber dan motivator terwujudnya vividitas kreativitas (penggambaran yang hidup) yang terancam keberadaannya jika tidak terdapat perbedaan (Muhammad Imarah:1999).

Satu hal yang menjadi catatan penting bagi kita adalah sebuah peradaban yang kosmopolit akan tercipta manakala umat Islam memiliki sikap inklusif dan mempunyai kemampuan (ability) menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar. Namun, dengan catatan identitas sejati atas parameter-parameter autentik agama tetap terjaga.

Kedua, adalah tingginya sikap toleransi (tasamuh). Baik terhadap saudara sesama Muslim maupun terhadap saudara non-Muslim. Secara sederhana toleransi dapat diartikan sebagai sikap suka mendengar dan menghargai pendapat dan pendirian orang lain.

Senada dengan hal itu, Quraish Shihab (2000) menyatakan bahwa tujuan Islam tidak semata-mata mempertahankan kelestariannya sebagai sebuah agama. Namun juga mengakui eksistensi agama lain dengan memberinya hak hidup, berdampingan seiring dan saling menghormati satu sama lain. Sebagaimana hal itu pernah dicontohkan Rasulullah Saw. di Madinah. Setidaknya landasan normatif dari sikap toleransi dapat kita tilik dalam firman Allah yang termaktub dalam surat Al-An'am ayat 108.

Ketiga, adalah tegaknya prinsip demokrasi atau dalam dunia Islam lebih dikenal dengan istilah musyawarah. Terlepas dari perdebatan mengenai perbedaan konsep demokrasi dengan musyawarah, saya memandang dalam arti membatasi hanya pada wilayah terminologi saja, tidak lebih. Mengingat di dalam Alquran juga terdapat nilai-nilai demokrasi (surat As-Syura:38, surat Al-Mujadilah:11).

Ketiga prinsip dasar setidaknya menjadi refleksi bagi kita yang menginginkan terwujudnya sebuah tatanan sosial masyarakat madani dalam konteks hari ini. Paling tidak hal tersebut menjadi modal dasar untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan. Semoga!***

Penulis mahasiswa jurusan Aqidah Filsafat IAIN SGD Bandung.

No comments: