Wednesday, July 18, 2007

MENUJU MASYARAKAT MADANI MELALUI Demokratisasi Pendidikan

MENUJU MASYARAKAT MADANI MELALUI
DEMOKRATISASI PENDIDIKAN
Oleh Husaini Usman

Abstrak: Hasil pemikiran ini mencoba menawarkan konsep-konsep baru tentang masyarakat madani ditinjau dari sudut: ontologi, aksiologi, dan epistemologi. Secara ontologis, masyarakat madani adalah masyarakat yang demokratis. Secara aksiologi, masyarakat madani bertujuan untuk meredam berbagai tuntutan reformasi baik dari dalam maupun luar negeri. Di samping itu, melalui masyarakat madani akan timbul inovasi-inovasi pendidikan. Secara epistemologis, masyarakat madani dicapai melalui tujuan jangka pendek dan jangka panjang melalui demokratisasi pendidikan. Dengan demokratisasi pendidikan akan terjadi proses kesetaraan antara pendidik dan peserta didik di dalam proses belajar mengajar. Inovasi pendidikan yang berkonteks demokratisasi pendidikan perlu memperhatikan masalah-masalah pragmatik sehingga peserta didik tidak terlepas dari akar budaya dan masyarakatnya.

Kata kunci: masyarakat madani, masyarakat yang demokratis, inovasi pendidikan, demokrasi pendidikan

*) Dr. Husaini Usman adalah Ketua Jurusan Teknik Sipil dan Dosen Jurusan


I. Pendahuluan

Ungkapan lisan dan tulisan tentang masyarakat madani semakin marak akhir-akhir ini seiring dengan bergulirnya proses reformasi di Indonesia. Proses ini ditandai dengan munculnya tuntutan kaum reformis untuk mengganti Orde Baru yang berusaha mempertahankan tatanan masyarakat yang status quo menjadi tatanan masyarakat yang madani. Untuk mewujudkan masyarakat madani tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Namun, memerlukan proses panjang dan waktu serta menuntut komitmen masing-masing warga bangsa ini untuk mereformasi diri secara total dan konsisten dalam suatu perjuangan yang gigih.

Berbagai upaya perlu dilakukan dalam mewujudkan masyarakat madani, baik yang berjangka pendek maupun yang berjangka panjang. Untuk yang berjangka pendek dilaksanakan dengan memilih dan menempatkan pemimpin-pemimpin yang dapat dipercaya (credible), dapat diterima (acceptable), dan dapat memimpin (capable). Untuk jangka panjang antara lain adalah dengan menyiapkan sumber daya manusia yang berwawasan dan berperilaku madani melalui perspektif pendidikan. Perspektif pendidikan penting untuk dikaji mengingat konsep masyarakat madani sebenarnya merupakan bagian dari tujuan pendidikan nasional. Jadi, pendidikan menjadi soko guru dalam mewujudkan masyarakat madani.

Pendidikan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta.

Artikel ini membatasi pembahasannya pada pencapaian tujuan jangka panjang masyarakat madani melalui demokratisasi pendidikan.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa, "pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang beriman dan bertakwa terhadap

Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan." Melihat kelengkapan tujuan pendidikan nasional tersebut seharusnya proses pendidikan dapat mencapai tujuan tersebut sepenuhnya. Namun, dalam praktiknya ternyata tujuan pendidikan nasional tersebut belum sepenuhnya tercapai. Hal itu mengakibatkan lulusan yang dihasilkan belum sepenuhnya mencerminkan perilaku-perilaku yang diharapkan oleh tujuan nasional tersebut sehingga timbullah gagasan untuk membentuk masyarakat madani termasuk di masyarakat kampus.

Sejak digulirkannya istilah masyarakat madani pada tahun 1995 oleh Datuk Anwar Ibrahim, yang kemudian diikuti oleh Nurcholis Madjid (Mahasin, 1995: ix), sejak itu pula upaya untuk mewujudkan masyarakat madani telah "menggoda" dan memotivasi para pakar pendidikan untuk menata dan mencari masukan guna mewujudkan masyarakat madani yang dimaksud. Namun, pihak-pihak yang skeptis meragukan keberhasilan bangsa Indonesia mewujudkan masyarakat madani. Dalam hal ini, Hefner (1998: 1) menyatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah impian (dream) suatu komunitas tertentu. Oleh karena itu, Hefner meragukan upaya bangsa Indonesia dalam mewujudkan masyarakat madani yang diharapkannya, karena formatnya pun belum jelas. Senada dengan pendapat Hefner tersebut, Mulder (1999) memberikan dugaan bahwa Indonesia masih akan jauh dari pembentukan masyarakat madani karena demokratisasi pendidikan belum berjalan lancar, sistem pendidikannya masih menerapkan faham kekuasaan, masih terlalu berbau feodal, dan belum memperhatikan aspirasi kemajemukan peserta didik secara memadai. Jika reformasi dan inovasi pendidikan memang mendesak untuk dilakukan dan agar kita memiliki andil dalam membentuk dan menghadapi masyarakat madani, maka permasalahannya antara lain adalah, "sampai sejauh mana pemahaman kita tentang makna masyarakat madani (ontologinya)?, nilai-nilai manfaat apa yang diperoleh dengan terbentuknya masyarakat madani (aksiologinya)?, dan bagaimana pemecahan masalahnya atau bagaimana cara melaksanakan demokratisasi pendidikan untuk mewujudkan masyarakat madani (epistemologinya)?, bagaimanakah arah reformasi dan inovasi pendidikan harus dilakukan?, bagaimanakah agar demokratisasi pendidikan itu berjalan mulus tanpa hambatan dan penyimpangan?, bagaimana kekuasaan dan kepentingan pribadi atau golongan tidak menggoda untuk menunda demokratisasi pendidikan?. Mengingat banyaknya masalah yang dihadapi dalam mewujudkan masyarakat madani, maka pada kesempatan ini pembahasan dibatasi pada apakah makna masyarakat madani itu, apakah manfaat mewujudkan masyarakat madani itu?, dan bagaimana cara mewujudkan masyarakat madani melalui pendidikan demokratisasi pendidikan?

Artikel ini mencoba mengungkapkan pemikiran yang menawarkan konsep-konsep baru masyarakat madani yang mungkin dapat dijadikan masukan dalam mewujudkan masyarakat madani melalui perspektif pendidikan. Tentu saja pemikiran konseptual ini akan dapat dioperasionalisasikan di lapangan secara kontekstual setelah melalui pengujian empiris yang profesional.

2. Pembahasan

Seligman seperti yang dikutip Mun’im (1994: 6) mendefinisikan istilah civil society sebagai seperangkat gagasan etis yang mengejawantah dalam berbagai tatanan sosial, dan yang paling penting dari gagasan ini adalah usahanya untuk menyelaraskan berbagai konflik kepentingan antarindividu, masyarakat, dan negara. Sedangkan civil society menurut Havel seperti yang dikutip Hikam (1994: 6) ialah rakyat sebagai warga negara yang mampu belajar tentang aturan-aturan main melalui dialog demokratis dan penciptaan bersama batang tubuh politik partisipatoris yang murni. Gerakan penguatan civil society merupakan gerakan untuk merekonstruksi ikatan solidaritas dalam masyarakat yang telah hancur akibat kekuasaan yang monolitik. Secara normatif-politis, inti strategi ini adalah usaha untuk memulihkan kembali pemahaman asasi bahwa rakyat sebagai warga negara memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban kepada para penguasa atas segala yang mereka lakukan atas nama pemerintah.

Gellner (1995:2) menyatakan bahwa masyarakat madani akan terwujud manakala terjadi tatanan masyarakat yang harmonis, yang bebas dari eksploitasi dan penindasan. Pendek kata, masyarakat madani ialah kondisi suatu komunitas yang jauh dari monopoli kebenaran dan kekuasaan. Kebenaran dan kekuasaan adalah milik bersama. Setiap anggota masyarakat madani tidak bisa ditekan, ditakut-takuti, dicecal, diganggu kebebasannya, semakin dijauhkan dari demokrasi, dan sejenisnya. Oleh karena itu, perjuangan menuju masyarakat madani pada hakikatnya merupakan proses panjang dan produk sejarah yang abadi dan perjuangan melawan kezaliman dan dominasi para penguasa menjadi ciri utama masyarakat madani.

Perjuangan masyarakat madani di Indonesia pada awal pergerakan kebangsaan dipelopori oleh Syarikat Islam (1912) dan dilanjutkan oleh Soeltan Syahrir pada awal kemerdekaan (Norlholt, 1999: 15-16). Jiwa demokrasi Soeltan Syahrir ternyata harus menghadapi kekuatan represif baik dari rezim Orde Lama di bawah pimpinan Soekarno maupun rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto, tuntutan perjuangan transformasi menuju masyarakat madani pada era reformasi ini tampaknya sudah tak terbendungkan lagi dengan tokoh utamanya adalah Amien Rais dari Yogyakarta.

Gellner seperti yang dikutip Mahasin (1995: ix) menyatakan bahwa masyarakat madani sebagai terjemahan bahasa Inggris, civil society. Kata civil society sebenarnya berasal dari bahasa Latin yaitu civitas dei yang artinya kota Illahi dan society yang berarti masyarakat. Dari kata civil akhirnya membentuk kata civilization yang berarti peradaban. Oleh sebab itu, kata civil society dapat diartikan sebagai komunitas masyarakat kota yakni masyarakat yang telah berperadaban maju. Konsepsi seperti ini menurut Madjid seperti yang dikutip Mahasin (1995: x) pada awalnya lebih merujuk pada dunia Islam yang ditunjukan oleh masyarakat kota Arab. Sebaliknya, lawan dari kata atau istilah masyarakat nonmadani adalah kaum pengembara, badawah, yang masih membawa citranya yang kasar, berwawasan pengetahuan yang sempit, masyarakat puritan, tradisional penuh mitos dan takhayul, banyak memainkan kekuasaan dan kekuatan, sering dan suka menindas, dan sifat-sifat negatif lainnya. Keadaan masyarakat nonmadani ini menurut Suwardi (1999:67) seperti yang ditunjukan oleh perilaku manusia Orde Baru yakni pada saat itu ada mitos bahwa hanya Soeharto saja yang mampu memimpin bangsa dengan menggunakan kekuatan ABRI untuk mempertahankan staus quo. Lebih lanjut ditambahkan oleh Suwardi (1999:67) bahwa ada satu hal yang perlu dipahami yaitu masyarakat madani bukanlah masyarakat yang bebas dari senjata atau ABRI (sekarang TNI); civil society tidak berkebalikan dengan masyarakat pimpinan TNI seperti yang banyak diasumsikan orang awam.

Rahardjo (1997: 17-24) menyatakan bahwa masyarakat madani merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, civil society. Istilah civil society sudah ada sejak Sebelum Masehi. Orang yang pertama kali mencetuskan istilah civil society ialah Cicero (106-43 SM), sebagai orator Yunani Kuno. Civil society menurut Cicero ialah suatu komunitas politik yang beradab seperti yang dicontohkan oleh masyarakat kota yang memiliki kode hukum sendiri. Dengan konsep civility (kewargaan) dan urbanity (budaya kota), maka kota difahami bukan hanya sekedar konsentrasi penduduk, melainkan juga sebagai pusat peradaban dan kebudayaan

Istilah madani menurut Munawir (1997: 1320) sebenarnya berasal dari bahasa Arab, madaniy. Kata madaniy berakar dari kata kerja madana yang berarti mendiami, tinggal, atau membangun. Kemudian berubah istilah menjadi madaniy yang artinya beradab, orang kota, orang sipil, dan yang bersifat sipil atau perdata. Dengan demikian, istilah madaniy dalam bahasa Arabnya mempunyai banyak arti. Konsep masyarakat madani menurut Madjid (1997: 294) kerapkali dipandang telah berjasa dalam menghadapi rancangan kekuasaan otoriter dan menentang pemerintahan yang sewenang-wenang di Amerika Latin, Eropa Selatan, dan Eropa Timur.

Hall (1998: 1) menyatakan bahwa masyarakat madani identik dengan civil society, artinya suatu gagasan, angan-angan, bayangan, cita-cita suatu komunitas yang dapat terejawantahkan ke dalam kehidupan sosial. Dalam masyarakat madani, pelaku sosial akan berpegang teguh pada peradaban dan kemanusiaan. Hefner (1998: 16-20) menyatakan bahwa masyarakat madani merupakan masyarakat modern yang bercirikan kebebasan dan demokratisasi dalam berinteraksi di masyarakat yang semakin plural dan heterogen. Dalam keadaan seperti ini, masyarakat diharapkan mampu mengorganisasikan dirinya dan tumbuh kesadaran diri dalam mewujudkan peradaban. Mereka akhirnya mampu mengatasi dan berpartisipasi dalam kondisi global, kompleks, penuh persaingan dan perbedaan.

Masyarakat madani menurut Rahardjo seperti yang dikutip Nurhadi (1999: 9) ialah masyarakat yang beradab. Istilah masyarakat madani selain mengacu pada konsep civil society juga berdasarkan pada konsep negara-kota Madinah yang dibangun Nabi Muhammad SAW pada tahun 622M. Masyarakat madani juga mengacu pada konsep tamadhun (masyarakat yang berperadaban) yang diperkenalkan oleh Ibn Khaldun dan konsep Al Madinah al fadhilah (Madinah sebagai Negara Utama) yang diungkapkan oleh filsuf Al Farabi pada abad pertengahan.

Dalam memasuki milenium III, tuntutan masyarakat madani di dalam negeri oleh kaum reformis yang anti status quo menjadi semakin besar. Masyarakat madani yang mereka harapkan adalah masyarakat yang lebih terbuka, pluralistik, dan desentralistik dengan partisipasi politik yang lebih besar (Nordholt, 1999: 16), jujur, adil, mandiri, harmonis, memihak yang lemah, menjamin kebebasan beragama, berbicara, berserikat dan berekspresi, menjamin hak kepemilikan dan menghormati hak-hak asasi manusia (Farkan, 1999: 4).

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat madani pada prinsipnya memiliki makna ganda yaitu: demokrasi, transparansi, toleransi, potensi, aspirasi, motivasi, partisipasi, konsistensi, komparasi, koordinasi, simplifikasi, sinkronisasi, integrasi, emansipasi, dan hak asasi, namun yang paling dominan adalah masyarakat yang demokratis. Perbedaan yang tampak jelas adalah civil society tidak mengaitkan prinsip tatanannya pada agama tertentu, sedangkan masyarakat madani (al-madaniy) jelas mengacu pada agama Islam. Konsep masyarakat madani menurut Islam adalah bangunan politik yang: demokratis, partisipatoris, menghormati dan menghargai publik seperti: kebebasan hak asasi, partisipasi, keadilan sosial, menjunjung tinggi etika dan moralitas, dan lain sebagainya. Dengan mengetahui makna madani, maka istilah masyarakat madani secara mudah dapat difahami sebagai masyarakat yang beradab, masyarakat sipil, dan masyarakat yang tinggal di suatu kota atau berfaham masyarakat kota yang pluralistik.

Manfaat yang diperoleh dengan terwujudnya masyarakat madani ialah terciptanya masyarakat Indonesia yang demokratis sebagai salah satu tuntutan reformasi di dalam negeri dan tekanan-tekanan politik dan ekonomi dari luar negeri. Di samping itu, menurut Suwardi (1999: 66) melalui masyarakat madani akan mendorong munculnya inovasi-inovasi baru di bidang pendidikan. Selanjutnya, ditambahkan oleh Daliman (1999: 78-79) bahwa dengan terwujudnya masyarakat madani, maka persoalan-persoalan besar bangsa Indonesia seperti: konflik-konflik suku, agama, ras, etnik, golongan, kesenjangan sosial, kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan pembagian "kue bangsa" antara pusat dan daerah, saling curiga serta ketidakharmonisan pergaulan antarwarga dan lain-lain yang selama Orde Baru lebih banyak ditutup-tutupi, direkayasa dan dicarikan kambing hitamnya; diharapkan dapat diselesaikan secara arif, terbuka, tuntas, dan melegakan semua pihak, suatu prakondisi untuk dapat mewujudkan kesejahteraan lahir batin bagi seluruh rakyat. Dengan demikian, kekhawatiran akan terjadinya disintegrasi bangsa dapat dicegah.

Guna mewujudkan masyarakat madani dibutuhkan motivasi yang tinggi dan partisipasi nyata dari individu sebagai anggota masyarakat. Hal ini mendukung pendapat Suryadi (1999: 23) dan Daliman (1999: 78) yang intinya menyatakan bahwa untuk mewujudkan masyarakat madani diperlukan proses dan waktu serta dituntut komitmen masing-masing warganya untuk mereformasi diri secara total dan selalu konsisten dan penuh kearifan dalam menyikapi konflik yang tak terelakan. Tuntutan terhadap aspek ini sama pentingnya dengan kebutuhan akan toleransi sebagai instrumen dasar lahirnya sebuah konsensus atau kompromi.

Ciri utama masyarakat madani adalah demokrasi. Demokrasi memiliki konsekuensi luas di antaranya menuntut kemampuan partisipasi masyarakat dalam sistem politik dengan organisasi-organisasi politik yang independen sehingga memungkinkan kontrol aktif dan efektif dari masyarakat terhadap pemerintah dan pembangunan, dan sekaligus masyarakat sebagai pelaku ekonomi pasar. Bila masyarakat Indonesia tidak demokratis, maka Indonesia akan mendapat tekanan-tekanan politik dari kaum reformis di dalam negeri. Di lain pihak, dari luar negeri, Indonesia akan mendapat tekanan-tekanan politik dan ekonomi dari PBB, Bank Dunia, IMF, dan negara-negara penganut faham demokratis. Sementara ini, ekonomi kita masih sangat bergantung pada pinjaman Bank Dunia dan IMF. Jika Bank Dunia dan IMF tidak memberikan bantuannya, maka ekonomi kita akan semakin terpuruk di mata internasional. Jika ekonomi kita semakin terpuruk, maka kerusuhan sosial akan semakin meningkat yang pada gilirannya membahayakan stabilitas nasional dan dikhawatirkan akan terjadi disintegrasi bangsa. Di samping itu, mengingat kondisi masyarakat Indonesia yang khas sebagai unity dan diversity, maka karakteristik masyarakat madani cocok diterapkan di Indonesia sehingga persatuan dan kesatuan, toleransi umat beragama, persaudaraan, saling mengasihi sesama umat, dan persamaan hak akan menjadi lebih terjamin. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa ciri utama masyarakat madani Indonesia adalah demokrasi yang menjunjung tingi nilai-nilai kemanusiaan, masyarakat yang mempunyai faham keagamaan yang berbeda-beda, penuh toleransi, menegakkan hukum dan peraturan yang berlaku secara konsisten dan berbudaya (Hartono, 1999: 55).

3. Pemecahan Masalah

Salah satu cara untuk mewujudkan masyarakat madani adalah dengan melakukan demokratisasi pendidikan. Demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan). Jadi, demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dengan kekuasaan di tangan rakyat. Dalam perkembangannya, demokrasi bermakna semakin spesifik lagi yaitu fungsi-fungsi kekuasaan politik merupakan sarana dan prasarana untuk memenuhi kepentingan rakyat. Konsep demokrasi memberi keyakinan bahwa unsur-unsur rakyat senantiasa menjadi faktor utama yang dilibatkan dalam pemerintahan. Oleh karena itu, demokrasi mendapat sambutan yang luar biasa di dalam hati sanubari rakyat karena demokrasi lebih berpihak kepada rakyat. Dengan demokrasi, rakyat boleh berharap bahwa masa depannya ditentukan oleh dan untuk rakyat, sedangkan demokratisasi ialah proses menuju demokrasi. Tujuan demokratisasi pendidikan ialah menghasilkan lulusan yang merdeka, berpikir kritis dan sangat toleran dengan pandangan dan praktik-praktik demokrasi (Suryadi, 1999: 23).

Generasi penerus sebagai anggota masyarakat harus benar-benar disiapkan untuk membangun masyarakat madani yang dicita-citakan. Masyarakat dan generasi muda yang mampu membangun masyarakat madani dapat dipersiapkan melalui pendidikan (Hartono, 1999: 55). Senada dengan pendapat Hartono tersebut, Marzuki (1999: 50) menyatakan bahwa salah satu cara untuk mewujudkan masyarakat madani adalah melalui jalur pendidikan, baik di sekolah maupun di luar sekolah.

Generasi penerus merupakan anggota masyarakat madani di masa mendatang. Oleh karena itu, mereka perlu dibekali cara-cara berdemokrasi melalui demokratisasi pendidikan. Dengan demikian, demokratisasi pendidikan berguna untuk menyiapkan peserta didik agar terbiasa bebas berbicara dan mengeluarkan pendapat secara bertanggung jawab, turut bertanggung jawab (melu angrungkebi), terbiasa mendengar dengan baik dan menghargai pendapat orang lain, menumbuhkan keberanian moral yang tinggi, terbiasa bergaul dengan rakyat, ikut merasa memiliki (melu handarbeni), sama-sama merasakan suka dan duka dengan masyarakatnya (padhasarasa), dan mempelajari kehidupan masyarakat. Kelak jika generasi penerus ini menjadi pemimpin bangsa, maka demokratisasi pendidikan yang telah dialaminya akan mengajarkan kepadanya bahwa seseorang penguasa tidak boleh terserabut dari budaya dan rakyatnya, pemimpin harus senantiasa mengadakan kontak dengan rakyatnya, mengenal dan peka terhadap tuntutan hati nurani rakyatnya, suka dan duka bersama, menghilangkan kesedihan dan penderitaan-penderitaan atas kerugian-kerugian yang dialami rakyatnya. Pernyataan ini mendukung pendapat Suwardi (1999: 66) yang menyatakan bahwa sistem pendidikan yang selalu mengandalkan kekuasaan pendidik, tanpa memperhatikan pluralisme subjek didik, sudah saatnya harus diinovasi agar tercipta masyarakat madani. Upaya ke arah ini dapat ditempuh melalui demokratisasi pendidikan.

Demokratisasi pendidikan tidak harus dimulai dari sistem pendidikan berskala nasional. Bahkan akan lebih efektif kalau dimulai dari sistem pendidikan berskala lokal berupa pendidikan di dalam kelas. Dalam proses PBM di kelas, demokrasi pendidikan dapat diarahkan pada pembaharuan kultur dan norma keberadaban, sebab menurut Zamroni (1997: 1) hal ini merupakan inti dari proses pendidikan.

Pelaksanaan demokratisasi pendidikan di kelas harus mampu membawa peserta didik untuk menghargai kemampuan teman dan guru, kemampuan sosial-ekonomi teman dan guru, kebudayaan teman dan guru, dan sejumlah kemajemukan lainnya (Vaizey, 1976: 115). Di samping itu, menurut Battle seperti yang dikutip Shannon (1978: 32) demokratisasi pendidikan dalam PBM juga dapat ditempuh dengan mengajarkan hal-hal yang berhubungan dengan dunia sekarang yang sangat dibutuhkan oleh peserta didik dan masyarakatnya (pragmatisme), tanpa harus melupakan hari kemarin.

Sebagai contoh jika peserta didik kebanyakan berlatar belakang masyarakat petani, maka orang tua atau keluarganya cenderung menuntut hasil nyata dari pendidikan anaknya agar mampu meningkatkan produktivitas hasil pertanian. Jika peserta didik kebanyakan berlatar belakang masyarakat nelayan, maka orang tua atau keluarganya cenderung menuntut hasil nyata dari pendidikan anaknya agar mampu meningkatkan produktivitas hasil perikanannya. Jika peserta didik kebanyakan berlatar belakang masyarakat bisnis, maka orang tua atau keluarganya cenderung menuntut hasil nyata dari pendidikan anaknya agar mampu meningkatkan produktivitas usaha bisnisnya, dan seterusnya.

Contoh-contoh tersebut di atas menggambarkan bahwa dalam melakukan inovasi pendidikan yang berkonteks demokratisasi pendidikan perlu diperhatikan masalah-masalah pragmatik yakni mulai dari pemilihan materi ajar, penentuan tujuan, pemilihan metode, pemilihan evaluasi hasil belajar, output lulusan, sampai kebutuhan yang diharapkan dunia kerja. Hal ini cukup beralasan karena pengajaran yang kurang menekankan pada konteks pragmatik pada gilirannya akan menyebabkan peserta didik akan terlepas dari akar budaya dan masyarakatnya. Hal ini juga dinyatakan oleh Barnadib (1997: 1) bahwa pendidikan memang sebagai upaya mengembangkan kemanusiaan dan pengalihan kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Itulah sebabnya pengajaran pragmatik yaitu pengajaran yang menekankan pada aspek fungsi akan menjadi salah satu alternatif pencapaian pengajaran yang berwawasan kemanusiaan dan peradaban. Oleh sebab itu, di dalam PBM yang pragmatik akan tercipta suasana kondusif bagi demokratisasi pendidikan.

Asumsi pendidikan pragmatik diturunkan dari pemeo klasik yang dikemukakan Rodrigues dan Badaczewski (1978: 278) yang menyatakan, "Kita boleh membawa kuda masuk ke sungai, namun kita tidak mampu menyuruh kuda itu meminum air." Maknanya adalah pengajar (kita) hanya bisa memberikan dorongan (tut wuri handayani) kepada peserta didik (kuda), namun biarkan peserta didik itu sendiri yang memanfaatkan informasi (air) itu. Biarlah peserta didik itu sendiri yang melakukan SITR (seleksi, interpretasi, tranformasi, dan revisi) terhadap semua informasi yang telah diterimanya. Seleksi berarti memilih informasi yang lengkap, objektif, dan relevan. Interpretasi berarti pemberian makna. Tranformasi berarti mampu mengemasnya kembali dengan bahasanya sendiri dan menawarkan gagasan-gagasan baru ke pihak lain. Revisi berarti terbuka untuk memperbaiki gagasan-gagasannya setelah mendapat masukan yang konstruktif dari pihak lain.

Dalam proses pengajaran pragmatik, pendidik tidak monopoli dalam memberi dan mencari informasi. Intervensi pendidik adalah sebagai fasilitator, dinamisator, mediator, dan motivator. Sebagai fasilitator, pendidik harus memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mencoba menemukan sendiri makna informasi yang diterimanya. Sebagai dinamisator, pendidik harus berusaha menciptakan iklim PMB yang dialogis dan berorientasi pada proses. Sebagai mediator, pendidik harus memberikan rambu-rambu atau arahan agar peserta didik bebas belajar. Sebagai motivator, pendidik harus selalu memberikan dorongan agar peserta didiknya bersemangat dalam menuntut ilmu.

Dalam pendidikan pragmatik yang bersifat profesional diakui bahwa kelemahan pendidikan semata-mata hanya untuk menyiapkan tenaga kerja yang sifatnya praktis. Kalau demikian halnya, pendidikan hanya akan menciptakan bangsa tukang dan bukan bangsa pemikir. Namun, pendidik tidak hanya menerapkan pendidikan pragmatik melainkan juga pendidikan yang bersifat akademik yang bertugas menciptakan pemikir-pemikir bangsa yang sifatnya teoritis. Di samping tidak hanya teoritis, melainkan harus ada tindakan nyata dari hasil pemikirannya. Oleh sebab itu, perlu ada keseimbangan antara keterampilan operasional dengan kemampuan konseptual sehingga tercipta sumber daya manusia Indonesia yang berwawasan global dan sekaligus bertindak lokal.

Freire (1984: 24) menyarankan upaya untuk mencapai demokratisasi pendidikan yang berwawasan adalah dengan menciptakan kebebasan interaksi antara pendidik dengan peserta didiknya dalam PBM di kelas. Oleh sebab itu, PBM harus terbuka dan penuh dialog yang sehat dan bertanggung jawab antara pendidik dengan peserta didik. Interaksi antara peserta didik dan pendidik dalam bentuk egaliter dan kesetaraan (equity). Dengan adanya kesetaraan ini, kebebasan berinisiatif, berbeda aspirasi dan pendapat, dan keadilan dalam pendidikan akan terakomodasi. Bahkan Wahid seperti yang dikutip Freire (1994: xv) telah meyakinkan kita bahwa pendidikan memang merupakan wahana terpenting untuk mencapai kemerdekaan (kebebasan). Dengan kebebasan ini menurut Russel (1998: 63) akan mewujudkan demokratisasi pendidikan.

Komunikasi dalam demokratisasi pendidikan harus terjadi ke segala arah dan bukan hanya bersifat satu arah yaitu dari pendidik ke peserta (top down) melainkan juga ada keseimbangannya yaitu dari peserta didik dengan pendidik dan antarpeserta didik sendiri (network). Dengan model komunikasi top down timbul kecenderungan pendidik akan merasa capek sementara peserta didik tidak mengerti, pasif, bosan, mengantuk, dan lebih parah lagi peserta didik tidak mendapatkan informasi baru. Pendidik merupakan satu-satunya sumber belajar dengan otoritas yang sangat tinggi dan menganggap otak peserta didik bagaikan tong kosong yang siap diisi penuh dengan berbagai informasi darinya. Sebaliknya, dengan model komunikasi network, sumber belajar bukan hanya terletak pada pendidik melainkan juga pada peserta didik. Guru cenderung tidak merasa capek, peserta didik mengerti dengan belajar dari pengalamannya sendiri, aktif, senang, dan kaya dengan informasi baru.

Namun, selama ini terkesan bahwa pendidikan menganut asas subject matter oriented yang membebani peserta didik dengan informasi-informasi kognitif dan motorik yang kadang-kadang kurang relevan dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan psikologis mereka. Pendidikan yang menyangkut ranah kognitif sudah dijalankan dengan perhatian yang besar. Pengelolaan pengajaran yang ada memberi kesan terlalu berorientasi pada ipteks termasuk juga keterampilan motorik terlalu berorientasi pada teknis (Moeldjanto, 1998: 63). Dengan asas ini dapat dihasilkan lulusan yang pandai, cerdas, dan terampil; tetapi kepandaian dan kecerdasan intelektual tersebut kurang diimbangi dengan kecerdasan emosional. Keadaan demikian terjadi karena kurangnya perhatian terhadap ranah afektif. Padahal ranah afektif sama penting peranannya dalam membentuk perilaku peserta didik. Sekarang, dalam mendukung pelaksanaan demokratisasi pendidikan, tibalah saatnya mengubah asas subject matter oriented ke student oriented. Orientasi pendidikan yang bersifat student oriented lebih menekankan pada pertumbuhan, perkembangan, dan kebutuhan peserta didik secara utuh baik lahir maupun batin. Dalam hal ini kecerdasan otak memang penting, tetapi kecerdasan emosional juga tidak kalah pentingnya.

Dalam suasana PBM yang demokratis terjadi egalitarian (kesetaraan atau sederajat dalam kebersamaan) antara pendidik dengan peserta didik. Pengajaran tidak harus top down namun diimbangi dengan bottom up sehingga tidak ada lagi pemaksaan kehendak pendidik tetapi akan terjadi tawar-menawar kedua belah pihak dalam menentukan tujuan, materi, media, PBM, dan evaluasi hasil belajarnya.

Hal serupa juga diakui Martadiatmadja (1986: 70-71) yang menyatakan bahwa jika pengajaran kurang pragmatik dan lebih menekankan pada pengajaran menghafal, maka hal ini jelas kurang bermanfaat. Teknik menghafal mendikte peserta didik untuk menggunakan sistem drill dan hanya akan menjejali materi dalam waktu singkat yang mungkin tidak sesuai dengan minat dan bakatnya. Bahkan menurut Suryadi dan Tilaar (1993: 196) akan menyuap peserta didik dengan berbagai informasi yang tinggal ditelan saja. Peserta didik tidak memiliki kesempatan untuk mencari dan mencerna sendiri informasi sesuai dengan bakat dan minatnya. Menurut Taroepratjeka (1996: 3) pendidikan yang berkonteks pragmatik sedapat mungkin harus mampu menghargai bakat, minat, dan tujuan peserta didik. Bila hal ini dilupakan, akibatnya peserta didik akan menjadi pembebek-pembebek dan bukan menjadi manusia yang lebih beradab dan berbudaya melalui proses pendidikan tersebut.

Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, dalam pandangan Acarya (1991: 147-148) menyatakan bahwa demokratisasi pendidikan merupakan pendidikan hati nurani yang lebih humanistis dan beradab sesuai dengan cita-cita masyarakat madani. Dengan komunikasi struktural dan kultural antara pendidik dan peserta didik, maka akan terjadi interaksi yang sehat, wajar, dan bertanggung jawab. Peserta didik boleh saja berpendapat, berperasaan, dan bertindak sesuai dengan langkahnya sendiri dan mungkin saja berbeda dengan pendidiknya asalkan ada argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Peserta didik bukan saja memahami demokrasi tetapi juga menjalani latihan seperti berdebat, menghargai pandangan dan harga diri orang lain, serta mematuhi aturan hukum yang diaplikasikan dalam setting diskusi. Peserta didik ditantang menguji validitas pikirannya dengan argumentasi-argumentasi yang rasional dan jika mungkin berdasarkan hasil penelitian yang seksama. Dalam iklim PBM yang demokratis, pendidik tidak harus merasa paling pandai di dalam kelasnya, tidak merasa paling benar di kelasnya, merasa telah menang belajar satu malam dibandingkan dengan peserta didiknya; tetapi akan terjadi saling tukar informasi dan pengalaman dengan peserta didiknya. Kondisi ini dimungkinkan akan terjadi dalam demokratisasi pendidikan.

4. Kesimpulan

Secara ontologis, masyarakat madani bermakna ganda yaitu suatu tatanan masyarakat yang menekankan pada nilai-nilai: demokrasi, transparansi, toleransi, potensi, aspirasi, motivasi, partisipasi, konsistensi, komparasi, koordinasi, simplifikasi, sinkronisasi, integrasi, emansipasi, dan hak asasi. Namun, yang paling dominan adalah masyarakat yang demokratis. Secara aksiologis, masyarakat madani perlu segera diwujudkan karena bermanfaat untuk meredam berbagai tuntutan reformasi dari dalam negeri maupun tekanan-tekanan politik dan ekonomi dari luar negeri. Di samping itu, melalui masyarakat madani akan muncul inovasi-inovasi pendidikan dan menghindari terjadinya disintegrasi bangsa. Secara epistemologis, untuk mewujudkan masyarakat madani dalam jangka panjang adalah dengan cara melakukan demokratisasi pendidikan. Demokratisasi pendidikan ialah pendidikan hati nurani yang lebih humanistis dan beradab sesuai dengan cita-cita masyarakat madani. Melalui demokratisasi pendidikan akan terjadi proses kesetaraan antara pendidik dan peserta didik di dalam proses belajar mengajarnya. Inovasi pendidikan yang berkonteks demokratisasi pendidikan perlu memperhatikan masalah-masalah pragmatik. Pengajaran yang kurang menekankan pada konteks pragmatik pada gilirannya akan menyebabkan peserta didik akan terlepas dari akar budaya dan masyarakatnya.

Pustaka Acuan

Acarya, A.A. 1991. Neo-Humanist Education. Jakarta: Persatuan Ananda Marga Indonesia.

Al-Abrasyi, M.A. 1987. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam (Terjemahan Gani, B.A. dan Bahry, D.) Jakarta: Bulan Bintang.

Barnadib, I. 1997. Pendidikan dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Berwawasan Kemanusiaan. Makalah Seminar Temu Alumni IKIP Yogyakarta, 14 Mei.

Daliman, A. 1999. Reorientasi Pendidikan Sejarah melalui Pendekatan Budaya Menuju Transformasi Masyarakat Madani dan Integrasi Bangsa, Cakrawala Pendidikan. Edisi Khusus Mei Th. XVIII No. 2.

Farkan, H. 1999. Piagam Medinah dan Idealisme Masyarakat Madani. Bernas, 29 Maret.

Gellner, E. 1995. Membangun Masyarakat Sipil: Prasyarat Menuju Kebebasan (Terjemahan Hasan, I) Bandung: Mizan.

Fiere, P. 1984. Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan. Jakarta: Gramedia.

Hall, J.A. 1998. Genealogies of Civility. Dalam Hefner (Editor). Democratic Civility: The History and Cross Cultural Possibility of a Modern Political Ideal. New York: Longman.

Hartono. 1999. Perubahan Orientasi Pendidikan Menuju Masyarakat Madani, Cakrawala Pendidikan. Edisi Khusus Mei Th. XVIII No. 2.

Hefner, R.W. 1998. Civil Society: Cultural Possibility of a Modern Ideal. Society, Vol.35, No, 3 March/April.

Hikam, M.A.S. 1994. Demokrasi adakan Wacana Civil Society. Republika. 10 Oktober.

Madjis, N. 1977. Dinamika Budaya Pesisir dan Pedalaman: Menumbuhkan Masyarakat Madani, dalam HMI dan KAHMI Menyongsong Perubahan Menghadapi Pergantian Zaman. Jakarta: Majelis Nasional KAHMI.

Mahasin, A. 1995. Masyarakat Madani dan Lawan-lawannya: Sebuah Mukadimah. Dalam Gneller. Membangun Masyarakat Sipil: Prasyarat menuju Kebebasan. Diterjemahkan: Hasan, I. Bandung: Mizan.

Martadiatmadja. 1986. Tantangan Dunia Pendidikan. Jakarta: Kanisius.

Marzuki. 1999. Membangun Masyarakat Madani melalui Pendidikan Islam Sebuah Refleksi Pendidikan Nasional, Cakrawala Pendidikan. Edisi Khusus Mei Th. XVIII No. 2.

Moeldjanto, G. 1998. Dimensi Moral dalam Pendidikan Menuju Pembentukan Manusia Seutuhnya, Widya Darma. No. 1 Tahun IX.

Munawir, A.W. 1997. Al-Munawir: Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif.

Mun’im, A.D.Z. 1994. Masyarakat Sipil sebagai Masyarakat Beradab, Republika 20 September.

Nurhadi, M.A., dkk. 1999. Filosofi, Kebijaksanaan, dan Strategi Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdikbud.

Nordholt, N.S. 1999. Civil Society di Era Kegelisahan. Basis. Np. 3-4. Maret.

Rahardjo, D. 1997. Relevansi Iptek Profetik dalam Pembangunan Masyarakat Madani, Academika, Vol. 01, Th. XV, halaman 17-24.

Rodrigues, R & Badaczewski, D. 1978. A Guidebook for Teaching Literature. Boston: Allyn and Bacon, Inc.

Russel, B. 1998. Pendidikan dan Tatanan Sosial. Terjemahan: Abadi, A.S. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Shannon. 1978. Gagasan Baru dalam Pendidikan. Jakarta: Mutiara.

Suryadi, K. 1999. Demokratisasi Pendidikan Demokrasi, Mimbar Pendidikan. Jurnal Pendidikan No. 1 Tahun XVIII.

Suryadi, A dan Tilaar, H.A.R. 1993. Analisis Kebijakan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Suwardi, 1999. Demokratisasi Pendidikan dalam Pengajaran Pragmatik Sastra Sebagai Wahana Penciptaan "Masyarakat Madani" Cakrawala Pendidikan, Edisi Khusus Mei. Th. XVIII, No. 2.

Taroepratjeka, H. 1996. Pengembangan Pendidikan Tinggi dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua. Makalah Seminar Temu Alumni IKIP Yogyakarta, 18 Mei.

Vaizey, J. 1967. Pendidikan di Dunia Modern. Jakarta: Gunung Agung.

Zamroni. 1997. Pembaharuan Pendidikan dan Penelitian Multidisiplin. Makalah Seminar Regional Pengembangan Budaya Penelitian Multidisiplin dan Antardisiplin. Yogyakarta: 19-20 Mei.

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SUMBERDAYA APARATUR NEGARA UNTUK MENDUKUNG MASYARAKAT MADANI

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SUMBERDAYA APARATUR NEGARA UNTUK MENDUKUNG MASYARAKAT MADANI
PROF DR Sofian Effendi
Badan Kepegawaian Negara

Bahan presentasi didepan Peserta Kursus Adum
Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN)
29 Agustus 1999

Daftar Isi
I.
Pendahuluan
II.
Perubahan Strategik dalam Proses menuju Pemerintahan yang Bersih,
Bebas KKN dan Bertanggungjawab
III.
Dasar-dasar Kebijakan Kepegawaian Negara
IV.
Usulan Penyempurnaan RUU No. 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian dan peraturan pelaksanaannya.
I. Pendahuluan
Tulisan ini secara ringkas menguraikan dasar-dasar kebijakan
kepegawaian negara yang akan menjadi landasan fikiran dalam
penyempurnaan UU Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian. Penyempurnaan Undang Undang tersebut diperlukan guna
mempersiapkan suatu kepegawaian negara yang mampu melaksanakan
Tap MPR-RI Nomor X/MPR/1998 dan Tap No. XI/MPR/1998. Karena
perubahan-perubahan strategik yang akan terjadi setelah Pemilu 1999,
UU Nomor 8 tahun 1974 dipandang tidak cukup memadai untuk
mendukung kebutuhan pembangunan nasional dan karena itu harus
disempurnakan dengan menggunakan pendekatan pengembangan
sumber daya manusia sebagai landasan fikir. Pendekatan Pengembangan
Sumber Daya Manusia (PSDM) memandang keseluruhan siklus
pengembangan kepegawaian -- perencanaan kepegawaian, pendidikan
dan pelatihan, pemanfaatan dan pembinaan kepegawaian dan penetapan
imbalan -- sebagai suatu proses yang integral yang tak terpisahkan.
Setelah Pemilu 1999, Indonesia diperkirakan akan mengalami
beberapa perubahan strategik yang membawa implikasi terhadap sistem
kepegawaiannya. Perubahan strategik tersebut adalah, perubahan dalam
sistem pemerintahan, hubungan antara pusat dan daerah serta dalam
penyelengaraan pelayanan publik.
Guna menghadapi perubahan-perubahan strategik tersebut, perlu
dikembangkan pemerintahan negara yang bersih, bebas KKN dan
bertanggunjawab. Untuk mendukung terciptanya pemerintahan seperti
itu diperlukan sistem kepegawaian negara baru yang dilandasi oleh
kebijakan PSDM yang lebih holistik dan terintegrasi. Pendekatan tata
usaha kepegawaian terlalu sempit yang mendasari UU Nomor 8 tahun
1974 perlu ditinjau kembali karena sudah tidak sesuai dengan tuntutan
dinamika dan perkembangan masyrakat dan pemerintahan
II. Perubahan strategik dalam proses menuju Good Governance,
Desentralisasi Kewenangan Pemerintahan dan Peran Serta
Masyarakat
Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok
Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi
Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara dan Nomor XI/MPR/1998
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi Kolusi
dan Korupsi.
Pemerintahan Yang Bersih, Bertanggungjawab dan Bebas KKN
(Good Governance) adalah bentuk dan cara pemerintahan yang paling
sesuai dan paling mampu menyelenggarakan sistem ekonomi yang
berwawasan kerakyatan, sistem multi partai yang memerlukan
pemerintahan koalisi, serta untuk mendorong ketaatan hukum serta
ketertiban umum yang menjadi ciri dari suatu masyarakat madani. Dalam
upaya untuk mengembangkan aparatur negara yang mampu melayani
masyarakat madani tesebut, pengembangan kepegawaian negara akan
menjadi bagian penting dalam penciptaan “good governance capability”.
Proses menuju Masyarakat Madani (civil society) akan ditandai
oleh beberapa perubahan strategik pada sistem politik, ekonomi,
pemerintahan dan sosial. Perubahan strategik tersebut memerlukan re-
adjustment pada kebijakan aparatur negara, khususnya pada UU Nomor
8 tahun 1974 yang mengatur tentang pokok-pokok kepegawaian.
Perubahan strategik yang akan terjadi sebagai hasil dari Pemilu 1999
antra lain adalah:
a. Sistem pemerintahan koalisi
Setelah Pemilu 1999 akan terjadi dua perubahan strategik yang
amat mendasar dalam lingkungan politik nasional kita; Pertama, sistem
multi-partai. Dalam Pemilu mendatang, 48 partai yang sudah terdaftar
secara resmi pada Komisi Pemilihan Umum dan diperkirakan 9-10 partai
yang akan memperoleh cukup dukungan untuk membentuk
pemerintahan koalisi. Dalam pemerintahan koalisi tersebut dipastikan
para anggota koalisi pasti akan menuntut porsi yang cukup dalam
Pemerintahan yang terbentuk.
Untuk menjaga agar prinsip keahliian tetap terjaga, perlu diadakan
adjustment dalam format kepegawaian negara dengan memisahkan
secara tegas antara pengangkatan politik (political appointments) pada
pelbagai jabatan negara di pemerintahan dengan jabatan profesional yang
harus netral dari kegiatan politik, serta jabatan lainnya. Sistem keahlian
(merit system) yang dianut dalam administrasi kepegawaian RI
mengharuskan para pemegang jabatan profesional pada ketiga cabang
pemerintahan (Jabatan Eselon I ke bawah serta jabatan fungsional yang
setara) harus bebas dari representasi partai politik. Karena itu PNS
dilarang untuk menjadi pengurus mau pun anggota partai politik.
Ketetapan netralitas tersebut
Salah satu ciri masyarakat madani adalah lingkungan politik yang
mengakui bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat. Karena itu setiap
pejabat negara pada cabang legislatif, eksekutif dan judikatif, baik di
Pusat mau pun di daerah, harus dapat mempertanggunjawabkan
pelaksanaan tugas mereka kepada rakyat. Dalam pelaksanaan asas
akuntabilitas tersebut, pembagian kewenangan yang jelas antara ketiga
cabang pemerintah perlu diadakan agar terjadi suatu check-and-balance
yang baik.
b. Desentralisasi Kewenangan Pemerintahan
Pada lingkungan pemerintahan perubahan yang paling mendasar
pada lingkungan adalah: (a) pergeseran fungsi pemerintahan dan
pembangunan dari pusat ke daerah, dan (b) tuntutan netralitas birokrasi
dari kegiatan politik. Salah satu perubahan mendasar yang terjadi
selama Pemerintah Reformasi yang baru berusia 9 bulan lebih 2 hari
adalah semakin kuatnya semangat keterbukaan dan kebebasan.
Terdorong oleh semangat tersebut, daerah akan menuntut adanya
kewenangan yang lebih besar dalam menyelenggarakan pemerintahan di
daerah. Sebagai respons terhadap tuntutan tersebut, dan dalam rangka
mendorong pemerataan pembangunan secara cepat antara pusat dan
daerah, dan antar daerah, Pemerintah Pusat akan memberikan otonomi
semakin luas kepada daerah.
Beberapa kebijaksanaan pemerintah yang baru, misalnya UU
Pemerintahan Daerah serta peraturan pelaksanaanya sudah menerapkan
asas desentralisasi sehingga dapat mempercepat upaya penciptakan
kemakmuran secara adil dan merata antara daerah dan pusat.
Desentralisasi tugas dan kewenangan tersebut membawa implikasi
langsung terhadap kebijaksanaan pembinaan dan pengembangan PNS
agar aparatur negara di pusat dan di daerah secara keseluruhan memiliki
kemampuan dan kapabilitas yang sama untuk melaksanakan tugas-tugas
yang semakin berat tersebut.
c. Potensi Masyarakat
Selama Pemerintahan Orde Baru peranan masyarakat kurang dapat
berkembang secara maksimal karena peranan pemerintah yang terlalu
dominan selama 30 tahun secara tidak sengaja telah menumpulkan
partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan berbagai pelayanan
publik yang pokok di bidang pendidikan, kesehatan, pelatihan, penelitian
dan pengembangan.
Biaya yang terlalu berat yang harus ditanggung oleh Pemerintah
dalam penyelenggaraan pelayanan publik tersebut sedikit demi sedikit
sudah harus dialihkan kepada masyarakat. Selain dapat memanfaatkan
potensi masyarakat yang semakin besar, penyertaan masyarakat dalam
pembiayaan penyediaan pelayanan publik diperkirakan akan mampu
meningkatkan kapasitas dari pelayanan tersebut, dan akan dapat
mengurangi tekanan yang besar pada anggaran pemerintah.
Sejalan dengan itu, berbagai unit swadana yang mampu
membiayai sendiri belanja pegawai tanpa harus membebani anggaran
pemerintah perlu diberikan keleluasaan untuk mengembangkan sistem
kepangkatan dan penggajian yang lebih longgar walaupun tetap dalam
kerangka kepegawaian negara.
Dalam rangka mempersiapkan diri untuk meningkatkan daya saing
perusahaan milik negara (BUMN dan BUMD) untuk menghadapi
persaingan global, terdapat kecenderungan yang amat kuat di kalangan
Pemerintah untuk melakukan privatisasi dan melaksanakan Konvensi
ILO tentang Kebebasan Pekerja untuk Berorganisasi. Kalau kebijakan
tersebut dilaksanakan, implikasi politiknya amat mendasar. Pemerintah
sebagai pemilik perusahaan tidak memiliki kekuatan hukum untuk
melarang partai politik untuk membuka organisasi pekekrja di
perusahaan milik negara tersebut. Bila ini terjadi dapat diperkirakan
betapa labilnya kondisi perusahaan milik negara di masa depan.
d. Ancaman Disintegrasi
Salah satu ciri penting dari masyarakat madani adalah kemampuan
untuk mempertahan integrasi nasional yang tinggi pada suatu lingkungan
sosial yang pluralistis. Berbagai konflik sosial yang terjadi di tanah air,
sejak peristiwa Sanggau Ledo, Singkawang, pada tahun 1997, kerusuhan
massal di Jakarta pada 14-20 Mei 1998, Peristiwa Banyuwangi,
Peristiwa Ketapang, Peristiwa Kupang, Peristiwa Ambon pada 20
Januari, 1999, dan yang terahir Peristiwa Idi Cut, di Aceh Timur,
menunjukkan bahwa integrasi nasional kita sekarang ini sedang
menghadapi goncangan-goncangan yang perlu ditangani secara arif dan
bijaksana. Bila tidak, Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan tidak
mungkin akan mengalami disintegrasi menuju suatu federasi negara-
negara kecil yang semakin lemah.
Menghadapi kecenderungan disintegerasi yang semakin kuat
tersebut, PNS sebagai unsur aparatur negara memiliki fungsi yang sangat
penting yaitu sebagai penyangga kesatuan dan persatuan bangsa dan
negara.
III. Dasar-dasar Kebijakan Pengembangan SDM Aparatur Negara
Pasca Pemilu 1999
Kebijakan kepegawaian negara atau kebijakan pengembangan
SDM aparatur negara yang diperlukan untuk menghadapi perubahan-
perubahan strategik tersebut pada dasarnya adalah pembangunan SDM
Aparatur Negara yang profesional, netral dari kegiatan politik,
berwawasan global, bermoral tinggi serta berkemampuan sebagai
penyangga persatuan dan kesatuan bangsa.
Mungkin diperlukan waktu 15-20 tahun untuk mentransformasi
aparatur negara Indonesia untuk menjadi aparatur negara baru yang
memiliki clean governance capacity seperti tersebut.
Untuk menghadapi perubahan-perubahan strategik tersebut dengan
efektif, kebijakan pembinaan kepegawaaian negara pada pemerintahan
pasca Pemilu 1999 harus mampu mencapai tujuan berikut:
1. Dapat memenuhi kebutuhan pemerintahan koalisi;
2. Dapat memenuhi tuntutan desentralisasi kewenangan
kepegawaian;
3. Berkemampuan mengakomodasi berkembangnya lembaga
swadana untuk menggali potensi masyarakat;
4. Mempertahankan asas keahlian (merit system) dan netralitas.
5. Mendorong fungsi PNS sebagai penyangga persatuan dan
kesatuan bangsa;
6. Mengembangkan persaingan dengan pegawai swasta.
Untuk mencapai tujuan tersebut, pengembangan kepegawaian
negara pada Pemerintahan Pasca Pemilu 1999 diarahkan untuk mengatur
aspek-aspek kepegawaian negara berikut:
a) Penataan struktur Kepegawaian Negara;
b) Profesionalitas dan netralitas Aparatur Negara;
c) Desentralisasi kewenangan kepegawaian dengan tetap
mempertahankan mobilitas PNS; dan
d) Meningkatkan Kesejahteraan PNS.
a. Penataan Struktur Kepegawaian Negara
Untuk mengakomodasi aspirasi pemerintahan koalisi, mendukung
pelaksanaan otonomi daerah dan untuk mendorong potensi masyarakat
dalam penyelenggaraan pelayananan publik, diperlukan pembaharuan
dalam struktur kepegawaian negara dengan menetapkan adanya tiga jenis
jabatan pada kepegawaian negara yakni: jabatan negara, jabatan negeri
dan jabatan pada lembaga swadana dan perusahaan milik negara.
Sesuai dengan perkembangan keadaan, UU Nomor 8 tahun 1984
hanya mengenal dua jenis jabatan yakni jabatan negara dan jabatan
negeri. Untuk menghadapi dinamika perkembangan politik dan
pemerintahan pasca Pemilu, perlu adanya perluasan jabatan negara serta
tambahan jabatan pada lembaga swadana dan perushaan milik negara
(lembaga pendidikan tinggi, lembaga pelayanan kesehatan, lembaga
litbang, lembaga diklat, badan otorita, serta badan usaha milik negara).
Pada jabatan negara perlu diperbesar formasi untuk pengangkatan
politik pada berbagai tingkat pemerintahan., misalnya pada kantor
pimpinan negara, kantor pimpinan kementerian, kantor pimpinan daerah.
Termasuk dalam kategori ini adalah jabatan-jabatan pada lembaga
tertinggi dan tinggi negara.
Sebagai contoh, pada Sekretariat Negara, misalnya, jabatan
Sekretaris Negara (Kepala Staf Presiden), Wakil Seskab dan para asisten
Presiden adalah jabatan politik yang personilnya akan berganti bila
terpilih Presiden baru. Tetapi, untuk menjaga agar profesionalitas
dukungan pada Presiden tetap tinggi, semua jabatan lainnya -- dibawah
koordinasi Waseneg -- adalah jabatan profesional yang pmenerapkan
asas merit. Prinsip yang sama juga digunakan pada semua kementerian,
jabatan menteri dan mungkin wakil menteri adalah jabatan politik,
sedangkan birokrasi kementerian, dari Eselon I ke bawah adalah jabatan
profesional. Di daerah pola jabatan ditetapkan dengan pola yang sama.
Untuk memberi keleluasaan yang semakin besar kepada lembaga
pendidikan, lembaga pelayanan kesehatan, lembaga litbang, lembaga
diklat dan perusahaan milik negara dalam pelaksanaan misi dan
fungsinya, pada struktur kepegawaian negara yang baru perlu
diperkenalkan jenis ketiga: jabatan pada lembaga khusus. Karena dibayar
dengan anggaran negara, secara umum dapat dikatakan bahwa mereka
yang menduduki jabatan tersebut adalah pegawai negara. Tetapi, untuk
memberikan keleluasaan untuk mengembangkan jenjang jabatan dan
skala penggajian yang lebih mampu memotivasi produktivitas yang
tinggi, dibuka kemungkinan bagi lembaga khusus tersebut untuk
mengembangkan peraturan kepegawaian khusus.
b. Netralitas dan Profesionalitas PNS
Untuk menjaga agar netralitas aparatur negara dalam suatu
kehidupan politik yang lebih dinamis, sistem kepegawaian harus mampu
mempertahankan prinsip netralitas dengan cara memisahkan secara tegas
antara jabatan negara dengan jabatan negeri dan jabatan pada lembaga
khusus yang dibentuk dengan peraturan perundangan. Jabatan negeri dan
jabatan pada lembaga khusus tersebut adalah jabatan karier untuk para
pegawai negara profesional.
Guna menghadapi tantangan globalisasi ekonomi secara sistematis
dan cepat dengan tingkat, Pemerintah harus merespons dengan cepat
melalui kebijakan-kebijakan ekonomi makro dan mikro yang tepat,
sehingga kita dapat segera keluar dari krisis ekonomi yang parah ini,
serta dapat segera menata dan mengembangkan suatu struktur ekonomi
yang lebih kuat guna menghadapi persaingan yang semakin ketat pada
tingkat regional dan global.
Untuk mempercepat dan menjamin pembangunan profesionalitas
pada aparatur negara, netralitas aparatur negara dari kegiatan poltik
harus dijaga. Dengan adanya netralitas tersebut, aparatur negara tidak
terlalu perlu mengalami goncangan yang berarti bila terjadi
pergantian.pemerintahan koalisi.
Bagi perusahaan milik negara, peraturan kepegawaian negara
juga berfungsi ganda sebagai pelindung hukum dari keharusan untuk
melaksanakan Konvensi ILO tentang Kebebasan Hak Bersyarikat.
Sebagai unsur pegawai negara, pegawai perusahaan milik negara,
harus tetap netral dari kegiatan politik. Dengan demikian netralitas
dalam mengembangkan misi perusahaan akan tercapai bila perusahaan
milik negara tetap berada dalam lingkungan pegawai negara tanpa
kehilangan daya kompetisi dengan swasta.
Untuk meningkatkan profesionalitas PNS, perlu diadakan
penataaan dalam sistem pengadaan, sistem pelatihan, sistem
pengembangan karier, serta penggajian dan penghargaan bagi PNS.
Perencanaan formasi PNS perlu lebih didasarkan pada kualifikasi
keahlian yang diperlukan oleh instansi pemerintah. Perencanaan
pelatihan perlu lebih dikaitkan dengan rencana penempatan sehingga
tercapai efisiensi serta efektivitas yang lebih tinggi.
c. Desentralisasi kewenangan kepegawaian dan mobilitas PNS
Salah satu unsur otonomi daerah yang ditetapkan oleh UU
Pemerintahan Daerah baru adalah kewenangan dalam pengadaan,
pembinaan, penggajian dan pemberhentian PNS. Sesuai dengan
ketentuan perundangan baru tersebut, kepada daerah perlu diberikan
kewenangan yang cukup memadai dalam bidang kepegawaian. Prinsip
umum dalam kebijaksanaan kepegawaian adalah sebagai berikut:
pengangkatan PNS tetap (Gol. II/b ke atas) ada pada Pemerintah Pusat
dan dilaksanakan oleh BKN. Pengangkatan tenaga pelaksana (Gol. I/a
s/d II/a) akan diserahkan kepada daerah.
Sejalan dengan itu, kewenangan pengangkatan pejabat struktural
dan fungsional akan ditetapkan sebagai berikut: Pejabat Eselon I dan II
serta jabatan fungsional yang setara akan berada pada Pusat, pejabat
Eselon III dan jabatan fungsional setara diserahkan kepada Propinsi, dan
pengangkatan pejabat Eselon IV dan V serta pejabat fungsional setara
diserahkan kepada Kabupaten dan Kota. Kewenangan pelatihan juga
akan didesentralisasikan sesuai dengan kewenangan pengangkatan
jabatan.
Penetapan kewenangan pengadaan, pelatihan, pembinaan dan
pemberhentian PNS tersebut dirumuskan dengan tetap berpegang pada
prinsip bahwa PNS harus menjadi penyangga kesatuan dan persatuan
bangsa. Untuk itu mobilitas PNS secara nasional dan regional harus tetap
dijaga. Kewenangan pengangkatan PNS gol II/b ke atas harus tetap
berada pada pemerintah pusat agar kualitas serta standar kepegawaian
negara tetap terpelihara dengan baik. Demikian juga pengangkatan pada
jabatan struktural dan fungsional setara Eselon I dan II berada ditangan
Pusat agar mobilitas PNS pada 2 jenjang jabatan tinggi tersebut terjadi
mobilitas secara nasional. Pada jenjang jabatan eselon II terdapat
mobilitas regional dan pada jenjang jabatan eselon IV dan V terjadi
mobilitas secara lokal. Dengan demikian diharapkan PNS akan dapat
berfungsi sebagai penyangga persatuan dan kesatuan bangsa.
d. Meningkatkan Kesejahteraan PNS
Isu terahir adalah isu klasik, karena sejak RI didirikan PNS belum
pernah menikmati kesejahteraan yang cukup memadai. Krisis ekonomi
yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berahir telah menyebabkan
nilai riil gaji PNS menjadi amat rendah. Nilai gaji PNS pada saat ini
hanyalah sepertiga dari nilai yang diterimanya pada bulan Oktober 1997.
Dengan nilai riil yang sudah amat merosot tersebut, gaji PNS hanya
dapat mendukung hidup keluarga PNS tidak lebih dari 10 hari. Untuk
menutupi kebutuhan hidup sebulan, para PNS ini harus melakukan
berbagai upaya supaya tetap survive.
Keadaan ini tentu tidak dapat dibiarkan begitu saja. Pemerintah
perlu merumuskan kebijaksanaan penggajian yang manusiawi dan adil
agar PNS dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dalam rangka
menciptakan pemerintahan yang bersih, bebas dari KKN dan
bertanggunjawab. Sejalan dengan upaya Pemerintah untuk meningkatkan
pendapatan dari pajak, perlu diupayakan peningkatan gaji PNS secara
bertahap sampai tercapai sistem penggajian dan penghargaan yang lebih
kompetitif dengan sektor swasta.
IV. Usulan Penyempurnaan Peraturan Perundangan tentang
Kepegawaian Negara
Sejalan dengan dasar-dasar kebijakan kepegawaian seperti yang
diuraikan, saat ini BAKN sedang mempersiapkan penyempurnaan
peraturan tentang kepegawaian negara berikut:
1. Penyempurnaan UU Nomor 8 tahun 1984 tentang Pokok-
Pokok Kepegawaian:
2. RPP tentang Perubahan Atas PP Nomor 7 tahun 1977 tentang
Peraturan Gaji PNS;
3. RPP tentang Perubahan Atas PP Nomor 6 tahun 1976 tentang
Pengadaan PNS;
4. RPP tentang Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil;
5. RPP tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nonor 30
tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil;
6. RPP tentang Perubahan PP Nomor 32 tahun 1979 tentang
Pemberhentian PNS;
7. RPP tentang Pengangkatan dalam pangkat Pegawai Negeri
Sipil;
8. RPP tentang Perubahan PP Nomor 20 tahun 1975 jo PP
Nomor 19 tahun 1991 tentang Wewenang Pengangkatan,
Pemindahan dan Pemberhentian PNS.
RPUU dan RPP-RPP tersebut sudah selesai disusun oleh BAKN dan
telah disampaikan kepada Bapak Menko Wasbangpan untuk diteruskan
kepada Bapak Presiden. Bersamaan dengan penyusunan RPP tersebut,
bersama Depkes, Depdikbud, serta Kantor Meneg Pendayagunaan
BUMN perlu disusun:
1. RPerpu tentang Lembaga Swadana;
2. RPP tentang Kepegawaian Lembaga Pendidikan;
3. RPP tentang Kepegawaian Lembaga Penelitian dan
Pengembangan;
4. RPP tentang Kepegawaian lembaga Pendidikan dan Pelatihan;
5. RPP tentang Kepegawaian Lembaga Pelayanan Kesehatan;
6. RPP tentang Kepegawaian Badan Usaha Milik Pemerintah.
Jakarta, 12 April 1999

STRATEGI MENUJU KOTA MADANI - Analisis Visi Misi Kota Ternate

STRATEGI MENUJU KOTA MADANI
ANALISIS VISI – MISI KOTA TERNATE
OLEH Drs. H.SYAMSIR ANDILI


Prinsip-Prinsip Dasar Masyarakat Madani

Untuk memahami dan menentukan sumber dan vasilidasi pandangan-pandangan social politik yang relevan dengan agenda reformasi sekarang ini tentu akan sangat berfaedah jika kita menyempatkan diri mendalami lebih jauh pengertian prinsipil tentang masyarakat madani . Bukanlah suatu kebetulan bahwa wujud nyata masyarakat madani mulai dikenal dari hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah 13 tahun setelah Nabi Muhammad membangun landasan tauhid sebagai fondasi dasar masyarakat (Komunitas Mekkah) menuju ke Yastrib dan mengubah nama menjadi kota Madinah yang diambil kota Madaniyah yang berarti peradaban .

Perubahan nama Yatsrib menjadi Madinah pada hakekatnya sebuah pernyataan niat atau proklamasi, yang berkehendak mendirikan dan membangun masyarakat yang beradab sebagai tantangan terhadap masyarakat jahilia dan di Mekkah.

Dalam sejarah perjalanan Islam membangun sebuah peradaban ditandai dengan dua dokumen penting yaitu :

* Perjanjian yang disebut Mitsaq Al-Madinah atau Piagam Madinah yang berisi 50 keputusan bersama sebagai sebuah dokumen politik pertama dalam sejarah ummat manusia yang meletakkan dasar-dasar pluralisme.
* Piagam Aelia ( Mitsaq Aeliya) yang dibuat oleh Khalifah Umar dengan Patriak Yerussalem, Sophronius setelah kota suci 3 agama itu dibebaskan oleh kaum muslim .

Piagam Madinah dan Piagam Aelia dalam terminology politik adalah wujud konkrit dari terbentuknya Civil Sociaty. Dalam konteks ini, membentuk masyarakat madani adalah suatu cikal bakal penyaluran demokratisasi.

Masyarakat madani yang dibangun Nabi Muhammad dan dicontohkan oleh Umar Bin Khattab ini adalah cermin dari membangun sebuah kota demokratis yang mengharga pluralitas dengan prinsp-prinsi dasar seperti keadilan, supremasi hukum, egalitarianisasi dan toleransi.

Maka tidak berlebihan, jika sosiologi terkemuka Robert N. Bellah mengakui masyarakat Madinah dimasa Nabi adalah suatu masyarakat yang sangat modern dizamannya. Sayangnya, tatanan masyarakat ini hanya dapat diteladani oleh para sahabatnya ( Al-Khulafa’ al Rasyidin ) karena setelah masa itu bangun dasar masyarakat madani hancur dengan diterapkanya system geneologis ( Dinasti ) .

Kini masyarakat madani adalah tidak sekedar Imagined Sociaty tetapi suatu kebutuhan social yang memerlukan Graes Roat terhadap nilai-nilai madani yang dapat teraktualisasi secara nyata dalam masyarakat kota .

Arah dan Prospek Menuju Masyarakat Madani

Masyarakat madani merupakan sebuah tatanan kehidupan masyarakat yang demokratis, pluralistis,transparan dan partisipatif dimana peran infra dan supra struktur berada dalam keseimbangan yang dinamis.

Berbagai perubahan –perubahan sosial-politik yang cukup signifikan terjadi oleh sementara orang dipandang sebagai pendorong proses demokratisasi dan perkembangan masyarakat madani namun, sebagian pendapat mengatakan prospek masyarakat madani dalam tahun-tahun mendatang kelihatannya belum serba pasti . Ada perkembangan tertentu yang menggembirakan kondusif , dan mendukung bagi pencipta masyarakat madani, tetapi pada saat yang sama ada juga perkembangan dan indikasi tertentu (social confliet) yang kurang menggembirakan yang pada gilirannya dapat menjadi Constraints bagi perkembangan masyarakat madani .

Bahkan sebagai pengamat melihat terjadi pergeseran nilai-nilai sosial politik dalam tatanan masyarakat sebagai siklus perubahan di mana kita tengah berada pada titik memulai kembali pembentukan masyarakat madani dengan menyatukan kembali perbedaan-perbedaan menjadi sebuah pengakuan atas pruralitas yang stabil dan dinamis, yang didalamnya masyarakat madani yang memiliki ruang untuk bernapas dengan komitmen kemanusiaan dan keadilan.

Akan tetapi harus diakui, membangun sebuah masyarakat yang berperadaban, maju dan bermartabat dalam ikatan persamaan dan persaudaraan sejati memerlukan kerangka dan pendekatan yang lebih bersifat evolusioner dari pada revolusioner . Pada saat yang sama kerangka dan pendekatan ini secara implisir menawarkan ongkos sosial minimal sebaliknya pendekatan revolusioner dalam masyarakat madani, tidak saja akan meminta biaya social mahal, tetapi bahkan dapat menghancurkan ketertiban dan keteraturan masyarakat yang merupakan esensi masyarakat madani itu sendiri. Dari pemahaman tersebut diatas, arah dan prospek menuju masyarakat madani sangat membutuhkan waktu.

Niat baik pemerintah kota membangun masyarakat madani tidak cukup dan sulit terealisir jika masyarakat tidak mempersiapkan diri dengan matang dan sabar. Adalah mustahil untuk menegakkan sebuah pluralistis yang berakar dari kesamaan dan persaudaraan sejati jika penghormatan pada martabat dan nilai kemanusiaan masih jauh di depan mata.

Intinya membangun sebuah masyarakat madani memerlukan komitmen bersama semua pihak .

Strategi Menuju Masyarakat madani

Berawal dari arti dan pemahaman kata "Madani" yang merupakan strategi yang ditawarkan untuk penulisan topik makalah ini, maka saya mencoba menelaah kehidupan kota dari pandangan seorang Arsitektur John Eber- hand yang melihat kota secara biologis mewujudkan suatu system utuh terdiri atas dua sub sistem, yaitu City’s Hardware dan City’s Software (jasmani kota dan rohani kota).

Kota dipandang sebagai jasad yang hidup dimana suatu jaringan organisme untuk kedua sub sistem (jasmani/rohani) memiliki ketergantungan yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Gejala metabolisme (pencernaan), kandiovaskuler (peredaran darah.) merumus (persyaratan) merumus (petualangan) merupakan sub sistem "jasmani kota" yang sehari-harinya memfungsikan jaringan yang menjamin pemenuhan kebutuhan secara fisik.

Maka kota yang sehat "hard ware"nya juga memerlukan keseimbangan "soft ware" atau rohani kota yang mencakup berbagai aspirasi kehidupan kota secara ekonomis, politik, administrasi, edukatif, social, kultual dan religius karena rohani kota dan jasmani kota bertalian sangat erat . Ciri-ciri positif yang dikejar kita semua dalam menyusun strategi sebuah kota mendambakan kota yang sehat jasmani dan rohani . Visi biologis dari John Eberhand ini dalam bukunya Technology for the City (New york, 1966) menjamin dimanakah keseimbangan kota secara multidimensional.

Pandangan terhadap kota sebagai organisme atau jasad hidup dengan proses keutuhan dan keseimbangan City’s hard ware dan City soft ware sebagaimana diungkapkan diatas, maka lebih diperkaya dan dipertajam dengan pengamatan dan kecenderungan penyusunan ruang kota guna menangkal kemungkinan hilangnya potensi prilaku (budaya) sebagai jati diri.

Kita sadar sudah terlalu lama bidang perencanaan kota didominasi dan dilihat dari aspek fisik dan keruanagn seperti untuk ukuran dan besar kota, jalan-jalan, kepadatan dan stuktur sosialnya sementara kebijakan yang diambil kurang berdaya untuk memecahkan masalah yang lebih mendasar yang menjadi "jiwa" dari kota itu berkembang.

Bila kita berpaling pada sejarah kota Ternate, maka mozaik kota hampir selalu merupakan pergelaran seni social yang terbentuk dari berbagai rencana ragam perorangan, masyarakat dan kelembagaan. Semua luluh jadi satu. Keterlibatan aktif segenap pihak termasuk penghuni kota akan membuahkan hasil penampilan kota unik, berpribadi dan mengesahkan sesuai visi dan misi kota ini. Penampilan yang saya maksudkan tidak sekedar dalam konotasi keindahan fisual belaka, melainkan menyentuh juga kesejahteraan ekonomi dan kegairahan budaya nya.

Dengan demikian, sesuai dengan Visi dan Misi saya Membangun Kota ini (Ternate ) ; strategi perkembangan Kota Ternate ke depan yang nantinya tertuang dalam tata ruang kota dengan berbagai hierarki yang terwujud dalam bentuk peta-peta alokasi spasial dari aneka kegiatan masyarakatnya pada akhirnya harus dilandasi dengan analisa social ekonomi dan budaya yang tajam dan terarah. Beberapa factor yang menjadi pertimbangan bagi kita semua dalam menterjemahkan "Visi dan Misi" kota ini ke depan sebagai strategi dasar menuju masyarakat maju dan bermartabat sebagai pemaknaan masyarakat yang madani.

Mengamati perkembangan global, karakter kota Ternate, kultur masyarakat dengan sejumlah permasalahan pokok dan actual maka dirumuskan "Visi dan Misi membangun Kota Ternate " sebagai berikut

* V I S I : Menjadikan Ternate sebagai kota budaya menuju masyarakat madani .
* M I S I : Membangun Ternate menuju Kota Budaya Kota Perdagangan dan Wisata dan Kota Pantai

Sebuah kota harus memiliki "jati diri" sehingga jati diri itulah dapat diketahui kearah mana kota itu dikembangkan. Kota Ternate adalah bagian dari sejarah masa lalu yang mengalami perjalanan panjang kolonialisme sejak abad XV dan kota inipun sejak abad VII dan VIII masehi telah tersentuh dengan peradaban dunia .

Membangun kota budaya , bukan sekedar merevitalisasikan adab dan tradisi masyarakat local, tetapi lebih dari itu adalah membangun masyarakat yang berbudaya agamis sesuai keyakinan indifidu, masyarakat berbudaya yang saling cinta dan kasih yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan .

Sedangkan "Masyarakat Madani" yang diidamkan bukan semata-mata milik suatu komunitas tertentu, tetapi itu merupakan pemaknaan dari sebuah pemahaman tentang "civil society". Terbangunnya "kota budaya" dengan nilai-nilai interensiknya akan merupakan jalan lapang menuju "masyarakat madani" yaitu masyarakat berperadaban yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, masyarakat yang demokratis dan masyarakat sejahtera yang cinta damai .

Strategi program pembangunan Ternate sebagai kota Budaya diarahkan upaya mengintegrasikan pembangunan fisik dan non fisik yang mengakarpada nilai dan keagamaan serta tradisi dan budaya masyarakat.

Strategi program –strategi program pembangunan kota perdagangan dan wisata diarahkanpada upaya untuk lebih meningkatkan produktifitas, sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi kota secara keseluruhan. Oleh karena itu dibutuhkan penyediaan lahan perkotaaan dan penyiapan infra struktur perdgangan dan pariwisata yang memadai

Strategi Program pembangunan kota pantai/kota pulau diarahkan pada upaya meningkatkan dan mengimbangkan kota Ternate dalam suatu sistem wilayah kepulauan melalui peningkatan infra struktur perkotaan, sumber daya alam, sumber daya manusia dalam kerangka pengembangan ekonomi rakyat .

Penutup

Demikianlah materi ceramah yang dapat saya sampaikan dalam forum ini semoga dapat menyatukan persepsi kita dalam upaya mewujudkan pembentukan menuju masyarakat Madani disertai beberapa strategi pembangunan visi Kota ternate ke depan untuk membangun Ternate sebagai Kota Budaya , Kota Perdagangan / Parawisata dan Kota Pulau/Pantai

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MADANI

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MADANI
Hidayat Nur Wahid, Rabu, 17 Agustus 2005


PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MADANI SEBAGAI PEMEGANG PERAN STRATEGIS DALAM PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN

Setengah abad sudah, umur perjuangan komunitas keluarga besar bangsa-bangsa se-Asia-Afrika, jika kita menghitungnya sejak pertama kali mereka berkumpul di Bandung dalam tajuk Konferensi Asia-Afrika I tahun 1955.

Kurun waktu yang panjang itu, telah banyak memberikan pelajaran berharga bagi negara-negara yang tergabung di dalamnya.

Paling tidak, berarti kita telah memiliki wadah untuk memperjuangkan implementasi prinsip universalitas dalam masyarakat madani, melalui kerja sama-kerja sama internasional, meski baru pada lingkup Asia-Afrika.

Asia-Afrika merupakan wilayah potensial tempat lahirnya masyarakat berkarakter madani, mengingat bahwa pemeluk Islam dunia sebagian besar berada di negara-negara di Asia-Afrika.

Selain itu, adanya persamaan semangat untuk bangkit dari kultur inferior sebagai dampak dari negeri yang pernah terjajah, memudahkan negara-negara di Asia-Arika untuk duduk satu meja.

Pembahasan masyarakat madani (civil society), secara singkat dapat diartikan sebagai, pertama, beragam institusi dari keluarga sampai kelompok perkumpulan yang diposisikan berlawanan dengan negara (Hefner 1998).

Ia juga bisa berarti suatu keberadaban (civility) atau kesalehan madani (civic virtues).

Dalam pengertian pertama, civil society bersifat deskriptif; sedang dalam pengertian kedua ia bersifat normatif, dalam artian fokus perhatian dititikberatkan pada norma yang menjadi fundamen masyarakat dan mengatur tata kehidupannya.

Yang jelas keberadaan civil society sering dihubungkan dengan demokrasi.

Karena itu konsep civil society mempunyai pertalian erat dengan konsep lain seperti kewarganegaraan, demokrasi, konstitusionalisme, kapital sosial, hingga pemilikan pribadi (Kumar 2000).

Anwar Ibrahim mendefinisikan masyarakat madani: �a flourishing of social intermediaries between the family and the state, a social order founded upon moral rules rather than individual fancy, a governance based on popular participation rather than elitist imposition, rule of law instead of human capriciousness, respect for individual freedom and the freedom of expression within the bounds of morality and decency.�

Anwar mengenalkan masyarakat madani sebagai suatu konsep institusi-institusi modern dan progresif, yang diposisikan sebagai yang-lain dari negara, dan berada dalam naungan kerangka etika Islam.

Tidak ada masa yang paling berharga bagi manusia secara individu ataupun secara kolektif termasuk suatu bangsa kecuali masa depannya. Masa lalu menjadi pijakan bagi manusia atau bangsa menapaki masa kininya demi merekayasa masa depannya yang lebih baik.

Dalam konteks masa depan Indonesia sebagai bangsa hendaknya ada beberapa upaya serius yang hendaknya dilakukan ke depan.

Pertama, mereorientasi paradigma yang selama ini dianut oleh kebanyakan pihak yang terkesan memarginalkan agama dari domain politik.

Alasan klasik yang umum yang terungkap bahwa politik itu kotor sementara agama adalah wilayah suci dan sacral sehingga bila agama dibawa dalam ranah politik maka hal itu idektik dengan menodai kesucian dan sakralitas agama.

Paradigma ini yang kemudian melegitimasi praktik-praktik politik orde-orde masa lalu yang terbukti menyeret gerbong raksasa Indonesia menuju krisis multidimensional yang tidak berkesudahan dewasa ini. Hal itu terjadi karena paradigma politik Orde Lama dan Orde Baru yang ada cenderung mempersepsikan politik sebagai entitas politik murni.

Negara dianggap sebagai legalitas dan kekuasaan. Politik bagi mereka adalah cara mencapai legalitas dan kekuasaan, partai politik adalah kendaraannya, kepentingan adalah misinya, dan jabatan adalah prestise dan kehormatan.

Oleh karenanya, kata kunci komunikasi politik dua orde tersebut adalah persaingan, pengendalian, rekayasa dan politik belah-bambu.

Kedua, mereorientasi politik pembangunan bangsa yang selama ini mengedepankan pertumbuhan. Kita tidak anti pertumbuhan yang merupakan hal natural dan menjadi hal yang inheren dalam setiap entitas yang hidup. Tapi persoalannya kemudian pertumbuhan tersebut cenderung memberi ruang tidak proporsional kepada mereka yang sudah relatif established untuk bermain dalam berbagai sektor, terutama sektor ekonomi.

Sementara kelompok yang unestablished tidak mendapat porsi yang fair yang memungkinkan mereka tumbuh dengan baik dan menjadi besar. Di sini pertumbuhan yang ditarget pemerintahan masa lalu dianggp gagal menobatkan pertumbuhan sebagai sebuah instrumen yang dapat mewujudkan pemerataan di tengah masyarakat. Yang terjadi justru disparitas sosial yang terus melebar.

Ketiga, menata ulang pemerintahan agar struktur yang ada lebih ramping, efisien dan efektif. Pemerintah hendaknya mendorong terus departemen-departemen yang produktif dan strategis untuk bekerja secara lebih baik. Di samping itu harus ada upaya untuk mengkaji ulang eksistensi departemen-departemen yang tidak produktif agar tidak hanya menjadi institusi yang menguras anggaran negara.

Keempat, menjadikan negara sebagai daulat al-hadharah (state of civilization) dan daulat al-Risalah (state of mission). Dalam konteks negara yang demikian maka pembangunan menjadi hal yang inherent dari dinamika internal negara tersebut. Negara berfungsi mengeksplorasi segala potensi bangsa dan tanah airnya untuk mencapai peradaban yang akan dibangun sehingga yang terpenting dari setiap individu warga negara yang ada adalah perannya dan bukan jabatan. Jabatan merupakan beban dan tanggung jawab, bukan penghormatan apalagi sarana untuk meraih kesenangan. Nilai bagi setiap orang adalah karyanya. Dan negara bukan lembaga kekuasaan tetapi lembaga pelayanan.

Bahan bagi terciptanya masyarakat madani memang sudah ada dalam ajaran-ajaran Islam, �It is altogether ironical that while Islam provides all the values and impetus for the successful establishment and sustenance for civil society, yet it is like a mirage among us.� Esposito (2003) mengamini pendapat Anwar Ibrahim ini dengan menunjukkan fakta sejarah banyaknya institusi-institusi yang menjadi perantara antara penguasa dan rakyat, antara negara dan khalayak. Bentuknya bisa berupa wakaf yang menyokong universitas, rumah sakit, dan kegiatan amal sosial.

Syariah juga menyediakan mekanisme keberadaan ulama dan madrasah yang tak berikatan dengan negara. Namun sering sumber daya ini diabaikan dan kadang sampai perlu dihancurkan, sehingga Anwar melihat bahwa, � our failure today is not only to establish civil society but more importantly also because we have not begun to address this fundamental issue.

Anwar meyakini bahwa �many if not all of the problems afflicting the people of these continents -- mass poverty, inhumane living conditions, economic backwardness -- have their origin in the absence of civil society. Symptomatic of such an absence is the denial of basic rights, corruption, squandering of the nation\'s wealth, moral decadence, abuse of power, the marginalization of women, injustice, just to name a few.�

Karenanya, �Perhaps the greatest challenge in our time for Muslim societies, and other societies in Asia and Africa, is the establishment of a civil society.� Kemungkinan mendirikan masyarakat madani lebih besar probabilitasnya di negara-negara tempat etika dan moralitas adalah bagian dari perikehidupan masyarakat itu sendiri, tempat masyarakat sudah terbiasa dengan kehidupan civil society yang menuntut pluralisme, multikulturalisme, toleransi tinggi dan sebagainya, �The diversity and constant interaction of people from different cultural, religious and ethnic backgrounds has fostered close interdependence. It is no exaggeration to say that this is a living convivencia - a situation quite reminiscent of the golden age of Muslim Spain, where Christians, Jews and Muslims lived in peaceful harmonious coexistence. If that golden age could give birth to great intellectual flowerings, it is therefore not impossible that our own present convivencia, if properly nurtured, through cross fertilization of ideas, will herald the coming of an Asian Renaissance. Indeed, as Muslims and as Southeast Asians, we cherish this heritage of cultural and religious diversity. This \"living together\" would not be possible without mutual tolerance, mutual respect, and being moderate and pragmatic in the conduct of our affairs�

Rumpun Melayu adalah mereka yang dianggap mampu melakukan program besar ini dibawah panji Asian Renaissance: �True, Southeast Asian Muslims are not without their share of problems. But what differentiates them from their brethren in other parts of the world is their sense of priorities. The proponents of the imposition of Muslim laws or the establishment of an Islamic state are confined to the periphery. Southeast Asian Muslims prefer to concentrate on the task of ensuring economic growth and eradicating poverty, instead of amputating the limbs of thieves. They would rather strive to improve the welfare of the women and children in their midst, than spend their days elaborately defining the nature and institutions of the ideal Islamic State. They do not believe it would make one less of a Muslim to promote economic growth, to master the information revolution, and to demand justice for women. Nor do they believe it would strengthen one�s commitment to religion by instilling anxiety among people of other faiths.� Muslim Melayu yang kini adalah bagian dari Asia yang �is poised to rise again, but it will not be the same old Asia. It is an Asia that has been further enriched with the encounter with modern science, technology and modern political and civil institutions.�

Dengan kata lain sebuah bangsa yang tak lagi meributkan perbedaan remeh antara Barat dan Timur atau Barat dengan Islam, tapi satu rumpun dengan melalui kegigihannya dalam belajar berhasil mengambil apa-apa penting bagi kepentingannya sambil tetap memegang teguh identitasnya.

Meski umat muslim menjadi mayoritas di Indonesia, kecurigaan atau ketidakpercayaan terhadap semangat untuk menghidupkan kembali ruh masyarakat madani, ternyata muncul dari segelintir umat muslim sendiri.

Dalam kaca mata positif, fenomena ini justru menyadarkan para da�i dan ulama, bahwa ternyata masih ada pemeluk Islam yang membutuhkan pencerahan terhadap wacana dan cita-cita masyarakat madani.

Dalam konteks bangsa Indonesia, cita-cita masyarakat madani sebenarnya sama dengan cita-cita bangsa Indonesia. Yaitu menjadikan Indonesia sebagai negara kuat, yang dapat membawa misi rahmat keadilan bagi segenap umat manusia.

Karena hanya denganya bangsa ini akan menjadi kontributor peradaban manusia. Dan bumi Indonesia akan menjelma menjadi taman kehidupan yang tentram dan damai, seperti sebuah negeri yang dilukiskan Al-Quran sebagai � Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur (negeri yang makmur dan Tuhan Yang Maha Pengampun)�

Pengertian pemberdayaan masyarakat madani perlu terus ditingkatkan dan mendapat perhatian sungguh-sungguh dari setiap penyelenggara negara. Bahkan untuk menjamin peradaban bangsa di masa depan, ketiga wilayah (domain) negara (state), masyarakat (civil society) dan pasar (market) itu sama-sama harus dikembangkan keberdayaanya dalam hubungan yang fungsional, sinergis dan seimbang.

Karenanya, meski pengertian-pengertian yang berkenaan dengan pemberdayaan masyarakat madani itu belum mengkristal sebagai pendapat umum dan kesadaran kolektif rakyat, namun doktrin masyarakat madani kiranya perlu terus dikembangkan sejalan dengan gelombang demokratisasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Momentum KAA 50 tahun silam telah secara kuat menyiratkan gelombang demokratisasi ini bagi komunitas di negara bangsa di Asia dan Afrika.

Sebagai konsekuensinya, negara seyogianya tidak mencampuri (interventionist) terlalu jauh ke dalam mekanisme pasar dan demikian pula dalam domain publik (society). Dengan kata lain, paham �welfare state� yang memberikan pembenaran konseptual terhadap kecendurangan interventionisme negara, hendaklah dibatasi sebagaimana mestinya.

Pada galibnya, ini sudah tercermin dalam rumusan UUD negara kita, yang disatu segi perlu mengadopsikan gagasan �welfare state� dan paham demokrasi ekonomi ke dalamnya . Tetapi, di segi yang lain, jangan sampai hanyut dengan menentukan hal-hal yang seharusnya merupakan domain publik dan domain pasar diatur oleh negara.

Penting untuk disadari bahwa institusi negara dibentuk, tidak dengan maksud untuk mengambil alih fungsi fungsi yang secara alamiah dapat dikerjakan sendiri secara lebih efektif dan efisien oleh istitusi masyarakat. Institusi negara dibentuk justru dengan maksud untuk makin mendorong tumbuh dan berkembangnya peradaban bangsa Indonesia, sesuai dengan cita dan citra masyarakat madani yang maju,mandiri, sejahtera lahir batin, demokratis dan berkeadilan.

Maka tidaklah berlebihan jika UUD kita diharapkan dapat berfungsi efektif sebagai sarana pembaruan (tool of reformation) secara bertahap tetapi berkesinambungan dalam rangka perekayaan (constitutional engineering) ke arah perwujudan cita-cita masyarakat madani itu.

Diatas semua pembaruan yang didasari konstitusi dan hukum, pondasi moralitas spiritual manusialah yang menentukan kebebasan hakikinya, sebagaimana dikatakan Judge Learned Hand: �I often wonder whether we do not rest our hopes too much upon constitutions, upon laws and courts. These are false hopes; believe me these are false hopes. Liberty lies in the hearts of man; when it dies there, no constitution, no law, no court can save it...�.

Sekali lagi, keberadaan momentum setengah abad KAA di Bandung ini hendaknya makin memperkuat moralitas pentingnya pemberdayaan masyarakat madani sebagai pemegang peran strategis dalam penyelenggaraan pembangunan seperti teracantum dalam mukadimah di awal kutipan dari The Ten Commitments, Copenhagen Declaration and Programme of Action, World Summit for Social Development, 1995.

Akhirnya, alangkah baiknya jika semua pihak dapat memaksimalkan momentum ini untuk mengambil hikmah dalam perjalanan pahit getir upaya pengejewantahan Dasa Sila Bandung yang telah dilahirkan lima dekade silam, sehingga bangsa Asia dan Afrika tetap selalu bijak dalam melangkah ke depan.

Masyarakat Madani: Dialog Islam dan Modernitas di Indonesia

Masyarakat Madani: Dialog Islam dan Modernitas di Indonesia
Saefur Rochmat*)

Abstrak: Masyarakat madani yang sedang dikembangkan sekarang ini mempunyai sejarah tersendiri. Di sini akan diselidiki konsep tersebut sebagai suatu bentuk dialog Islam dengan modernisasi. Selanjutnya dilihat juga posisi masyarakat dan negara dalam Islam. Masyarakat madani kadang dipahami sebagai masyarakat sipil, karena diterjemahkan dari konsep civil society yang lahir di Barat pada abad ke-18 dengan tokohnya John Locke atau Montesquieu. Sebelumnya, pada zaman Yunani Kuno sudah dikenal societies civilis, namun dengan pengertian yang identik dengan negara. Civil society dimaksudkan mencegah lahirnya pemerintahan otoriter melalui kontrol dari masyarakat. Berdasarkan projecting back theory (melihat sejarah awal Islam sebagai patokan), umat Islam menerjemahkan civil society dengan masyarakat madani, yaitu suatu masyarakat yang diciptakan Nabi Muhammad SAW di Madinah. Karena ciri-ciri kehidupan yang ideal pada masa Nabi Muhammad SAW dianggap sebagai proto-masyarakat modern. Hal tersebut merupakan bentuk dialog Islam dengan modernitas sesuai dengan hukum dialektika. Dialog tersebut bersifat aktif karena Barat mengembangkan konsep civil society tersebut berdasarkan sejarah awal Islam

Kata kunci: masyarakat madani, negara, Nabi, Indonesia, projecting back theory.
1. Pendahuluan

Masyarakat madani sebagai terjemahan dari civil society diperkenalkan pertama kali oleh Anwar Ibrahim (ketika itu Menteri Keuangan dan Timbalan Perdana Menteri Malaysia) dalam ceramah Simposium Nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada Festival Istiqlal, 26 September 1995 (Hamim, 2000: 115). Istilah itu diterjemahkan dari bahasa Arab mujtama’ madani, yang diperkenalkan oleh Prof. Naquib Attas, seorang ahli sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia, pendiri ISTAC (Ismail, 2000:180-181). Kata “madani” berarti civil atau civilized (beradab). Madani berarti juga peradaban, sebagaimana kata Arab lainnya seperti hadlari, tsaqafi atau tamaddun. Konsep madani bagi orang Arab memang mengacu pada hal-hal yang ideal dalam kehidupan.

Munculnya konsep masyarakat madani menunjukkan intelektual muslim Melayu mampu menginterpretasikan ajaran Islam dalam kehidupan modern, persisnya mengawinkan ajaran Islam dengan konsep civil society yang lahir di Barat pada abad ke-18. Konsep masyarakat madani digunakan sebagai alternatif untuk mewujudkan good government, menggantikan bangunan Orde Baru yang menyebabkan bangsa Indonesia terpuruk dalam krisis multidimensional yang tak berkesudahan.

Perumusan konsep masyarakat madani menggunakan projecting back theory, yang berangkat dari sebuah hadits yang mengatakan “Khayr al-Qurun qarni thumma al-ladhi yalunahu thumma al-ladhi yalunahu”, yaitu dalam menetapkan ukuran baik atau buruknya perilaku harus dengan merujuk pada kejadian yang terdapat dalam khazanah sejarah masa awal Islam dan bila tidak ditemukan maka dicari pada sumber normatif al-Qur’an dan Hadits (Hamim, 2000: 115-127). Civil society yang lahir di Barat diislamkan menjadi masyarakat madani, yaitu suatu masyarakat kota Madinah bentukan Nabi Muhammad SAW. Mereka mengambil contoh dari data historis Islam yang secara kualitatif dapat dibandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil society.

Mereka melakukan penyetaraan itu untuk menunjukkan bahwa di satu sisi, Islam mempunyai kemampuan untuk diinterpretasi ulang sesuai dengan perkembangan zaman, dan di sisi lain, masyarakat kota Madinah merupakan proto-type masyarakat ideal produk Islam yang bisa dipersandingkan dengan konsep civil society. Rasanya tidaklah berlebihan kalau kita menerjemahkan civil society dengan masyarakat madani, karena kehidupan masyarakat Madinah di bawah Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin sangat menjunjung tinggi prinsip-prinsip dalam civil society yang lahir di Barat. Dengan demikian, konsep masyarakat madani merupakan bentuk dialog Islam dengan modernitas (Barat). Reinterpretasi Islam terhadap perkembangan zaman bukan sesuatu yang tabu melainkan suatu keharusan dari hukum dialektika thesis-antithesis-synthesis dalam rangka menuju ke arah yang lebih baik.

Dialog dialektik Islam dan Barat bersifat aktif, karena sebelumnya Barat telah melakukan studi perbandingan dengan peradaban Islam ketika mau merumuskan civil society. Pada waktu itu, Barat sedang dalam cengkeraman pemerintahan otoriter, dan menilai sistem pemerintahan Nabi Muhammad SAW adalah sangat baik. Pengaruh Islam dalam civil society sudah dijelaskan C.G. Weeramantry dan M. Hidayatullah dalam bukunya Islamic Jurisprudence: An International Perspective, terbitan Macmillan Press (1988). Menurutnya, pemikiran John Locke dan Rousseau tentang teori kedaulatan (sovereignty) mendapatkan pengaruh dari pemikiran Islam. Locke ketika menjadi mahasiswa Oxford sangat frustasi dengan disiplinnya, dan lebih tertarik mengikuti ceramah dan kuliah Edward Pococke, profesor studi tentang Arab. Kemudian perhatian pemikiran Locke mengenai problem-problem tentang pemerintahan, kekuasaan, dan kebebasan individu.

Rousseau dalam Social Contract-nya juga tidak lepas dari pengaruh Islam. Bahkan dia secara jelas menyebut: ‘Mohamet had very sound opinions, taking care to give unity to his political system, and for as long as the form of his government endured under the caliphs who succeeded him, the government was undivided and, to that extent, good’. Sementara Montesquieu bermula dari bukunya Persian Lettters, yang kemudian diteruskan dalam buku berikutnya The Spirit of the Laws, tidak lepas dari pengaruh Islam. Tentang Montesquieu ditulis “indeed there are many specific references to the Qur’an and to the Islamic law in the writing of Montesquieu” (Azizi, 2000: 94).

2. Masyarakat Madani dan Negara

Konsep masyarakat madani tidak langsung terbentuk dalam format seperti yang dikenal sekarang ini. Bahkan konsep ini pun masih akan berkembang terus akibat dari proses pengaktualisasian yang dinamis dari konsep tersebut di lapangan. Konsep masyarakat madani memiliki rentang waktu pembentukan yang sangat panjang sebagai hasil dari akumulasi pemikiran yang akhirnya membentuk profile konsep normatif seperti yang dikenal sekarang ini (Hamim, 2000: 112-113).

Kadang, masyarakat madani dipahami sebagai masyarakat sipil, terjemahan civil society yang lahir di Barat pada abad ke-18. Hal tersebut diperkuat oleh latar belakang dimunculkannya civil society di Indonesia, sebagai kaunter terhadap dominasi ABRI (nama waktu itu untuk tentara dan polisi di Indonesia) yang menerapkan doktrin dwi fungsi, dimana ABRI memerankan tugas-tugas sipil sebagai penyelenggara lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hampir semua kepala pemerintahan dari pusat sampai daerah dipegang oleh ABRI. Kebencian terhadap ABRI semakin dalam ketika mereka terkooptasi oleh rezim Soeharto untuk membungkam rakyat yang kritis terhadap gaya pemerintahan yang feodal dan otoriter. Orang juga tahu kalau ABRI berada di belakang semua aksi teror dan penculikan terhadap para aktivis demokrasi (Hamim, 2000: 113).

Para intelektual Muslim menjadikan Amerika Serikat sebagai model dari bentukan civil society. Di Amerika kekuasaan negara sangat terbatas dan tidak bisa mengintervensi hak-hak individu (biasa disebut dengan small stateness), namun sangat kuat dalam bidang pelaksanaan hukum (Azizi, 2000: 87). Sedangkan di Indonesia, yang terjadi adalah sebalinya. Akibatnya, di Indonesia sering terjadi pergantian pemerintahan, karena penegakkan hukum masih lemah dan MPR/DPR mempunyai kekuasaan yang besar.

Kita boleh menjadikan Amerika sebagai model dan bukan mengekor karena perbedaan situasi dan kondisi dari kedua negara tersebut. Kita mungkin dapat belajar dari pelaksanaan hukum di sana, dan mengkoreksi posisi negara yang lemah vis-à-vis masyarakat. Islam mengembangkan prinsip keseimbangan dalam segala aspek kehidupan. Dalam bidang hukum pun demikian, karena negara tidak boleh tunduk kepada keinginan masyarakat yang menyimpang dari akal sehat seperti menuruti suara mayoritas yang menghendaki diperbolehkannya minuman keras.

Tidak benar jika ingin mewujudkan masyarakat madani harus memperlemah posisi eksekutif seperti yang terjadi di Amerika. Selain bertentangan dengan prinsip keseimbangan juga mengingkari sejarah masyarakat madani ciptaan Nabi Muhammad SAW yang berbentuk negara. Kesan salah tersebut terjadi karena lahirnya civil society bersamaan dengan konsep negara modern, yang bertujuan: Pertama, untuk menghindari lahirnya negara absolut yang muncul sejak abad ke-16 di Eropa. Kedua, untuk mengontrol kekuasaan negara. Atas dasar itu, perumus civil society menyusun kerangka dasar sebagai berikut (Gamble, 1988: 47-48):

…the state as an association between the members of a society rather than as the personal domain of a monarch, and furthermore as an association that is unique among all the associations in civil society because of the role it plays. Thingking of the state as an association between all members of a society means ascribing to it supreme authority to make and enforce laws –the general rules that regulate social arrangements and social relationships. If the state is accorded such a role, and if it is to be a genuine association between all members of the community, it follows that its claim to supreme authority cannot be based upon the hereditary title of a royal line, but must originate in the way in which rulers are related to the ruled.

Dengan penjelasan di atas, Gamble (1988: 54) menyimpulkan bahwa teori negara modern mencakup dua tema sentral yaitu sovereignty; dan political economy, the problem of the relationship of state power to civil society. Sedangkan, konsep civil society lebih berkait dengan tema kedua itu, yaitu:

…how government should ralate to the private, individualist world of civil society organised around commodity production, individual exchange, and money; what policies and puposes it should pursue and how the general interest should be defined. Two principal lines of thought emerged. In the first, the state came to be regarded as necessarily subordinate to civil society; in the second, it was seen as a sphere which included but also transcended civil society and countered its harmful effects. These different conceptions were later to form one of the major dividing lines in modern liberalism.

Hegel dan Rousseau (Gamble, 1988: 56) memandang negara modern lebih dari sekedar penjamin bagi berkembangnya civil society, karena negara modern didirikan atas dasar persamaan semua warga negara, maka negara tidak hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan akhir tertentu bersama, seperti penjamin aturan pasar agar setiap individu dapat mengejar keperluannya; melainkan merupakan puncak dari sistem sosial, dimana nilai tertinggi bukan pada individu melainkan pada kehidupan bersama

Adam Seligman (Azizi, 2000: 88-89) mengemukakan dua penggunaan istilah civil society dari sudut konsep sosiologi, yaitu dalam tingkatan kelembagaan (organisasi) sebagai tipe sosiologi politik dan membuat civil society sebagai suatu fenomena dalam dunia nilai dan kepercayaan. Dalam pengertian yang pertama, civil society dijadikan sebagai perwujudan suatu tipe keteraturan kelembagaan dan dijadikan jargon untuk memperkuat ide demokrasi yang mempunyai delapan karakteristik, yaitu:

(1) the freedom to form and join organizations, (2) freedom of expression, (3) the right to vote, (4) eligibility for public office, (5) the right of political leaders to compate for support and votes, (6) alteernative sources of information (what we would call a free press, (7) free and fair elections, and (8) institutions for making government policies depend on votes and other expressions of preference.

Dari delapan karakteristik demokrasi yang merupakan tugas negara modern, maka kita tahu bahwa negara mempunyai tugas untuk mengembangkan masyarakat madani.

Penggunaan istilah yang kedua berkaitan dengan tinjauan filsafat yang menekankan pada nilai dan kepercayaan, sebagai pengaruh moralitas Kristen dalam peradaban modern. Moral diyakini sangat penting untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, walaupun aspek moral itu tidak ditransendenkan kepada Tuhan, dengan alasan seperti yang diyakini Montesquieu dan Tocqueville “the people can be trusted to rule themselves” (Azizi, 2000: 90). Mereka mengabaikan peran Tuhan yang dipandang sudah tidak cocok lagi untuk dunia modern. Mereka yakin agama hanya berperan sebagai masa transisi antara dunia mitos dan dunia modern.


3. Masyarakat Madani di Indonesia

Masyarakat madani sukar tumbuh dan berkembang pada rezim Orde Baru karena adanya sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme dan birokratisasi di hampir seluruh aspek kehidupan, terutama terbentuknya organisasi-organisasi kemasyarakatan dan profesi dalam wadah tunggal, seperti MUI, KNPI, PWI, SPSI, HKTI, dan sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut tidak memiliki kemandirian dalam pemilihan pemimpin maupun penyusunan program-programnya, sehingga mereka tidak memiliki kekuatan kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan.

Kebijakan ini juga berlaku terhadap masyarakat politik (political societies), sehingga partai-partai politik pun tidak berdaya melakukan kontrol terhadap pemerintah dan tawar-menawar dengannya dalam menyampaikan aspirasi rakyat. Hanya beberapa organisasi keagamaan yang memiliki basis sosial besar yang agak memiliki kemandirian dan kekuatan dalam mempresentasikan diri sebagai unsur dari masyarakat madani, seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang dimotori oleh KH Abdurrahman Wahid dan Muhammadiyah dengan motor Prof. Dr. Amien Rais. Pemerintah sulit untuk melakukan intervensi dalam pemilihan pimpinan organisasi keagamaan tersebut karena mereka memiliki otoritas dalam pemahaman ajaran Islam. Pengaruh politik tokoh dan organisasi keagamaan ini bahkan lebih besar daripada partai-partai politik yang ada.

Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan Wakil Presiden Habibie sebagai presiden dalam masa transisi telah mempopulerkan konsep masyarakat madani karena presiden beserta kabinetnya selalu melontarkan diskursus tentang konsep itu pada berbagai kesempatan. Bahkan, Habibie mengeluarkan Keppres No 198 Tahun 1998 tanggal 27 Februari 1999 untuk membentuk suatu lembaga dengan tugas untuk merumuskan dan mensosialisasikan konsep masyarakat madani itu. Konsep masyarakat madani dikembangkan untuk menggantikan paradigma lama yang menekankan pada stabilitas dan keamanan yang terbukti sudah tidak cocok lagi. Soeharto terpaksa harus turun tahta pada tanggal 21 Mei 1998 oleh tekanan dari gerakan Reformasi yang sudah bosan dengan pemerintahan militer Soeharto yang otoriter. Gerakan Reformasi didukung oleh negara-negara Barat yang menggulirkan konsep civil society dengan tema pokok Hak Asasi Manusia (HAM).

Presiden Habibie mendapat dukungan dari ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), suatu bentuk pressure group dari kalangan Islam, dimana ia duduk sebagai Ketua Umumnya. Terbentuknya ICMI merupakan suatu keberhasilan umat Islam dalam mendekati kekuasaan karena sebelumnya pemerintah sangat phobi terhadap Islam politik. Hal itu terjadi karena ada perantara Habibie yang sangat dekat dengan Soeharto. Dengan demikian, pengembangan konsep masyarakat madani merupakan salah satu cara dari kelompok ICMI untuk merebut pengaruh dalam Pemilu 1997. Kemudian konsep masyarakat madani mendapat dukungan luas dari para politisi, akademisi, agamawan, dan media massa karena mereka semua merasa berkepentingan untuk menyelamatkan gerakan Reformasi yang hendak menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum, dan HAM.

Pengamat politik dari UGM, Dr Mohtar Mas'oed (Republika, 3 Maret 1999) yakin bahwa pengembangan masyarakat madani memang bisa membantu menciptakan atau melestarikan demokrasi, namun bagi masyarakat yang belum berpengalaman dalam berdemokrasi, pengembangan masyarakat madani justru bisa menjadi hambatan terhadap demokrasi karena mereka menganggap demokrasi adalah distribusi kekuasaan politik dengan tujuan pemerataan pembagian kekuasaan, bukan pada aturan main. Untuk menghindari hal itu, diperlukan pengembangan lembaga-lembaga demokrasi, terutama pelembagaan politik, di samping birokrasi yang efektif, yang menjamin keberlanjutan proses pemerintahan yang terbuka dan partisipatoris.

Keteganggan di Indonesia tidak hanya dalam wacana politik saja, tetapi diperparah dengan gejala desintegrasi bangsa terutama kasus Timor Timur, Gerakan Aceh Merdeka, dan Gerakan Papua merdeka. Hal itu lebih didorong oleh dosa rezim Orde Baru yang telah mengabaikan ciri-ciri masyarakat madani seperti pelanggaran HAM, tidak tegaknya hukum, dan pemerintahan yang sentralistis/absolut. Sedangkan, kerusuhan sosial yang sering membawa persoalan SARA menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang buta hukum dan politik (sebagai prasyarat masyarakat madani), di samping penegakkan hukum yang masih belum memuaskan.

Munculnya wacana civil society di Indonesia banyak disuarakan oleh kalangan “tradisionalis” (termasuk Nahdlatul Ulama), bukan oleh kalangan “modernis” (Rumadi, 1999). Hal ini bisa dipahami karena pada masa tersebut, NU adalah komunitas yang tidak sepenuhnya terakomodasi dalam negara, bahkan dipinggirkan dalam peran kenegaraan. Di kalangan NU dikembangkan wacana civil society yang dipahami sebagai masyarakat non-negara dan selalu tampil berhadapan dengan negara. Kalangan muda NU begitu keranjingan dengan wacana civil society, lihat mereka mendirikan LKIS yang arti sebenarnya adalah Lembaga Kajian Kiri Islam, namun disamarkan keluar sebagai Lembaga Kajian Islam.

Kebangkitan wacana civil society dalam NU diawali dengan momentum kembali ke khittah 1926 pada tahun 1984 yang mengantarkan Gus Dur sebagai Ketua Umum NU. Gus Dur memperkenalkan pendekatan budaya dalam berhubungan dengan negara sehingga ia dikenal sebagai kelompok Islam budaya, yang dibedakan dengan kelompok Islam Politik. Dari kandungan NU lahir prinsip dualitas Islam-negara, sebagai dasar NU menerima asas tunggal Pancasila. Alasan penerimaan NU terhadap Pancasila berkaitan dengan konsep masyarakat madani, yang menekankan paham pluralisme, yaitu: (1) aspek vertikal, yaitu sifat pluralitas umat (QS al-Hujurat 13) dan adanya satu universal kemanusiaan, sesuai dengan Perennial Philosophy (Filsafat Hari Akhir) atau Religion of the Heart yang didasarkan pada prinsip kesatuan (tawhid); (2) aspek horisontal, yaitu kemaslahatan umat dalam memutuskan perkara baik politik maupun agama; dan (3) fakta historis bahwa KH A. Wahid Hasyim sebagai salah seorang perumus Pancasila, di samping adanya fatwa Mukhtamar NU 1935 di Palembang (Ismail, 1999: 17).

Dalam pandangan Gus Dur, Islam sebagai agama universal tidak mengatur bentuk negara yang terkait oleh konteks ruang dan waktu sehingga Nabi Muhammad SAW sendiri tidak menamakan dirinya sebagai kepala negara Islam dan Nabi tidak melontarkan ide suksesi yang tentunya sebagai prasyarat bagi kelangsungan negara (Wahid, 2000: 16). Walaupun Nabi telah melakukan revolusi dalam masyarakat Arab, tetapi ia sangat menghormati tradisi dan memperbaharuinya secara bertahap sesuai dengan psikologi manusia karena tujuannya bukanlah menciptakan orde baru (a new legal order) tapi untuk mendidik manusia dalam mencapai keselamatan melalui terwujudnya kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan (Schacht, 1979: 541).

Pandangan pluralisnya didasarkan pada sejarah kehidupan Nabi sendiri yang terbuka terhadap peradaban lain, di samping tentunya sifat universalisme Islam. Dalam Islam ada lima jaminan dasar, seperti yang tersebar dalam literatur hukum agama (al-kutub al-fiqhiyyah), sebagaimana dikatakan Wahid (1999: 1) sebagai berikut: (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa adanya paksaan untuk berpindah agama, (3) keselamatan keluarga dan keturunan, (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, dan (5) keselamatan profesi.

Nabi Muhammad SAW telah menampilkan peradaban Islam yang kosmopolitan dengan konsep umat yang menghilangkan batas etnis, pluralitas budaya, dan heteroginitas politik. Peradaban Islam yang ideal tercapai bila tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum Muslimin dan kebebasan berpikir semua warga masyarakat (termasuk mereka yang non-Muslim) (Wahid, 1999: 4). Keseimbangan itu terganggu dengan dilakukannya ortodoksi (formalisme) terhadap ajaran Islam. Ortodoksi yang tadinya untuk mensistematiskan dan mempermudah pengajaran agama, akhirnya menjadi pemasung terhadap kebebasan berpikir karena setiap ada pemikiran kreatif langsung dituduh sebagai bid’ah. Gus Dur memerankan diri sebagai penentang terhadap ortodoksi Islam atau dikatakannya main mutlak-mutlakan yang dapat membunuh keberagaman. Sebagai komitmennya dia berusaha membangun kebersamaan dalam kehidupan umat beragama, yang tidak hanya didasarkan pada toleransi model kerukunan (ko-eksistensi) dalam Trilogi Kerukunan Umat Beragama-nya mantan Menteri Agama H. Alamsyah Ratu Prawiranegara (1978-1983), tetapi didasarkan pada aspek saling mengerti (Hidayat dan Gaus, 1998: xiv). Oleh karena itu, Gus Dur sangat mendukung dialong antaragama/antarimam, bahkan ia ikut memprakarsai berdirinya suatu lembaga yang bernama Interfidie, yaitu suatu lembaga yang dibentuk dengan tujuan untuk memupuk saling pengertian antaragama. Gus Dur, seperti kelompok Tradisionalis lainnya, tidak memandang orang berdasarkan agama tapi lebih pada pribadi, visi, kesederhanaan, dan ketulusannya untuk pengabdian pada sesama.

Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden sebenarnya menyiratkan sebuah problem tentang prospek masyarakat madani di kalangan NU karena NU yang dulu menjadi komunitas non-negara dan selalu menjadi kekuatan penyeimbang, kini telah menjadi “negara” itu sendiri. Hal tersebut memerlukan identikasi tentang peran apa yang akan dilakukan dan bagaimana NU memposisikan diri dalam konstelasi politik nasional. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian awal bahwa timbulnya civil society pada abad ke-18 dimaksudkan untuk mencegah lahirnya negara otoriter, maka NU harus memerankan fungsi komplemen terhadap tugas negara, yaitu membantu tugas negara ataupun melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh negara, misalnya pengembangan pesantren (Rumadi, 1999: 3). Sementara, Gus Dur harus mendukung terciptanya negara yang demokratis supaya memungkinkan berkembangnya masyarakat madani, dimana negara hanya berperan sebagai ‘polisi’ yang menjaga lalu lintas kehidupan beragama dengan rambu-rambu Pancasila (Wahid, 1991: 164).

4. Simpulan

Ekses dari gerakan Reformasi yang berhasil menggulingkan rezim Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 masih terus belum teratasi, seperti kerusuhan berbau SARA. Hal itu terjadi karena baik pemerintah maupun masyarakat masih belum berpengalaman dalam berdemokrasi, sehingga pengembangan masyarakat madani bisa menjadi hambatan bagi demokrasi, karena demokrasi dianggap sebagai distribusi kekuasaan politik dengan tujuan pemerataan pembagian kekuasaan, bukan pada aturan main.


Dilihat dari sejarahnya civil society yang lahir di Eropa pada abad ke-18 dengan tokohnya John Locke atau Montesquieu bertujuan untuk menghindari pemerintahan yang absolut. Dan Indonesia telah meniru model Amerika, dimana negara mempunyai posisi yang lemah vis-à-vis masyarakat. Hal itu bertentangan dengan prinsip keseimbangan dalam Islam dan sejarah masyarakat Madinah bentukan Nabi Muhammad SAW. Realitas juga menunjukkan kalau negara yang demokratis tidak dapat dilakukan sendiri oleh masyarkat madani, tetapi harus ada keinginan politik juga dari pemerintah karena banyak karakteristik dari demokrasi yang memang menjadi kewajiban negara modern.

Dengan demikian, diharapkan pemerintah dan MPR/DPR saling menjaga keseimbangan untuk menegakkan hukum yang sehat dan demokrasi. Masyarakat juga harus mengontrol kinerja pemerintah dan para wakilnya, agar tidak bertentangan dengan kehendak masyarakat madani. Baik menjadi anggota masyarakat madani maupun perangkat negara hendaknya dapat mewujudkan demokrasi.

Daftar Pustaka

Azizi, A Qodri Abdillah. 2000. Masyarakat madani Antara Cita dan Fakta: Kajian Historis-Normatif. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Departemen Agama. 1992. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: PT Tanjung Mas Inti.

Habibie, B.J. 1999. Keppres No. 198 Tahun 1998 Tanggal 27 Februari 1999. Jakarta.

Hamim, Thoha. 2000. Islam dan Civil society (Masyarakat madani): Tinjauan tentang Prinsip Human Rights, Pluralism dan Religious Tolerance. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gamble, Andrew. 1988. An Introduction to Modern Social and Political Thought. Hongkong: Macmillan Education Ltd.

Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF. 1998. Pasing Over: Melintas Batas Agama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. xiv.

Ismail SM. 2000. Signifikansi Peran Pesantren dalam Pengembangan Masyarakat madani. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ismail, Faisal. 1999. NU, Gusdurism, dan Politik Kyai. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Mohtar Mas’oed. (1999). Republika 3 Maret 1999.

Rumadi. 1999. Civil Society dan NU Pasca-Gus Dur. Kompas Online. 5 November 1999.

Schacht, Joseph and C.E. Bosworth (eds.). 1979. The Legacy of Islam. London: Oxford University Press.

Wahid, Abdurrahman. 1991. Pancasila sebagai Ideologi dalam Kaitannya dengan Kehidupan Beragama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Oetojo Oesman dan Alfian (eds.). Pancasila sebagai Ideologi. Jakarta: BP 7 Pusat.

Wahid, Abdurrahman. 1999. Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam. 11/9/99. Hal. 1.

Wahid, Abdurrahman. 2000. Tuhan Tidak Perlu Dibela. Yogyakarta: LkiS.

Weeramantry, C.G. dan M. Hidayatullah. 1988. Islamic Jurisprudence: An International Perspective. London: The Mcmillan Press.

*) Dosen Jurusan Sejarah FIS Universitas Negeri Yogyakarta